Senin, 26 Juli 2010

TESIS :KONTRIBUSI PERSEPSI GURU TENTANG SUPERVISI AKADEMIK KEPALA SEKOLAH DAN MOTIVASI BERPRESTASI GURUTERHADAP KINERJA MENGAJAR GURU SMP NEGERI DI KABUPATEN MAJALENGKA




TESIS

KONTRIBUSI PERSEPSI GURU TENTANG SUPERVISI AKADEMIK KEPALA SEKOLAH DAN MOTIVASI BERPRESTASI GURUTERHADAP KINERJA MENGAJAR GURU SMP NEGERI DI KABUPATEN MAJALENGKA
























__________

























___________























__________
























 __________




Untuk yang telah membawa pulang bianglala dari senja yang senyap,
ke malam yang rembulan rahasiakan,
untuk yang melukisi batin dengan krayon jingga,
dan untuk yang menatap
dengan bola-bola bening
.





__________



ABSTRAK

Ise Suryadi (2009) - Kontribusi Persepsi Guru tentang Supervisi Akademik Kepala Sekolah dan Motivasi Berprestasi Guru terhadap Kinerja Mengajar Guru di SMP Negeri Kabupaten Majalengka.

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh vitalnya keberadaan manusia dalam organisasi, kinerja guru yang masih dirasakan rendah, dan belum adanya hasil pengukuran kinerja guru (SMP negeri di kabupaten Majalengka, Jawa Barat) yang research base.

Tujuan penelitiannya adalah  untuk mengetahui seberapa besar kontribusi persepsi guru tentang supervisi akademik kepala sekolah (X1) dan motivasi berprestasi guru (X2) terhadap kinerja mengajar guru (Y).

Metode penelitian yang digunakan adalah  metode survey dengan sampel sebanyak 359 guru yang diperoleh dengan teknik stratified random sampling.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa : (1) Secara umum kondisi X1 di SMPN kabupaten Majalengka dipersepsikan guru tergolong  baik (69,8%), X2 tergolong baik (77,8%), dan Y tergolong sangat baik (82,0%), (2) Terdapat korelasi positif yang signifikan antara X1 dengan Y (τX1Y = 0,257), (3) Terdapat korelasi positif yang signifikan antara X2 dengan Y (τX2Y = 0,405), (4) Terdapat korelasi positif yang signifikan antara X1 dan X2 (secara bersama-sama) dengan Y (M X1X2Y = 0,44), (5) Kontribusi X1 terhadap Y sebesar 6,60 %, tergolong sangat kecil, sisanya 93,40% adalah kontribusi dari variabel lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini, (6) Kontribusi X2 terhadap Y sebesar 16,40 %, tergolong sangat kecil, sisanya 83,60% adalah kontribusi dari variabel lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini, dan (7) Kontribusi bersama-sama dari X1 dan X2 terhadap Y sebesar19,36 %, tergolong sangat kecil, sisanya 80,64% adalah kontribusi dari variabel lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini.

Berdasarkan hasil penelitian ini penulis merekomendasikan kepada kepala SMP negeri di kabupaten Majalengka agar memperbaiki  aspek tindak lanjut supervisi akademik, mengingat aspek tersebut paling rendah dibanding dengan aspek perencanaan supervisi akademik dan  aspek pelaksanaan supervisi akademik, dan kepada guru SMP negeri di kabupaten Majalengka agar (1) memperbaiki harapan berprestasi (usaha untuk berprestasi), mengingat aspek tersebut paling rendah dibanding  dengan aspek motif berprestasi (dorongan atau keinginan untuk berprestasi dan aspek insentif, dan (2) memperbaiki aspek evaluasi pembelajaran, mengingat aspek tersebut paling rendah dibanding dengan aspek perencanaan pembelajaran dan aspek pelaksanaan pembelajaran.

__________


KATA PENGANTAR

Puji syukur dengan ucapan Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT. atas segala rahmatNya yang telah menjadikan tesis dengan judul ”Kontribusi Persepsi Guru tentang Supervisi Akademik Kepala Sekolah dan Motivasi Berprestasi Guru terhadap Kinerja Mengajar Guru di SMP Negeri Kabupaten Majalengka” ini dapat penulis rampungkan.

Tesis ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat dalam penyelesaian studi pada program magister (S2), Program Studi Administrasi Pendidikan, Sekolah Pasca Sarjana, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, tahun akademik 2009/2010.

Sesuai dengan judulnya, kajian utama dari tesis ini adalah kinerja mengajar guru, dan dua variabel lain yang mempengaruhinya, yaitu persepsi supervisi akademik kepala sekolah, dan motivasi berprestasi guru. Penelitiannya sendiri dilakukan pada bulan Agustus 2008, dengan respondennya adalah guru. Penggalian data ketiga variabel penelitian didasarkan atas persepsi guru dan self appraisal  yang dilakukan oleh guru.

Sebagai bagian dari rangkaian proses pembelajaran, betapapun telah melalui bimbingan dan melewati sidang tahap 1 dan tahap 2, dengan penguji  Prof. H. Udin Syaefudin Sa’ud, Ph.D., Dr. Aan Komariah, M.Pd., Prof. Dr. H. Nanang Fattah, M.Pd., dan Dr. Danny Meirawan, serta revisi sesuai arahan penguji, tidak menutup kemungkinan masih adanya kekurangan akibat dari kelemahan penulis sendiri. Oleh karena itu, sangat wajar apabila penulis berharap adanya kritik dan saran dari pembaca demi perbaikan dalam mengerjakan hal serupa pada kesempatan yang lain.

Lepas dari kekurangan yang ada, besar harapan penulis, tesis ini masih memberikan manfaat bagi dunia pendidikan.

Bandung, 23 Nopember 2009
Penulis,

ISE SURYADI

__________


UCAPAN TERIMA KASIH

Assalamualaikum wr. wb.

Yang pertama kali penulis ingat setelah memanjatkan puji syukur kepada Allah Subhanahu wa ta’ala sebagai rasa syukur adalah pihak-pihak yang telah memberikan ilmu,  bantuan material, dorongan moral dan spiritual, sumbangan tenaga dan panjatan do’a, baik langsung maupun tak langsung sehingga tesis ” Kontribusi Persepsi Guru tentang Supervisi Akademik Kepala Sekolah dan Motivasi Berprestasi Guru terhadap Kinerja Mengajar Guru di SMP Negeri Kabupaten Majalengka” ini dapat penulis rampungkan. Atas semua kontribusi mereka sejak penulis pertama kali melangkahkan kaki menuju kampus tercinta, dengan penuh rasa haru penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya,   terutama kepada:

 1.Bapak Prof. H. Udin Syaefudin Sa’ud, Ph.D. selaku Pembimbing 1 yang telah  memberikan arahan,
    bimbingan, saran dan masukan.
 2.Bapak Dr. Aan Komariah, M.Pd. selaku Pembimbing 2 yang telah  memberikan arahan, bimbingan, saran
    dan masukan.
 3.Bapak Prof. Dr. H. Nanang Fattah, M.Pd. selaku Penguji sekaligus Ketua Program Studi Administrasi
    SPS UPI Bandung.
 4.Bapak Dr. Danny Meirawan selaku Penguji.
 5.Bapak, Ibu Dosen dan Staf Administratif Program Studi Administrasi Pendidikan SPS UPI Bandung.
 6.Bapak, Ibu Dosen dan Staf Administratif di SMEC (Science and Mathematics Education Center), Curtin
    University, Perth, Australia.
 7.Bapak Direktur SPS UPI Bandung.
 8.Bapak Direktur PMPTK dan Bapak Direktur BPKLN, Depdiknas.
 9.Bapak Kepala dan Staf Disdikbudpora Kabupaten Majalengka.
10.Bapak Kepala Sekolah, Bapak / Ibu Guru yang mengoordinir penyebaran dan mengumpulkan angket
     penelitian, dan Bapak / Ibu Guru di SMP negeri yang terundi jadi sampel (SMPN 3 Majalengka, SMPN
     2 Jatiwangi, SMPN 1 Rajagaluh, SMPN 1 Banjaran, SMPN 3 Kadipaten, SMPN 2 Dawuan, SMPN 2
     Lemahsugih, SMPN 1 Panyingkiran, SMPN 2 Bantarujeg, SMPN 3 Ligung, SMPN 2 Argapura, SMPN
     3 Maja, dan SMPN 2 Sindangwangi).
11.Rekan-rekan mahasiswa prodi Adpen SPS UPI Bandung, khususnya angkatan 2007 dan lebih khusus
     lagi kelas Sandwich Program (PMPTK).
12.Rekan-rekan Pengawas Satuan Pendidikan Menengah Disdikbudpora Kabupaten Majalengka.
13.Keempat orang tua penulis : Bapa, Emih, Apa, Ema, serta mertua, istri dan anak-anak tersayang.
14.Last but not least, adalah pribadi-pribadi lainnya yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu.

Semoga semua yang telah mereka sumbangkan mendapat balasan kebaikan yang berlipat ganda dari Allah SWT. Amin.

Bandung, 23 Nopember 2009
Penulis,

ISE SURYADI

__________


DAFTAR ISI
                                                                                                   Halaman
ABSTRAK
KATA PENGANTAR
UCAPAN TERIMA KASIH
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR BAGAN
DAFTAR HISTOGRAM
DAFTAR LAMPIRAN

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah
B.Identifikasi dan Pembatasan Masalah
C.Rumusan Masalah
D.Tujuan Penelitian
E.Manfaat Penelitian
F.Definisi Operasional Variabel
G.Paradigma Penelitian
H.Anggapan Dasar
I.Hipotesis
J.Metodologi Penelitian
K.Populasi dan Sampel Penelitian

BAB II TINJAUAN TEORITIS                    

A.Kinerja Mengajar Guru dalam Perspektif Administrasi Pendidikan

1.Administrasi Pendidikan 
2.Ruang Lingkup Administrasi Pendidikan
3.Keterkaitan antara Sumber Daya Manusia dengan Mutu Pendidikan
4.Kinerja Mengajar Guru
5.Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja Mengajar Guru
6.Standar dan Penilaian Kinerja Mengajar Guru
7.Dimensi Kinerja Mengajar Guru 

B.Motivasi Berprestasi

1.Motif dan Motivasi 
2.Kebutuhan sebagai Dasar Motivasi
3.Motivasi Berprestasi 
4.Faktor-faktor yang Mempengaruhi Motivasi Berprestasi
5.Dimensi Motivasi Kerja dan Motivasi Berprestasi

C.Persepsi Guru tentang Supervisi akademik Kepala Sekolah

1.Persepsi                   
2.Supervisi                   
3.Ruang Lingkup Supervisi           
4.Supervisi Akademik               
5.Tujuan Supervisi Akademik           
6.Fungsi Supervisi Akademik           
7.Sasaran Supervisi Akademik           
8.Tipe Kepemimpinan dalam Supervisi Akademik   
9.Prinsip Supervisi Akademik           
10.Teknik Supervisi Akademik           
11.Supervisi Akademik Kepala Sekolah       
12.Dimensi Pelaksanaan Supervisi Akademik Kepala Sekola

BAB III METODE PENELITIAN          

A.Metode Penelitian                

B.Populasi dan Sampel Penelitian       

1.Populasi                  
2.Sampel                   

C.Teknik Pengumpulan Data           

1.Studi Dokumenter               
2.Studi Pustaka                   
3.Wawancara                  
4.Angket (Kuesioner)               

D.Penyusunan Angket          

1.Kisi-kisi Angket Persepsi Guru tentang Supervisi Akademik Kepala Sekolah
2.Kisi-kisi Angket Motivasi Berprestasi Guru  
3.Kisi-kisi Angket Kinerja Mengajar Guru   

E.Pengumpulan Data               

1.Penyebaran Angket Uji Coba           
2.Jawaban Responden Angket Uji Coba       
3.Uji Validitas dan Reliabilitas Angket Uji Coba
4.Revisi Angket                   
5.Penyebaran Angket Jadi dan Penggunaannya untuk Pengumpulan Data 

F.Analisis Data                   

1.Kuantifikasi Jawaban Responden       
2.Katagorisasi Jumlah Skor Jawaban Responden   
3.Uji Normalitas Sebaran Data           
4.Analisis Korelasi               
5.Analisis Regresi               
6.Kontribusi                   

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN       

A.Hasil Penelitian               

1.Gambaran Persepsi Guru tentang Supervisi Akademik Kepala Sekolah SMP Negeri di Kabupaten
    Majalengka
2.Gambaran Motivasi Berprestasi Guru SMP Negeri di Kabupaten Majalengka  
3.Gambaran Kinerja Mengajar Guru SMP Negeri di Kabupaten Majalengka
4.Kontribusi Persepsi Guru tentang Supervisi Akademik Kepala Sekolah terhadap Kinerja Mengajar Guru
   SMP Negeri di Kabupaten Majalengka
5.Kontribusi Motivasi Berprestasi Guru terhadap Kinerja Mengajar Guru SMP Negeri di Kabupaten
   Majalengka
6.Kontribusi  Persepsi Guru tentang Supervisi  Akademik  Kepala Sekolah  dan Motivasi  Berprestasi Guru
   terhadap Kinerja Mengajar Guru SMP Negeri di Kabupaten Majalengka

B.Pembahasan                   

1.Gambaran Persepsi Guru tentang Supervisi Akademik Kepala Sekolah SMP Negeri di Kabupaten
   Majalengka
2.Gambaran Motivasi Berprestasi Guru SMP Negeri di Kabupaten Majalengka   
3.Gambaran  Kinerja Mengajar Guru SMP Negeri di Kabupaten  Majalengka
4.Kontribusi Persepsi Guru tentang Supervisi Akademik Kepala Sekolah terhadap  Kinerja  Mengajar
   Guru  SMP  Negeri di Kabupaten Majalengka
5.Kontribusi Motivasi Berprestasi Guru terhadap Kinerja Mengajar Guru SMP Negeri di Kabupaten
   Majalengka
6.Kontribusi  Persepsi Guru tentang Supervisi  Akademik  Kepala Sekolah  dan Motivasi  Berprestasi Guru
   terhadap Kinerja Mengajar Guru SMP Negeri di Kabupaten Majalengka

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI   

A.Kesimpulan                   
B.Implikasi                   
C.Rekomendasi                   

DAFTAR PUSTAKA                   

LAMPIRAN                    

___________


DAFTAR TABEL

Tabel 1.1.Dimensi  dan  Indikator  Supervisi Akademik Kepala Sekolah
Tabel 1.2.Dimensi dan Indikator Variabel Motivasi Berprestasi Guru
Tabel 1.3.Dimensi dan  Indikator  Variabel  Kinerja Mengajar Guru
Tabel 3.1.Populasi Guru SMP Negeri Kabupaten Majalengka
Tabel 3.2.Klasifikasi SMP Negeri Kabupaten Majalengka Menurut Nilai Akreditasi
Tabel 3.3.Klasifikasi SMP Negeri Kabupaten Majalengka Menurut Kondisi Daerah
Tabel 3.4.Kelompok Stratum dan Jumlah Gurunya  
Tabel 3.5.Sampel Per Stratum           
Tabel 3.6.Sampel Per Sekolah Terundi       
Tabel 3.7.Kisi-kisi Angket  Persepsi Guru tentang Supervisi Akademik Kepala Sekolah
Tabel 3.8.Kisi-kisi Angket Motivasi Berprestasi Guru
Tabel 3.9.Kisi-kisi Angket  Kinerja Mengajar Guru
Tabel 3.10.Validitas Item-item Angket Persepsi Guru tentang Supervisi Akademik Kepala Sekolah
Tabel 3.11.Validitas Item-item Angket Motivasi Berprestasi Guru 1   
Tabel 3.12.Validitas Item-item Angket Motivasi Berprestasi Guru 2   
Tabel 3.13.Validitas Item-item Angket Kinerja Mengajar Guru
Tabel 3.14.Pengurangan dan Penomoran Ulang Angket Hasil Revisi
Tabel 3.15.Rekapitulasi Jumlah Angket yang Disebar, yang Terkumpul dan yang Dapat Digunakan
Tabel 3.16.Katagori Kondisi Skor Jawaban Responden
Tabel 3.17.Penolong untuk Menghitung χ2 Variabel Persepsi Guru tentang Supervisi Akademik Kepala
                 Sekolah
Tabel 3.18.Penolong untuk  Menghitung  χ2  Variabel  Motivasi  Berprestasi  Guru
Tabel 3.19.Penolong untuk Menghitung χ2 Variabel Kinerja Mengajar Guru
Tabel 3.20.Intensitas Korelasi           
Tabel 3.21.Penolong untuk Menghitung Koefisien Korelasi Kendall Tau antara Persepsi Guru tentang
                  Supervisi Akademik Kepala Sekolah (X1) dengan Kinerja Mengajar Guru (Y)
Tabel 3.22.Penolong untuk Menghitung Korelasi Ganda Kendall Tau  
Tabel 3.23.Interpretasi Kontribusi
Tabel 4.1.Deskripsi Statistik Variabel Persepsi Guru tentang Supevisi Akademik Kepala Sekolah
Tabel 4.2.Distribusi Frekuensi Skor Variabel Persepsi Guru tentang Supevisi Akademik Kepala Sekolah
Tabel 4.3.Kondisi Dimensi Persepsi Guru tentang Supervisi Akademik Kepala Sekolah
Tabel 4.4.Kondisi Variabel Persepsi Guru tentang Supervisi Akademik Kepala Sekolah
Tabel 4.5.Deskripsi Statistik Variabel Motivasi Berprestasi Guru
Tabel 4.6.Distribusi Frekuensi Skor Variabel Motivasi Berprestasi Guru
Tabel 4.7.Kondisi Dimensi Motivasi Berprestasi Guru
Tabel 4.8.Kondisi Variabel Motivasi Berprestasi Guru
Tabel 4.9.Deskripsi Statistik Variabel Kinerja Mengajar Guru
Tabel 4.10.Distribusi Frekuensi Skor Variabel Kinerja Mengajar Guru
Tabel 4.11.Kondisi Dimensi Kinerja Mengajar Guru
Tabel 4.12.Kondisi Variabel Kinerja Mengajar Guru

___________


DAFTAR BAGAN

Bagan 1.1.Kerangka Berpikir             
Bagan 1.2.Paradigma Asosiatif antar Variabel Penelitian   
Bagan 2.1.Ruang Lingkup Manajemen Pendidikan   
Bagan 2.2.Interelasi Siswa, Tujuan, dan Guru dalam Mengajar
Bagan 2.3.Alur Kinerja, Motivasi dan Kemampuan Guru
Bagan 2.4.Saat Kebutuhan Fisiologis Menempati Posisi Paling Kuat Dibanding Kebutuhan Lain
Bagan 2.5.Saat Kebutuhan Penghargaan Menempati Posisi Paling Kuat Dibanding Kebutuhan Lain
Bagan 2.6.Saat Kebutuhan Aktualisasi Diri Menempati Posisi Paling Kuat Dibanding Kebutuhan Lain
Bagan 2.7.Penjabaran Teori Hierarki Kebutuhan Maslow ke dalam Motivasi Kerja
Bagan 2.8.Ruang Lingkup Supervisi Menurut Arikunto
Bagan 2.9.Hubungan Perilaku Supervisi, Perilaku Mengajar, Perilaku Belajar dan Hasil Belajar
Bagan 4.1.Korelasi (τ) dan Kontribusi (KP) Variabel X terhadap Y
Bagan 4.2.Hubungan Perilaku Supervisi, Perilaku Mengajar, Perilaku Belajar dan Hasil Belajar

__________


DAFTAR HISTOGRAM

Histogram 4.1.Variabel Persepsi Guru tentang Supervisi Akademik Kepala Sekolah
Histogram 4.2.Variabel Motivasi Berprestasi Guru
Histogram 4.3.Variabel Kinerja Mengajar Guru

___________


DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1.Daftar Jawaban Responden Angket Uji Coba
Lampiran 2.Angket                
Lampiran 3.Daftar Jawaban Responden        
Lampiran 4.Karakteristik Responden (359 Guru)   
Lampiran 5.Kondisi Persepsi Guru tentang Supervisi Akademik Kepala Sekolah menurut Item dan Indikator
Lampiran 6.Kondisi Motivasi Berprestasi Guru menurut Item dan Indikator
Lampiran 7.Kondisi Kinerja Mengajar Guru menurut Item dan Indikator
Lampiran 8.Kondisi Persepsi Guru tentang Supervisi Akademik Kepala Sekolah menurut Karakteristik
                  Responden
Lampiran 9.Kondisi Motivasi Berprestasi Guru menurut Karakteristik Responden
Lampiran 10.Kondisi  Kinerja  Mengajar Guru menurut Karakteristik Responden
Lampiran 11.Surat Permohonan Izin Mengadakan Studi Lapangan / Penelitian dari Direktur SPS UPI
                    Bandung
Lampiran 12.Surat Izin Survey, Riset dan Penelitian dari Kepala Disdikbudpora Kabupaten Majalengka
Lampiran 13.Surat  Keterangan  Telah  Malaksanakan  Penelitian  dari Sekolah Sampel
Lampiran 14.Riwayat Hidup           

__________


BAB I
PENDAHULUAN


A.LATAR BELAKANG MASALAH

Keberadaan manusia dalam organisasi, termasuk sekolah memiliki posisi yang sangat vital. Keberhasilan sekolah sangat ditentukan oleh kualitas orang-orang yang bekerja di dalamnya. Orang-orang yang bekerja di sekolah adalah kepala sekolah, guru dan staf tatalaksana. Dalam kegiatan pelaksanaan pendidikan di sekolah, guru merupakan orang yang paling penting karena gurulah yang melaksanakan pendidikan langsung menuju tujuannya. Gurulah yang secara operasional melaksanakan segala bentuk, pola, gerak dan geliat berbagai perubahan di lini paling depan dalam pendidikan, karena memiliki tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik (UU RI No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, pasal 1 ayat 1). Pelaksanaan tugas-tugas profesionalnya terungkap dari bagaimana ia bekerja, atau dengan kata lain dari kinerjanya.

Kinerja personal sekolah terkait dengan produktivitas sekolah, yang merupakan tujuan akhir dari administrasi atau penyelenggaraan pendidikan (Komariah dan Triatna, 2005 : 30). Kinerja adalah proses yang menentukan produktivitas organisasi. Jika produktivitas sekolah diukur dari prestasi belajar siswa, maka hal tersebut sangat tergantung prosesnya, yaitu kinerja mengajar gurunya. Dengan kata lain, secara terbalik, tak akan ada produktivitas berupa prestasi belajar siswa yang berarti tanpa kinerja mengajar guru yang baik.

Sayangnya, kinerja guru dirasakan masih rendah, karena terdapat banyak permasalahan di seputar kinerja mereka. Kondisi tersebut dikemukakan oleh beberapa ahli baik langsung maupun tidak langsung. Misalnya, pada saat diskusi panel bertajuk Profesionalisme dan Pendidikan Guru, Selasa, 24 Januari 2006, yang dihadiri panelis dari Dirjen Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Depdiknas Fasli Jalal, Rektor Universitas Sanata Dharma (USD) Yogyakarta Paulus Suparno, Rektor Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung Sunaryo Kartadinata, Ketua Umum Federasi Guru Independen Indonesia (FGII) Suparman, Koordinator Koalisi Pendidikan Lodi Paat, serta Koordinator Litbang SD Hikmah Teladan Cimahi, Aripin Ali, yang dipandu Soedijarto, Ketua Umum Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI) sekaligus penasihat PB PGRI - rendahnya kinerja guru mengemuka, bahkan dikaitkan dengan lembaga pendidikan yang menghasilkan tenaga guru, sehingga

Tanpa memperbaiki kinerja guru, semua upaya untuk membenahi pendidikan akan kandas. Kurikulum yang baik, perpustakaan yang lengkap, laboratorium canggih, ketersediaan komputer dan internet nyaris tidak ada artinya untuk memperbaiki mutu pendidikan bila guru-gurunya tidak bermutu dan tidak mencintai profesinya. Guru bermutu adalah guru yang menguasai ilmu yang diajarkan sekaligus menguasai keterampilan mengajar. Guru berkualitas hampir tidak mungkin dilahirkan apabila lembaga pendidikan gurunya tidak berkualitas dan mahasiswanya kelas dua. Masalah itu kait-mengait, dan pada akhirnya bermuara pada sejauh mana bangsa ini menghargai profesi guru (Susahnya Benahi Profesi Guru.  http://64.203.71. 11/kompas-cetak/0602/21/humaniora/2455732.htm).

Kustono, melalui makalah seminar nasional yang berjudul Urgensi Sertifikasi Guru dalam rangka Dies Natalis UNY yang ke-43 tanggal 5 Mei 2007 di Yogyakarta,  mengaitkan kinerja guru yang rendah dengan kualitas guru yang rendah pula. Ia mengemukakan bahwa bahwa :

Kualitas guru di Indonesia masih tergolong relatif rendah. Hal ini antara     lain disebabkan oleh tidak terpenuhinya kualifikasi pendidikan minimal terutama bila mengacu pada amanat UU RI No 14/2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD), dan PP RI Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP). Data dari Badan Penelitian dan Pengembangan Depdiknas pada tahun 2005 menunjukkan terdapat 1.646.050 (69,45%) guru SD, SMP, SMA, SMK, dan SLB yang tidak memenuhi kualifikasi pendidikan minimal. Kualifikasi guru dimaksud masing-masing sebagai berikut: guru TK terdapat 91,54%, SD terdapat 90,98%, SMP terdapat 48,05%, dan SMA terdapat 28,84% yang belum memiliki kualifikasi pendidikan S1/D4 (Kustono, 2007).

Khusus untuk guru SMP – yang menjadi responden dalam penelitian ini, menurut data tahun 2005 tersebut, guru SMP yang layak mengajar adalah 51,95%. Pada tahun pelajaran 2006 / 2007 ada peningkatan, dari 624.726 guru  SMP negeri dan swasta, yang layak mengajar adalah 487.512 guru atau 78,04% (Statistik SMP-Depdiknas, http://www.depdiknas.go.id/statistik/0607/smp0607 /tbl_14i.pdf). Meningkatnya jumlah guru SMP yang layak mengajar tersebut sebagai akibat dari tuntutan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru, pasal 4 - 5 yang mensyaratkan sertifikasi dengan kualifikasi akademik minimal S1 /D4.  Persyaratan tersebut selain menjadikan perekrutan guru baru dari lulusan jenjang pendidikan tersebut, juga mendorong guru yang semula belum berijazah S1 / D4 melanjutkan pendidikannya ke jenjang tersebut. Peningkatan kualifikasi akademik yang ditempuh melalui proses pendidikan tersebut sudah seharusnya meningkatkan kemampuan guru. Namun demikian, tidak serta-merta meningkatkan kinerjanya.

Permadi dan Dadi menemukan guru dalam menyikapi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), setelah diberlakukan sejak tahun 2006 :

Pelaksanaan proses belajar mengajar dengan model kurikulum berbasis kompetensi (KBK) yang sekarang disempurnakan menjadi model KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) yang juga menekankan perlunya ada berbagai upaya untuk secara mandiri dari guru untuk berkreasi agar pengajaran di kelas menjadi lebih menarik dan menyenangkan, masih jauh dari harapan. Guru masih terlalu kaku dan takut untuk mengambil inisiatif karena pada zaman orde baru selalu karus “mohon petunjuk” dari yang lebih atas (kepala sekolah, pengawas, dan birokrat pemerintah) serta takut disalahkan jika memiliki suatu ide dalam inovasi pembelajaran (Permadi dan Arifin, 2007 : 63).

Sulistyo - Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), dalam rangka peringatan Hari Guru Internasional, Minggu, 5 Oktober 2008, mengatakan bahwa kemampuan guru mempersiapkan pembelajaran di kelas masih lemah, guru kurang memiliki gambaran apa yang harus dilakukannya di kelas.  Menurutnya, penting untuk menumbuhkan kesadaran internal guru sendiri tentang perbaikan dan perubahan kinerja, guru perlu mengetahui persis kewajiban dan penguasaan kompetensi secara maksimal. Oleh karena itu menurutnya, persoalan peningkatan mutu guru tidak dapat ditawar-tawar lagi, sudah mutlak harus dilakukan, tanpa peningkatan mutu guru, upaya peningkatan kualitas pendidikan dan kucuran anggaran besar-besaran sia-sia belaka. Sulistiyo mengemukakan semua ini didasarkan pada disertasi hasil penelitiannya dengan menyebar kuesioner, observasi dalam kelas, wawancara mendalam, serta tes psikologi mengenai kemampuan metakognisi guru dalam mempersiapkan pembelajaran, yakni bagaimana guru merancang, memikirkan, dan mengelola bahan ajar. (Mutu Guru Sudah Mutlak Pemerintah Harus Bantu Memperluas Wawasan Guru.http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/10/06/ 01035533/mutu.guru.sudah.mutlak).

Di kabupaten Majalengka sendiri, sampai saat ini belum ada hasil pengukuran kinerja guru (khususnya guru SMP negeri) kabupaten Majalengka yang research base. Penilaian kinerja guru yang resmi sendiri justru terselip diantara aspek-aspek lain : (1) kesetiaan, (2) prestasi kerja, (3) tanggung jawab, (4) ketaatan, (5) kejujuran, (6) kerjasama, (7) prakarsa, dan (8) kepemimpinan dalam Daftar Penilaian Pekerjaan PNS (DP3). Aspek ke delapan tidak disertakan untuk menilai guru, kecuali guru tersebut menjadi kepala sekolah. Instrumen yang didasarkan pada PP Nomor 10 tanggal 15 Mei 1979, selain terlalu umum, sehingga tidak sepenuhnya cocok untuk mengukur kinerja profesi tertentu termasuk guru, tiap aspek yang dinilainya pun tidak memiliki parameter yang jelas, sehingga peskorannya yang berkisar dari 0 - 100 untuk setiap aspek bisa ditafsirkan secara berbeda. Padahal yang harus didahulukan sebelum melakukan penilaian kinerja adalah mendefinisikan pekerjaan, yaitu menguraikan kewajiban dan standar suatu pekerjaan (profesi), karena penilaian kinerja berarti membandingkan antara kinerja pegawai sesungguhnya dengan standar pekerjaan yang didefinisikan sebelumnya (Dessler, 2006 : 327). Dengan demikian, untuk menilai atau mengukur kinerja mengajar guru diperlukan instrumen (format) khusus yang sesuai dengan tuntutan (standar) profesional guru dalam mengajarnya.

Secara umum, A. Dale Timple mengemukakan bahwa kinerja dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal (Mangkunegara, 2007 : 15). Beberapa peneliti telah memilih faktor-faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi kinerja guru sesuai dengan interest masing-masing. Hasil penelitian mereka penulis pelajari sebagai bagian dari studi awal sebelum melakukan penelitian yang sebenarnya.

Yang pertama adalah hasil penelitian Wuviani (2005) yang meneliti kinerja guru dengan judul ”Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja Guru”. Ia membatasi faktor-faktor tersebut pada tiga variabel, yaitu (1) kualifikasi pendidikan, (2) motivasi kerja guru, dan (3) kepemimpinan kepala sekolah. Dengan populasi guru SMAN di kota Bandung, Wuviani menemukan, bahwa   ketiganya memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kinerja guru, dengan rincian : (1) kualifikasi pendidikan sebesar 37,40%, (2) motivasi kerja guru sebesar 45,20%, dan (3) kepemimpinan kepala sekolah sebesar 51,80%. Secara bersama-sama ketiganya memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kinerja guru sebesar 67,00%. Sisanya ditentukan oleh faktor-faktor lain.

Kemudian, Riduwan (2006) meneliti kinerja dosen dengan judul ”Kontribusi Kompetensi Profesional dan Motivasi Kerja terhadap Kinerja Dosen (Studi pada Universitas Jendral Achmad Yani Kota Cimahi)”. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kompetensi profesional secara signifikan memberikan kontribusi sebesar 30,46%, dan moivasi kerja sebesar 61,94% terhadap kinerja dosen. Secara simultan keduanya memberikan kontribusi terhadap kinerja dosen secara signifikan sebesar 90,00%, dan sisanya sebesar 10,00% merupakan pengaruh faktor lain.

Terakhir, Husdarta (2007 : 12 - 25) melakukan penelitian dengan judul ”Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja Guru Pendidikan Jasmani”. Berdasarkan teori yang dipelajarinya, ia menemukan bahwa untuk meningkatkan kinerja guru harus mempertimbangkan faktor internal dan eksternal guru. Ia mengidentifikasi lima variabel yang mempengaruhi kinerja guru, yaitu (1) layanan supervisi, (2) kepemimpinan kepala sekolah, (3) fasilitas pembelajaran, (4) kompetensi, dan (5) motivasi berprestasi. Dengan metode penelitian deskriptif, teknik pengumpulan data kuesioner, sampel sebanyak 150 guru olah raga SD yang ditarik melalui random sampling technique. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa variabel-variabel tersebut mempengaruhi kinerja guru pendidikan jasmani dengan besaran : (1) layanan supervisi 5,70%, (2) kepemimpinan kepala sekolah 17,20%, (3) fasilitas pembelajaran 6,10%, (4) kompetensi 13,90%, dan (5) motivasi berprestasi 12,60%. Pengaruh kelima variabel secara bersama-sama adalah 55,40%, sisanya 44,60% pengaruh dari variabel lain. 

Terdapatnya hubungan yang signifikan antara berbagai variabel dengan kinerja guru yang tercermin dalan judul-judul tesis dan desertasi para peneliti tersebut, menunjukkan betapa banyaknya faktor yang mempengaruhi kinerja mengajar guru.

Dua faktor atau variabel lain yang penulis duga memiliki hubungan yang signifikan dengan kinerja mengajar guru adalah motivasi berprestasi guru dan supervisi akademik kepala sekolah terhadap guru.

Motivasi berprestasi merupakan bagian dari motivasi kerja yang lebih spesifik dengan karakteristik beroientasi pada keberhasilan, kesempurnaan, kesungguhan dan keunggulan dalam melaksanakan pekerjaan. Penulis memandang faktor tersebut sangat mengagumkan jika dimiliki oleh pegawai, khususnya guru, dan penting dalam medukung kinerja mereka.

Supervisi merupakan upaya pembinaan agar semua faktor yang mempengaruhi pegawai tidak menggangu kinerja mereka, melainkan sebaliknya, menggiringnya menjadi potensi untuk bekerja secara profesional. Upaya ini menjaga pegawai sehingga mereka tetap on the track. W. Edwards Deming, ahli kualitas, menggarisbawahi pentingnya supervisi atau pengawasan sebagai bagian dari manajemen mutu keseluruhan (total).  Ia mengemukakan bahwa ”pada dasarnya, kinerja karyawan lebih merupakan fungsi dari pelatihan, komunikasi, alat, dan pengawasan . . . .” (Dessler, 2006 : 322). Aktivitas supervisi  berupaya untuk melakukan perbaikan yang terus menerus (continuous improvement), pencapaian kualitas dan ketercapaian tujuan yang lebih baik (Dessler, 2006 : 323). Jenis supervisi dalam dunia pendidikan disesuaikan dengan tujuan dan sasarannya. Salah satunya adalah supervisi akademik yaitu supervisi pendidikan yang berupaya untuk meningkatkan mutu proses dan hasil pembelajaran melalui peningkatan kemampuan profesional guru (Satori, 2004 : 3). Supervisi akademik yang dilakukan kepala sekolah penulis pandang penting karena merupakan rangkaian dari aktivitas quality assurance dalam pendidikan. Penilaian terhadap aktivitas supervisi akademik kepala sekolah secara kedinasan dilakukan oleh pengawas sekolah, namun dalam penelitian ini, penulis mencoba meneliti supervisi akademik yang dilakukan kepala sekolah ini berdasarkan persepsi guru yang disupervisinya. 

Dengan latar belakang masalah seperti yang dipaparkan di atas, penulis melakukan penelitian yang berfokus pada kinerja guru dengan judul ”Kontribusi Persepsi Guru tentang Supervisi Akademik Kepala Sekolah dan Motivasi Berprestasi Guru terhadap Kinerja Mengajar Guru SMP Negeri di Kabupaten Majalengka”.


B.IDENTIFIKASI DAN BATASAN MASALAH

Jika dirinci, banyak faktor yang mempengaruhi kinerja mengajar guru. Faktor-faktor tersebut bisa bersumber dari diri guru itu sendiri (internal), dan bersumber dari luar guru (eksternal).

Yang tergolong faktor internal guru antara lain :
 1.Kesehatan
 2.Kecacatan
 3.Gender
 4.Minat
 5.Sikap  
 6.Kemampuan
 7.Motivasi berprestasi
 8.Persepsi
 9.Kepercayaan  
10.Komitmen
11.Tingkat pendidikan
12.Pengalaman kerja, dan lain-lain.

Yang tergolong faktor eksternal guru antara lain :
1.Kebijakan pemerntah
2.Manajemen sekolah
3.Supervisi akademik  
4.Iklim sekolah
5.Sarana prasarana
6.Siswa yang dihadapi
7.Pendapatan
8.Kehidupan sosial, dan lain-lain.

Karena terbatasnya waktu dan dana, dalam penelitian ini penulis membatasi masalahnya pada dua faktor internal guru yang mempengaruhi kinerja mengajarnya, yaitu variabel motiovasi berprestasi guru dan variabel persepsi guru tentang supervisi akademik kepala sekolah. Adapun guru dan kepala sekolah yang dimaksudkan dalam kedua variabel tersebut adalah guru dan kepala SMP negeri di kabupaten Majalengka.

Alasan untuk memilih variabel motivasi berprestasi guru SMP negeri di kabupaten Majalengka adalah :
1.Belum terukurnya motivasi berprestasi guru SMP negeri dalam wilayah kabupaten Majalengka.
2.Motivasi berprestasi guru merupakan kunci keunggulan guru, yang akan berimbas pada keunggulan siswa, keunggulan sekolah dan keunggulan proses dan produk pendidikan nasional.

Sedangkan alasan memilih variabel persepsi guru tentang supervisi akademik kepala SMP negeri di kabupaten Majalengka adalah :
1.Kegiatan supervisi akademik merupakan rangkaian dalam penjaminan mutu pendidikan, tapi sering terabaikan oleh kepala sekolah. Hal ini dibuktikan oleh hasil penelitian Willis (Satori, 1989 : 100), yang menemukan bahwa kepala sekolah menggunakan sebagian besar waktunya untuk mengerjakan pekerjaan kantor dan menghadiri rapat-rapat yang sifatnya berisi masalah-masalah administratif. Di negeri kita sendiri disinyalir bahwa pengawasan internal kurang berjalan dengan baik, termasuk supervisi akademik yang dilakukan kepala sekolah kepada guru. Hal ini dimuat dalam harian Radar Semarang : ”Secara  teoritis  kepala  sekolah  telah banyak menyusun perencanaan supervisi guru di kelas, namun dengan dalih kesibukan tugas pokok lainnya pelaksanaan supervisi belum banyak dilakukan” (Eriyadi,  2008).
2.Supervisi akademik merupakan salah satu dimensi standar kompetensi kepala sekolah (Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 13 Tahun 2007 tentang Standar Kepala Sekolah / Madrasah, BSNP, 2007 b : 10, 18, 26) yang perlu diketahui implementasinya.
3.Gurulah yang paling menyaksikan (melihat), mendengar, dan merasakan sendiri bagaimana kepala sekolah melakukan supervisi akademik kepada mereka secara aktual (empiris) di sekolah tempat mereka bekerja.


C.RUMUSAN MASALAH

1.Bagaimanakah deskripsi empiris persepsi guru tentang perilaku supervisi akademik kepala SMP negeri di kabupaten Majalengka?
2.Bagaimanakah deskripsi empiris motivasi berprestasi guru SMP negeri di kabupaten Majalengka?
3.Bagaimanakah deskripsi empiris kinerja mengajar guru SMP negeri di kabupaten Majalengka?
4.Berapa besar kontribusi persepsi guru tentang supervisi akademik kepala sekolah terhadap kinerja mengajar guru SMP negeri di kabupaten Majalengka?
5.Berapa besar kontribusi motivasi berprestasi guru terhadap kinerja mengajar guru SMP negeri di kabupaten Majalengka?
6.Berapa besar kontribusi persepsi guru tentang supervisi akademik kepala sekolah dan motivasi berprestasi guru terhadap kinerja mengajar guru SMP negeri di kabupaten Majalengka?


D.TUJUAN PENELITIAN

Untuk mengetahui dan menganalisis:
1.Deskripsi persepsi guru tentang perilaku supervisi akademik kepala sekolah SMP negeri di kabupaten Majalengka.
2.Deskripsi motivasi berprestasi guru SMP negeri di kabupaten Majalengka.
3.Deskripsi kinerja mengajar guru SMP negeri di kabupaten Majalengka.
4.Besarnya kontribusi persepsi guru tentang supervisi akademik kepala sekolah terhadap kinerja mengajar guru SMP negeri di kabupaten Majalengka.
5.Besarnya kontribusi motivasi berprestasi guru terhadap kinerja mengajar guru SMP negeri di kabupaten Majalengka.
6.Besarnya kontribusi persepsi guru tentang supervisi akademik kepala sekolah dan motivasi berprestasi guru secara bersama-sama terhadap kinerja mengajar guru SMP negeri di kabupaten Majalengka.


E.MANFAAT PENELITIAN

Manfaat yang dihasilkan dari penelitian ini, setidak-tidaknya ada dua, yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis.

1.Manfaat Teoritis

Manfaat teoritis menekankan manfaat penelitian ini dari segi ilmiah dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan, yaitu dapat memberikan sumbangan terhadap khazanah pengembangan ilmu administrasi pendidikan khususnya fungsi supervisi, dan perilaku organisasional pendidikan menyangkut motivasi berprestasi dan kinerja mengajar guru.

2.Manfaat Praktis

Manfaat praktis dari penelitian ini adalah :
a.Dengan mengetahui deskripsi persepsi guru tentang supervisi akademik kepala sekolah, motivasi berprestasi guru dan kinerja mengajar guru, maka gambaran ketiga variabel tersebut bisa menjadi bahan masukan bagi dinas pendidikan dalam menentukan kebijakan dan pembinaan pegawai, khususnya guru dan kepala sekolah.
b.Dengan mengetahui besarnya kontribusi persepsi guru tentang supervisi akademik kepala sekolah terhadap kinerja mengajar guru, maka stakeholders pendidikan, khususnya  kepala sekolah dan pengawas sekolah mendapat masukan untuk mengarahkan dan membina guru dalam upaya peningkatan mutu pembelajaran di sekolah yang dipimpin dan dibinanya.
c.Dengan mengetahui besarnya kontribusi motivasi berprestasi guru terhadap kinerja mengajar guru, maka stakeholders pendidikan, khususnya kepala sekolah dan pengawas sekolah bisa mengkondisikan terciptanya kinerja mengajar guru yang prima.
d.Dengan mengetahui besarnya kontribusi persepsi guru tentang supervisi akademik kepala sekolah dan motivasi berprestasi guru terhadap kinerja mengajar guru, maka stakeholders pendidikan, terutama departemen (pemerintah pusat) dan dinas pendidikan (pemerintah daerah) bisa menentukan kebijakan yang kondusif dalam rangka peningkatan mutu pendidikan.


F.DEFINISI OPERASIONAL VARIABEL

1.Persepsi Guru tentang Supervisi Akademik Kepala Sekolah (X1)

Secara operasional persepsi guru tentang supervisi akademik kepala sekolah dalam penelitian ini didefinisikan sebagai penafsiran atau pemahaman guru berdasarkan penglihatan, pendengaran dan perasaannya tentang perilaku supervisi akademik yang dilakukan kepala sekolah dalam rangka meningkatkan mutu proses dan hasil pembelajaran terhadap guru SMP negeri di kabupaten Majalengka. Persepsi guru berkaitan dengan teknik pengumpulan data yang didasarkan atas hasil pengamatan (persepsi) guru tentang aktivitas supervisi akademik yang dilakukan atasannya, sehingga dimensi dan indikator dari variabel ini adalah dimensi dan indikator dari supervisi akademik kepala sekolah itu sendiri, yang dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 1.1.
Dimensi dan Indikator Supervisi Akademik Kepala Sekolah










2.Motivasi Berprestasi Guru (X2)

Secara operasional motivasi berprestasi guru dalam penelitian ini didefinisikan sebagai dorongan atau keinginan guru SMP negeri di kabupaten Majalengka untuk mencapai kesuksesan, kesempurnaan bahkan keunggulan dalam melaksanakan tugas atau pekerjaannya. Adapun dimensi dan indikator dari variabel motivasi berprestasi guru  dapat dilihat dalam berikut :

Tabel 1.2.
Dimensi dan  Indikator Variabel Motivasi Berprestasi Guru








3.Kinerja Mengajar Guru (Y)

Secara operasional kinerja mengajar guru dalam penelitian ini didefinisikan sebagai jumlah dan mutu proses dan hasil kerja yang dicapai guru SMP negeri di kabupaten Majalengka dalam melaksanakan tugas-tugas atau pekerjaan mengajarnya. Adapun dimensi dan indikator dari variabel kinerja mengajar guru dapat dilihat dalam tabel berikut :

Tabel 1.3.
Dimensi dan Indikator Variabel Kinerja Mengajar Guru










G.PARADIGMA PENELITIAN

Paradigma penelitian adalah pola pikir yang menunjukkan hubungan asosiatif antar variabel yang akan diteliti (Sugiyono, 2006 : 45 dan Sugiyono, 2007 : 5). Sebelum sampai pada paradigma penelitian seperti yang dimaksud Sugiyono, penulis jelaskan terlebih dahulu mengenai kerangka berpikir penulis dalam penelitian ini : Kinerja mengajar guru merupakan praktek profesionalisme guru dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan (nasional), melalui pembinaan perilaku belajar siswa yang menentukan prestasi belajarnya. Prestasi belajar siswa menggambarkan sejauh mana tujuan pendidikan telah dicapai. Tingkat ketercapaian tujuan ini memberikan feedback kepada guru. Kinerja mengajar guru itu sendiri tidak independen, melainkan dipengaruhi faktor lain yang secara garis besarnya meliputi faktor internal guru dan faktor eksternal guru. Di antara faktor internal dimaksud adalah faktor motivasi berprestasi guru, dan faktor persepsi guru tentang supervisi akademik yang dilakukan kepala sekolah kepada guru dalam me-manage sekolah.

Kedua faktor internal guru yang mempengaruhi kinerja mengajar guru, dan kaitannya dengan perilaku belajar siswa, prestasi belajar siswa dan tujuan pendidikan tersebut dapat divisualisasikan dalam bagan berikut :




















Bagan 1.1.
Kerangka Berpikir

Adapun paradigma penelitian yang menunjukkan hubungan asosiatif antar variabel dalam penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut : Pertama, persepsi guru tentang supervisi akademik kepala sekolah (X1) dihipotesiskan berkorelasi dengan kinerja mengajar guru (Y). Analisis korelasinya menentukan besarnya koefisien korelasi (r, τ, ρ) X1Y yang diperlukan untuk menghitung besarnya konribusi (KP) dari X1 terhadap Y. Kedua, motivasi berprestasi guru (X2) dihipotesiskan berkorelasi dengan kinerja mengajar guru (Y). Analisis korelasinya menentukan besarnya koefisien korelasi (r, τ, ρ) X2Y, yang diperlukan untuk menghitung besarnya konribusi (KP) dari X2 terhadap Y. Ketiga, persepsi guru tentang supervisi akademik kepala sekolah (X1) dihipotesiskan berkorelasi dengan motivasi berprestasi guru (X2). Analisis korelasinya menentukan besarnya koefisien korelasi (r, τ, ρ) X1X2 yang diperlukan untuk menghitung besarnya konribusi (KP) dari X1 terhadap X2. Terakhir, keempat, secara simultan persepsi guru tentang supervisi akademik kepala sekolah (X1)  dan motivasi berprestasi guru (X2) dihipotesiskan berkorelasi dengan kinerja mengajar guru (Y). Analisis korelasi ganda ketiga variabel tersebut menentukan besarnya koefisien korelasi ganda (R, M, ρ) X1X2Y,  yang didasarkan pada besarnya koefisien korelasi X1X2,  X2Y dan X1X2. Koefisien korelasi ganda X1X2Y sendiri diperlukan untuk menghitung besarnya kontribusi (KP) simultan dari X1 dan X2 terhadap Y. Visualisasi paradigma asosiatif antara variabel X1, X2 dan Y yang diuraikan di atas, ada pada bagan berikut :










Bagan 1.2
Paradigma Asosiatif antar Variabel Penelitian

Keterangan :
X1      =  persepsi guru tentang supervisi akademik kepala sekolah
X2      =  motivasi berprestasi guru
Y        =  kinerja mengajar guru
r,τ,ρ    =  koefisien korelasi sederhana
R,M    =  koefisien korelasi ganda (multiple)  
KP      =  koefisien penentu (determinan)
ε         =  epsilon


H.ANGGAPAN DASAR

1.A. Dale Timple mengemukakan bahwa kinerja dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal (disposisional) yaitu faktor yang dihubungkan dengan sifat-sifat seseorang, misalnya kemampuan dan sifat keras dalam bekerja. Faktor eksternal yaitu faktor-faktor yang berasal dari lingkungan, seperti perilaku, sikap dan tindakan rekan kerja, bawahan atau pimpinan, fasilitas kerja dan iklim organisasi (Mangkunegara, 2007 : 15).
2.Persepsi itu penting dalam studi perilaku organisasi karena perilaku manusia didasarkan pada persepsi mereka mengenai apa realitas yang ada, bukan mengenai realitas itu sendiri. Dunia seperti yang dipersepsikan adalah dunia yang penting dari segi perilaku (Robbins, 2007 : 170).
3.”The end result of supervisory effort is improved student behavior or learning. While instructional supervision seldom impacts directly on student behavior, it contributes to this ultimate goal of the organization through its influence on teacher behavior . . .” (Alfonso et al., 1981 : 45). Dewasa ini di negara kita instructional supervision lebih dikenal dengan istilah supervisi akademik.
4.”Motif berprestasi sangat berpengaruh terhadap unjuk kerja (performance) seseorang . . . ” (Uno, 2007 : 30).


I.HIPOTESIS

Rumusan masalah yang telah dikemukakan di muka dijawab dengan hipotesis kerja atau alternatif (Ha) sebagai berikut :
1.Persepsi guru tentang supervisi akademik kepala sekolah memberikan kontribusi yang signifikan terhadap kinerja mengajar guru SMP negeri di kabupaten Majalengka.
2.Motivasi berprestasi guru memberikan kontribusi yang signifikan terhadap kinerja mengajar guru SMP negeri di kabupaten Majalengka.
3.Persepsi guru tentang supervisi akademik kepala sekolah dan motivasi berprestasi guru secara simultan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap kinerja mengajar guru SMP negeri di kabupaten Majalengka.


J.METODE PENELITIAN

Karena enam rumusan masalah yang telah dikemukakan memiliki karakteristik :
1.Menunjuk pada suatu populasi dan sampel (guru SMP negeri di kabupaten Majalengka),
2.Bermaksud untuk menentukan suatu generalisasi (sekabupaten Majalengka),
3.Memerlukan data kuantitatif dengan analisis kuantitatif (statistika) dengan tingkat eksplanasi deskriptif dan asosiatif (hubungan),
4.Tidak meneliti peristiwa baik yang telah terjadi (ex post facto), maupun yang berlangsung di masa lalu (sejarah),
5.Tidak memerlukan kelompok kontrol dan tidak dikontrol dengan ketat (eksperimen),
6.Bukan mengenai kebijakan administrator pada suatu organisasi pendidikan (policy research),
7.Tidak bertujuan untuk mengembangkan metode kerja yang paling efisien (action research), dan
8.Bukan merupakan evaluasi dari suatu program,

maka metode penelitian yang digunakan adalah metode survey.


K.POPULASI DAN DAN SAMPEL PENELITIAN

Yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah guru SMP negeri di kabupaten Majalengka, baik PNS maupun non PNS. Jumlahnya menurut data yang diperoleh dari Disdikbudpora Kabupaten Majalengka pada bulan Juli 2009 adalah sebanyak 1954 guru.

Alasan penulis sehingga menggunakan guru sebagai populasi dalam penelitian ini adalah :
1.Penelitian ini berjudul ”Kontribusi Persepsi Guru tentang Supervisi Akademik Kepala Sekolah dan Motivasi Berprestasi Guru terhadap Kinerja Mengajar Guru SMP Negeri di Kabupaten Majalengka”. Jadi secara eksplisit tertuju kepada guru.
2.Guru adalah orang yang langsung melihat, mendengar, dan merasakan (mengalami) bagaimana kepala sekolah melakukan supervisi akademik kepada dirinya. Dengan kata lain, guru adalah orang yang dapat memotret pelaksanaan supervisi akademik yang dilakukan atasannya.
3.Guru adalah orang yang paling tahu tentang kondisi psikologis dirinya, termasuk motivasi berprestasi yang dimilikinya.
4.Guru adalah orang yang melaksanakan kegiatan mengajar, karena itu guru pula yang paling tahu kinerja mengajarnya.
5.Guru adalah profesional yang telah mendalami evaluasi pendidikan dan senantiasa obyektif dalam mengevaluasi proses dan hasil belajar siswa. Mereka pun penulis asumsikan akan konsisten dengan sikap obyektifitasnya ketika harus mengungkapkan pelaksanaan supervisi akademik yang dilakukan kepala sekolah, dan mengungkapkan motivasi berprestasi serta kinerja mengajar dirinya sendiri.
6.Dipilihnya guru SMP negeri di kabupaten Majalengka berkaitan dengan salah satu satuan pendidikan yang menjadi perhatian penulis sebagai pengawas satuan pendidikan menengah yang di lingkungan Dinas Pendidikan Kebudayaan Pemuda dan Olah Raga (Disdikbudpora) Kabupaten Majalengka meliputi SMP, SMA dan SMK. Dalam hal ini penulis berharap hasil penelitian ini bermanfaat bagi pengawas pendidikan menengah dan dinas pendidikan tempat penulis bekerja.

Karena jumlah populasi yang besar, penulis tidak menggunakan seluruhnya, melainkan menggunakan sampel yang merepresentasikan populasi. Jumlah dan teknik sampling-nya dibahas dalam Bab III.

___________


BAB II
TINJAUAN TEORITIS


A.KINERJA MENGAJAR GURU DALAM PERSPEKTIF ADMINIS-TRASI PENDIDIKAN


1.Administrasi Pendidikan
  
Pendidikan adalah upaya yang secara sadar dirancang untuk membantu seseorang atau sekelompok orang dalam mengembangkan ilmu pengetahuan, pandangan hidup, sikap hidup, dan keterampilan hidup baik yang bersifat manual individual maupun sosial (Sagala, 2006 : 1). Upaya sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan siswa tersebut dapat diselenggarakan dalam berbagai bentuk.  Ada yang diselenggarakan secara sengaja, terencana, terarah dan sistematis seperti pada pendidikan formal, ada yang diselenggarakan secara sengaja, akan tetapi tidak terencana dan tidak sistematis seperti yang terjadi  di lingkungan keluarga (pendidikan informal), dan ada yang diselenggarakan secara sengaja dan berencana, di luar lingkungan keluarga dan lembaga pendidikan formal, yaitu melalui  pendidikan non formal.

Apapun bentuk penyelenggarannya, secara umum pendidikan bertujuan untuk membantu anak-anak atau peserta didik mencapai kedewasaannya masing-masing, sehingga mereka mampu berdiri di lingkungan masyarakatnya. Untuk masyarakat kita, sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 3, pendidikan berfungsi dan bertujuan sebagai berikut :

Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Agar pendidikan bisa berfungsi dan mencapai tujuan seperti dirumuskan dalam undang-undang tersebut, maka pendidikan harus ”diadministrasikan”, artinya dikelola sesuai dengan ilmu administrasi.  

Administrasi berasal dari kata Latin, ad berarti intensif, dan ministrare yang berarti melayani, membantu atau mengarahkan. Definisinya menurut beberapa ahli :
a.Henry Fayol :
Administrasi adalah fungsi dalam organisasi yang unsur-unsurnya adalah perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), pemberian perintah (commanding), pengkoordinasian (coordinating), dan pengawasan (controlling) (Sagala, 2006 : 23).
b.Luther Gulick :
Administrasi adalah sistem pengetahuan dengan mana manusia dapat mengerti hubungan-hubungan, meramalkan akibat-akibat, dan mempengaruhi hasil-hasil pada suatu keadaan di mana orang-orang secara teratur bekerjasama untuk suatu tujuan bersama. Menurutnya, fungsi-fungsi administrasi adalah perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), pengadaan tenaga kerja (staffing), pemberian bimbingan (directing), pengkoordinasian (coordinating), pelaporan (reporting) dan penganggaran (budgeting). Fungsi-fungsi ini dikenal dengan singkatan POSDCRB (Sagala, 2006 : 25).
c.Sondang P. Siagian :
”Administrasi adalah keseluruhan proses kerjasama antara dua orang atau lebih yang didasarkan atas rasionalitas tertentu, untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya” (Sagala, 2006 : 26).
d.Hadari Nawawi :
”Administrasi adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan sebagai proses pengendalian usaha kerjasama sekelompok orang untuk mencapai tujuan bersama yang telah ditetapkan sebelumnya” (Nawawi, 1983 : 7).

Mengadministrasikan pendidikan berarti menempatkan pedidikan sebagai aktivitas yang terorganisir. Pengertiannya yang lebih lengkap dikemukakan beberapa ahli berikut ini :
a.Hadari Nawawi
Administrasi pendidikan adalah serangkaian kegiatan atau keseluruhan proses pengendalian usaha kerjasama sejumlah orang untuk mencapai tujuan pendidikan secara berencana dan sistematis yang diselenggarakan dalam lingkungan tertentu, terutama berupa lembaga pendidikan formal (Nawawi, 1983 : 11).
b.Engkoswara
Administrasi pendidikan adalah ilmu yang mempelajari penataan sumber daya, yaitu manusia, kurikulum, atau sumber belajar dan fasilitas untuk mencapai tujuan pendidikan secara optimal dan penciptaan suasana yang baik bagi manusia yang turut serta dalam mencapai tujuan pendidikan yang disepakati (Daryanto, 2006 : 11).
c.Depdikbud
Administrasi pendidikan adalah suatu proses keseluruhan kegiatan bersama dalam bidang pendidikan yang meliputi perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pengkoordinasian, pengawasan, pembiayaan, dan pelaporan dengan menggunakan atau memanfaatkan fasilitas yang tersedia, baik personal dan  material, maupun spiritual untuk mencapai tujuan pendidikan secara efektif dan efisien (Daryanto, 2006 : 8).
  
Dari pendapat mereka, bisa disimpulkan secara ringkas bahwa administrasi adalah proses pengelolaan sumber daya untuk mencapai tujuan secara efektif dan efisien. Proses pengelolaannya tiada lain berupa fungsi-fungsi administrasi, dan sumber dayanya seperti dikemukakan Sugiyono (2006 : 22) meliputi tujuh M yaitu man, money, materials, methods, machines, market dan minute. Sedangkan administrasi pendidikan merupakan penerapan ilmu administrasi dalam dunia pendidikan, atau sebagai proses pengelolaan sumber daya untuk mencapai tujuan secara efektif dan efisien dalam praktek pendidikan.


2.Ruang Lingkup Administrasi Pendidikan

Sebagai aplikasi dari administrasi umum, Nawawi (1983 : 13 - 15), memandang bahwa administrasi pendidikan memiliki ruang lingkup yang sama dengan administrasi umum, yaitu :
a.Manajemen Administratif (manajement of administrative function), yaitu kegiatan-kegiatan yang mengarahkan agar semua orang dalam organisasi / kelompok kerjasama mengerjakan hal-hal yang tepat sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Bidang manajemen administratif meliputi (1) perencanaan (planning), (2) organisasi (organization), (3) bimbingan / pengarahan (directing / commanding), (4) koordinasi (coordination), (5) pengawasan (control), dan (6) komunikasi (communication).
b.Manajemen Operatif (management of operative function), yaitu kegiata-kegiatan yang bertujuan mengarahkan dan membina agar dalam mengerjakan pekerjaan yang menjadi beban tugas masing-masing, setiap orang melaksanakannya dengan tepat dan benar. Bidang manajemen operatif meliputi (1) tata usaha, (2) perbekalan, (3) kepegawaian, (4) keuangan, dan (5) hubungan masyarakat.
 
Manajemen administratif menduduki fungsi primer sedangkan manajemen operatif menduduki fungsi sekunder, keduanya terkait erat karena setiap kegiatan manajemen operatif harus direncanakan, diorganisir, diarahkan, dikoordinasikan, dikontrol dan dikomunikasikan, atau dengan kata lain harus dilakukan dengan langkah-langkah administrasi.

Engkoswara (2001 : 2 - 3) meringkas fungsi administrasi atau manajemen menjadi tiga fungsi yaitu (1) perencanaan, (2) pelaksanaan, dan (3) pengawasan. Ia menggambarkan keterpaduan fungsi-fungsi tersebut dengan wilayah kerja atau garapan (sumber daya) dalam sebuah bagan berikut :









Bagan 2.1.
Ruang Lingkup Manajemen Pendiddikan

Keterpaduan antara fungsi dengan wilayah kerja manajemen pendidikan dalam bagan tersebut selanjutnya dijelaskan bahwa fungsi utama perilaku organisasi dalam bidang pendidikan yaitu perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pendidikan yang menyangkut ketiga garapan utama , yaitu : (1) sumber daya manusia (SDM) yang terdiri atas peserta didik, tenaga kependidikan, dan  masyarakat pemakai jasa pendidikan, (2) sumber belajar (SB) ialah alat atau rencana kegiatan yang akan dipergunakan debagai media, di antaranya kurikulum, dan (3) sumber fasilitas dan dana (SFD) adalah faktor pendukung yang memungkinkan pendidikan berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Fungsi dan garapan manajemen pendidikan itu merupakan media atau perilaku organisasi yang diharapkan mencapai tujuan pendidikan secara produktif (TPP), baik untuk kepentingan perorangan maupun kelembagaan. Ini mempunyai arti bahwa kriteria keberhasilan manajemen pendidikan ialah produktifitas pendidikan.


3.Keterkaitan antara Sumber Daya Manusia dengan Mutu Pendidikan

Menurut Engkoswara (2001 : 3) produktifitas pendidikan dapat dilihat atau diukur dari sudut efektifitas dan efisiensi pendidikan. Efektifitas pendidikan dapat dilihat dari (1) prestasi pendidikan : masukan dan keluaran (tamatan) yang merata dan banyak, produk dan jasa atau layanan pendidikan yang bermutu sehingga bisa bersaing dan bernilai ekonomi, ketenagaan dan ilmu yang dihasilkannya relevan dengan keperluan masyarakat, dan dari (2) proses pendidikan : menunjukkan kegairahan (motivasi) belajar yang tinggi pada peserta didik. Efisiensi pendidikan dapat dilihat dari pemanfaatan tenaga, fasilitas, dana dan waktu yang sesedikit mungkin tapi hasilnya banyak, bermutu, relevan dan bernilai ekonomi yang tinggi.

Untuk menghasilkan produktifitas yang demikian, pendidikan harus dikelola dengan berorientasi pada mutu. Hal ini berarti, pertama pentingnya mengendalikan produk pendidikan agar tetap bermutu melalui sistem quality control - yaitu suatu sistem untuk mendeteksi terjadinya penyimpangan kualitas output yang tidak sesuai dengan standar. Untuk mendukung sistem ini penentuan indikator kualitas output yang jelas dan pasti mutlak harus ada, sehingga menyimpang atau tidaknya dapat diputuskan (Depdikbud, 1999 : 202). Kontrol mutu dalam industri merupakan proses pasca produksi yang mendeteksi dan mengeliminasi komponen-komponen atau produk gagal yang tidak sesuai dengan standar, atau melacak dan menolak item-item yang cacat. Dalam pendidikan kontrol mutu merupakan proses pememeriksaan apakah standar-standar telah dipenuhi atau belum (Sallis, 2007 : 58).

Kedua, pentingnya mengawal atau mengendalikan proses penyelenggaraan pendidikan dengan mempraktekan quality assurance - yaitu suatu teknik untuk memastikan bahwa proses pendidikan berlangsung sebagaimana mestinya, dan penyimpangan pada proses pendidikan segera terdeteksi. Teknik ini menekankan monitoring yang berkesinambungan, melembaga, dan menjadi subsistem sekolah (Depdikbud, 1999 : 202). Berbeda dengan kontrol mutu, penjaminan mutu mengontrol secara konsisten sebelum dan ketika proses berlangsung, mencegah terjadinya kesalahan sejak awal produksi sehingga tercipta produk tanpa cacat (zero defects - Philip B. Crosby), atau menghasilkan produk yang selalu baik sejak awal (right first time everytime) (Sallis, 2007 : 58).

Ketiga, pentingnya mempraktekan total quality management - yaitu manajemen yang menjaga mutu sumber daya atau komponen-komponen sekolah (dari mulai siswa, guru, kepala sekolah, staf tata laksana, dana, sarana prasarana, orang tua, masyarakat, pengguna lulusan dan perguruan tinggi) melalui fungsi-fungsi manajemen (perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan) yang berorientasi pada layanan jasa sehingga memuaskan pelanggan internal seperti guru, pustakawan, laboran, teknisi, dan staf tata laksana, dan pelanggan eksternal, seperti siswa (pelanggan primer), orang tua, pemerintah dan masyarakat (pelanggan sekunder), penyerap lulusan seperti perguruan tinggi dan dunia usaha  (pelanggan tertier) (Depdikbud, 1999 : 191 - 193). Atau

. . . sebagai suatu cara untuk meningkatkan performance secara terus-menerus pada setiap tingkatan operasi atau proses dalam setiap area fungsional dari suatu organisasi dengan menggunakan semua sumber daya manusia dan modal yang tersedia. (Permadi dan Arifin, 2007 : 2-3).

Dalam skala mikro dan utama pengendalian mutu pendidikan itu berlangsung di sekolah. Sebagai organisasi, aktivitas penyelenggaraan pendidikan di sekolah tak bisa lepas dari keberadaan sumber dayanya, baik sumber daya  internalnya (seperti kepala sekolah, guru, murid, kurikulum, sarana dan prasarana), maupun sumber daya eksternalnya. Baik sumber daya eksternal yang terkait secara vertikal seperti dinas pendidikan / pemda dan Departeman Pendidikan Nasional, maupun yang terkait secara  horizontal seperti orang tua siswa, komite sekolah, dan masyarakat.

Di antara sumber daya internal sekolah, keberadaan sumber daya manusia seperti dalam organisasi secara umum, memiliki posisi yang sangat vital. ”Manusia selalu berperan aktif dan dominan dalam setiap kegiatan organisasi, karena manusia menjadi perencana, pelaku, dan penentu terwujudnya tujuan organisasi” (Hasibuan, 2007 a : 10). Keberhasilan organisasi sangat ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia yang bekerja di dalamnya. Lebih-lebih dalam organisasi atau lembaga pendidikan, pentingnya unsur man di samping unsur money, materials, methods, machines, market dan minute ini tak bisa ditawar lagi. Sebab, sumber daya manusia yang diberdayakan dalam penyelenggaran pendidikan (guru, kepala sekolah, dan staf tata laksana) justru berfungsi untuk meningkatkan sumber daya manusia (peserta didik) lagi.

Salah satu sumber daya manusia yang mempunyai tanggung jawab besar dalam pengendalian mutu pendidikan sesungguhnya adalah guru, karena produktifitas dan mutu pendidikan yang paling kentara diukur dari kualitas output -nya. Seperti dalam pandangan Engkoswara (2001 : 3) tentang produktifitas pendidikan, kualitas output ini termasuk dalam sudut efektifitas prestasi pendidikan, dan Edward Sallis yang memberi tekanan pada mutu output - yang selama proses pendidikan disebut siswa atau  pelajar, sebagai deserve sekolah yang menjalankan TQM (Total Quality Management) :

Jika TQM bertujuan untuk memiliki relevansi dengan pendidikan, maka ia harus memberi penekanan pada mutu pelajar. . .Semua pelajar berbeda satu sama lainnya, dan mereka belajar dengan model yang cocok dengan kebutuhan dan kecenderungan mereka masing-masing. Intitusi pendidikan yang menggunakan prosedur mutu terpadu harus menangkap secara serius isu-isu tentang gaya dan kebutuhan pembelajaran untuk menciptakan strategi individualisasi dan diferensiasi dalam pembelajaran. Pelajar adalah pelanggan utama, dan jika pembelajaran tidak memenuhi kebutuhan individu masing-masing mereka, maka itu berarti bahwa intitusi tersebut tidak dapat mengklaim bahwa ia telah mencapai mutu terpadu (Sallis, 2007 : 86 - 87).

Pencapaian kualitas output yang sesuai dengan standar atau tujuan yang telah ditetapkan, sangat tergantung pada kinerja fasilitator yang paling bersentuhan dengan siswa dalam pemrosesan input (siswa) menjadi output (alumni), yaitu guru. Stanley Spanbauer, Ketua Fox Valley Technical College, yang memperkenalkan TQM ke dalam pendidikan kejuruan di Amerika Serikat berpendapat bahwa ”Dalam pendekatan berbasis mutu, kepemimpinan di sekolah tergantung pada pemberdayaan para guru dan staf lain yang terlibat dalam proses belajar-mengajar” (Sallis, 2007 : 174). Kinerja mereka berperan besar dalam penjaminan mutu pendidikan melalui kegiatan mengajar atau pembelajaran siswa.

Kinerja mengajar guru dipengaruhi banyak faktor, baik faktor internal maupun faktor eksternalnya. Dari sisi internalnya, kinerja mengajar guru dipengaruhi kemampuan dan motivasinya, sehingga kedua faktor internal guru tersebut menjadi bagian yang tak mungkin dielakkan dalam rangkaian upaya penjaminan mutu (output) pendidikan. Dari sisi eksternal, hal tersebut mengingatkan betapa perlunya mengoptimalkan fungsi supervisi akademik sebagai bagian dari rangkaian kegiatan fungsi-fungsi administrasi atau manajemen yang dilakukan kepala sekolah terhadap guru, sekaligus sebagai wujud quality assurance dalam praktek supervisi pendidikan yang menekankan teknik monitoring yang berkesinambungan, melembaga, dan menjadi subsistem sekolah (Depdikbud, 1999 : 202). Supervisi akademik akan meningkatkan mutu output dengan terlebih dahulu meningkatkan kinerja mengajar gurunya sebagai bagian dari aktivitas penjaminan mutu pendidikan secara keseluruhan di sekolah.

Kinerja mengajar guru yang mempengaruhi mutu pendidikan tersebut merupakan perhatian utama dalam penelitian ini, sehingga tinjauan teoritisnya didahulukan.


4.Kinerja Mengajar Guru

  a.Pengertian Kinerja

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kinerja diartikan sebagai (1) sesuatu yang dicapai, (2) prestasi yang diperlihatkan, (3) kemampuan kerja (Depdikbud, 1994 : 503). Kata ini merupakan terjemahan dari kata bahasa Inggris performance, yang menurut kamus digital Encarta Dictionaries, memiliki banyak arti, meliputi :

(1) artistic presentation: a presentation of an artistic work such as a play or piece of music to an audience, (2) manner of functioning: the manner in which something or somebody functions, operates, or behaves :  a high-performance car , (3) working effectiveness: the way in which somebody does a job, judged by its effectiveness (often used before a noun) :  performance-related pay, (4) thing accomplished: something that is carried out or accomplished, (5) accomplishment of something: the act of carrying out or accomplishing something such as a task or action, (6) display of behavior: a public display of behavior that others find distasteful, e.g. an angry outburst that causes embarrassment (informal), (7) LINGUISTICS language produced: the language that a speaker or writer actually produces, as distinct from his or her understanding of the language (Microsoft Corporation, 2007).

Bandingkan dengan pendapat para ahli. Ilyas misalnya, seperti yang dikutip Cokroaminoto (Online), mengemukakan bahwa ”Kinerja merupakan penampilan hasil kerja pegawai baik secara kuantitas maupun kualitas”.

Mangkunegara (2007: 9) mengemukakan bahwa kinerja adalah prestasi kerja atau hasil kerja (output) baik kualitas maupun kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai per satuan periode waktu dalam melaksanakan tugas kerjanya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.

Hasibuan (2007 b : 75) mengemukakan bahwa prestasi kerja adalah hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas-tugasnya.

Simanjuntak (2005 : 105), mengemukakan bahwa ”Kinerja individu adalah tingkat ketercapaian atau hasil kerja seseorang dari sasaran yang harus dicapai atau tugas yang harus dilaksanakan dalam kurun waktu tertentu”.

Jika diperhatikan, cakupan kata kinerja lebih sempit dari kata performance. Bahkan sering diartikan sebagai  hasil atau prestasi kerja, atau hanya mengacu pada entri ke-4 atau ke-5 dalam kamus digital Encarta Dictionaries. Pendapat yang sedikit berbeda adalah dari  Wibowo (2007 : 2), yang mengemukakan bahwa :

Kinerja mempunyai makna lebih luas, bukan hanya menyatakan sebagai hasil kerja, tetapi juga bagaimana proses kerja berlangsung. Kinerja adalah tentang melakukan pekerjaan dan hasil yang dicapai dari pekerjaan tersebut. Kinerja adalah tentang apa yang dikerjakan dan bagaimana cara mengerjakannya.

Dengan memperhatikan pengertian dalam kamus, dan pendapat para ahli di atas, penulis menyimpulkan bahwa kinerja adalah jumlah dan mutu dari proses dan hasil kerja seseorang dalam perode waktu tertentu. Adanya  penekanan  pada  segi  hasil  atau produk kerja semata ini, karena adanya anggapan bahwa produk kerja itu sendiri menggambarkan prosesnya.

  b.Rumusan Mengajar

Aksioma bahwa mengajar baru bisa terjadi jika sekurang-kurangnya ada yang mengajar dan ada yang diajari atau yang belajar, menjadikan yang  mengajar harus memperhatikan yang belajar dan teori belajar. Akibatnya ”Konsep mengajar sering ditafsirkan berbeda-beda karena senantiasa dilandasi oleh teori belajar tertentu, sedangkan tafsiran tentang belajar juga banyak macam ragamnya” (Hamalik, 2004 : 58). Rumusan mengajar yang pernah dikonsepsikan para ahli menurut Hamalik (2004 : 58), antara lain :
1)Mengajar adalah mewariskan kebudayaan nenek moyang masa lampau kepada generasi baru secara turun-temurun sehingga terjadi konservasi kebudayaan.
2)Mengajar adalah proses menyampaikan pengetahuan dan kecakapan kepada siswa.
3)Mengajar adalah aktivitas mengorganisasi atau mengatur lingkungan sebaik-baiknya sehingga menciptakan kesempatan bagi anak untuk melakukan proses belajar secara efektif.

Dalam rumusan mengajar yang terakhir misalnya, ada yang menyatakan bahwa usaha menciptakan lingkungan belajar adalah tanggung jawab guru, tetapi pendapat lain menyatakan bahwa proses belajar itu tumbuh dan berkembang dari diri anak sendiri. Kesimpulannya, demikiam menurut Hamalik (2004 : 58), bahwa pada dasarnya ”Mengajar ialah membimbing kegiatan belajar anak, teaching is the guidance of learning activities, teaching is for the purpose of aiding the pupil to learn” Sedangkan belajar adalah ”suatu proses berbuat, bereaksi, memahami berkat adanya pengalaman, sedangkan pengalaman pada dasarnya ialah interaksi antara individu dengan lingkungan”.

Perbedaan pandangan mengenai rumusan mengajar berimplikasi pada peran, tugas dan tanggung jawab guru dalam mengajar (instruksional). Usman (1998 : 9 -12) misalnya mengemukakan empat peran guru yang paling dominan dalam proses belajar mengajar, yaitu sebagai :
1)Demonstrator
Guru dituntut untuk bisa memperagakan apa yang diajarkannya. Untuk itu ia harus belajar terus-menerus agar mampu menguasai materi pelajaran dan keterampilan mengajar.
2)Pengelola kelas (learning manager)
Guru harus  mampu mengelola kelas sebagai lingkungan belajar dan lingkungan sekolah yang perlu diorganisir.
3)Mediator dan fasilitator
Sebagai mediator ia harus menjadi perantara antara pelajaran dengan siswa dan antara siswa dengan siswa lainnya dalam interaksi belajar. Sebagai faslitator, guru mampu mengusahakan sumber dan media pendidikan yang berguna dan menunjang pencapaian tujuan dan proses belajar mengajar.
4)Evaluator

Guru harus mampu dan terampil melaksanakan penilaian hasil belajar siswa setelah melaksanakan pembelajaran, sehingga ia dapat mengetahui keberhasilan pencapaian tujuan, penguasaan siswa terhadap pelajaran, ketepatan dan keefektifan metoda mengajar yang digunakannya.

Bandingkan dengan Gage dan Berliner dalam Makmun (2005 : 23) yang mengemukakan tiga peran guru dalam mengajar, yaitu sebagai :
1)Perencana (planner) yang harus mempersiapkan apa yang harus dilakukan di dalam proses belajar-mengajar (pre-teaching problems).
2)Pelaksana (organizer) yang harus menciptakan situasi, memimpin, merangsang, menggerakkan, dan mengarahkan kegiatan belajar mengajar sesuai dengan rencana, bertindak sebagai  nara sumber (source person), konsultan kepemimpinan (leader), yang bijaksana dalam arti demokratis dan humanistik (manusiawi) selama proses berlangsung (during teaching problems).
3)Penilai (evaluator) yang harus mengumpulkan, menganalisis, menafsirkan dan akhirnya harus memberikan pertimbangan (judgement) atas tingkat keberhasilan belajar mengajar tersebut berdasarkan kriteria yang ditetapkan baik mengenai aspek keefektifan prosesnya, maupun kualifikasi produk (output)-nya.

Namun di masa depan, demikian menurut Sidi (2001 : 39) profesionalisme guru tidak tampil lagi sebagai pengajar (teacher), seperti fungsinya yang menonjol selama ini, melainkan beralih sebagai pelatih (coach), pembimbing (counselor), dan manajer belajar (learning manager).

Sebagai pelatih, seorang guru akan berperan seperti pelatih olah raga. Ia mendorong siswanya untuk menguasai alat belajar, memotivasi siswa untuk bekerja keras dan mencapai prestasi setinggi-tingginya, dan membantu siswa menghargai nilai belajar dan pengetahuan. Sebagai pembimbing/konselor, guru akan berperan sebagai sahabat siswa, menjadi teladan dalam pribadi yang mengundang rasa hormat dan keakraban dari siswa. Sebagai manajer belajar, guru akan membimbing siswanya belajar, mengambil prakarsa, dan mengeluarkan ide-ide baik yang dimilikinya. Dengan ketiga peran guru ini. maka diharapkan para siswa mampu mengembangkan potensi diri masing-masing, mengembangkan kreativitas, dan mendorong adanya penemuan keilmuan dan teknologi yang inovatif, sehingga para siswa mampu bersaing dalam masyarakat global (Sidi (2001 : 39).

Bagaimanapun mengajar dirumuskan, dan peran-peran guru sebagai implikasi dari rumusannya, selalu terdapat tiga komponen dasar yang saling berkaitan (interelasi), yaitu :
1)Siswa, dengan segala karakteristiknya yang terus berusaha mengembangkan dirinya seoptimal mungkin melalui berbagai kegiatan belajar guna mencapai tujuan.
2)Tujuan, yaitu sesuatu yang akhirnya diharapkan tercapai setelah kegiatan belajar mengajar. Bagi siswa tujuan ini merupakan tugas, tuntutan dan kebutuhan yang harus menampak dalam perilaku, dan bagi guru tujuan ini merupakan tugas, tuntutan dan kebutuhan yang harus diterjemahkan ke dalam berbagai bentuk kegiatan yang terencana dan terukur (dapat dievaluasi).
3)Guru, yaitu orang dewasa yang karena jabatannya secara formal selalu mengusahakan terciptanya situasi yang tepat (mengajar) sehingga memungkinkan terjadinya proses pengalaman mengajar (learning experiences) pada diri siswa, dengan mengerahkan segala sumber (learning sources) dan menggunakan strategi belajar mengajar (teaching-learning strategy) yang tepat (appropriate) (Makmun, 2005 : 155).

Interelasi ketiga komponen tersebut digambarkan dalam bagan berikut :









Bagan 2.2.
Interelasi Siswa, Tujuan, dan Guru dalam Mengajar

  c.Mengajar yang Dituntut Peraturan dan Kurikulum yang Berlaku

    1)Mengajar dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen

Mengajar pada dasarnya bisa dilakukan oleh siapa saja. Dengan kata lain tak usah oleh guru. Guru sendiri secara umum bisa berarti segala sesuatu yang mengajari, memberi pelajaran atau membelajarkan kita. Bisa berupa orang, ide, kejadian, pengalaman, atau obyek yang dapat dipelajari. Namun, secara khusus mengajar adalah aktifitas inti dari seorang guru, atau secara terbalik guru adalah orang yang profesinya mengajar atau mendidik. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, bab I Ketentuan Umum, pasal 1 ayat 1, (juga dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 tahun 2008 tentang Guru, bab I Ketentuan Umum, pasal 1 ayat 1), dijelaskan bahwa:

Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.

Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berkewajiban :
a.merencanakan  pembelajaran,  melaksanakan  proses pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran;
b.meningkatkan dan mengembangkan kuualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;
c.bertindak obyektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras, dan kondisi fisik tertentu, atau latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi peserta didik dalam pembelajaran;
d.menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum,  dan kode etik guru, serta nilai-nilai agama dan etika; dan
e.memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa
(Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, pasal 20).

Jadi bagi guru, mengajar (merencanakan, melaksanakan pembelajaran, dan menilai hasilnya) merupakan salah satu dari lima kewajiban tugas keprofesionalannya.

    2)Mengajar dalam Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008

Mengajar dalam pendidikan formal khususnya tidak bisa dilakukan oleh sembarangan orang. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 mensyaratkan bahwa orang yang mengajar atau ”Guru wajib memiliki Kualifikasi Akademik, kompetensi, Sertifikat Pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional”.

Kualifikasi akademik adalah ijazah jenjang pendidikan akademik yang harus dimiliki oleh guru sesuai dengan jenis, jenjang, dan satuan pendidikan formal di tempat penugasan. Sertifikat pendidik adalah bukti formal sebagai pengakuan yang diberikan kepada guru sebagai tenaga profesional.

Kompetensi merupakan seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dikuasai, dan diaktualisasikan oleh guru dalam melaksanakan tugas keprofesionalan. Kompetensi guru meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi. Kompetensi guru tersebut bersifat holistik.

Dalam hal mengajar, guru terkait dengan kompetensi pedagogik yang merupakan kemampuan guru dalam pengelolaan pembelajaran peserta didik, yang sekurang-kurangnya meliputi:
a)Pemahaman wawasan atau landasan kependidikan,
b)Pemahaman terhadap peserta didik,
c)Pengembangan kurikulum atau silabus,
d)Perancangan pembelajaran,
e)Pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis,
f)Pemanfaatan teknologi pembelajaran,
g)Evaluasi hasil belajar, dan
h)Pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.

    3)Mengajar Menurut Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)

KTSP yang diberlakukan sejak tahun 2006 adalah revisi dari Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang diberlakukan mulai tahun 2004. Menurut kurikulum tersebut (Permendiknas RI No. 22 Tahun 2006, Permendiknas RI No. 23 Tahun 2006, dan Permendiknas RI No. 24,  Depdiknas, 2006 a, Depdiknas, 2006 b,  BSNP, 2006 a, BSNP, 2006 b dan materi penataran KTSP) ada beberapa hal pokok yang harus diperankan guru berkaitan dengan bagaimana ia mengajarnya, antara lain:

a)Guru harus terlibat sebagai penyusun kurikulum yang diberlakukan di sekolah tempatnya bertugas bersama kepala sekolah, komite sekolah dan nara sumber lain (pengawas sekolah). Dengan keterlibatannya ini maka mengajar merupakan komitmennya terhadap visi-misi sekolah dan kurikulum buatan sekolah dan dirinya, yang disusun sesuai dengan kondisi sekolah (KTSP).

b)Guru harus membuat silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) mata pelajaran yang diampunya dengan mengacu kepada standar isi kurikulum dan standar kompetensi lulusan, sebagai bagian dari persiapan mengajarnya.

c)Dalam pelaksanaan mengajar atau pembelajaran, guru dituntut memahami dan menerapkan teori belajar konstruktivistik, sehingga :
  (1)Metoda pembelajaran yang dipilihnya menekankan penciptaan pemahaman dan menuntut aktivitas kreatif-produktif siswa dalam konteks nyata (Degeng, Online). Yaitu yang (1) memberi pemaknaan terhadap informasi baru secara aktif, seperti melibatkan siswa pada pengalaman atau persoalan kehidupan nyata (contextual teaching learning /CTL), berpikir kritis (diskusi), kerja kelompok (kooperatif dan kolaboratif, sharing) agar pengetahuan menjadi lebih bermakna karena dikonstruksi bersama, (2) memberikan kebebasan kepada siswa untuk mengoptimalkan cara belajar yang cocok dengan siswa secara individual, dan (3) memotivasi dan menyenangkan (enjoy) siswa, seperti quantum learning / teaching, dan pembelajaran aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan (PAKEM) atau PAIKEM dengan menambah inovatif.
  (2)Memandang proses pengajaran atau pembelajaran yang dilaksanakannnya sebagai proses belajar bagi dirinya. Dalam hal ini guru harus aktif mengevaluasi sendiri proses pembelajarannya, melalui refleksi, penelitian tindakan kelas (PTK), lesson study dan lain-lain.

d)Guru harus menerapkan penilaian acuan kriteria (PAK) atau penilaian acuan patokan (PAP), dengan terlebih dahulu menentukan sendiri kriteria ketuntasan minimum (KKM), yang berkonsekuensi kepada penyelenggaraan program remedial, pengayaan, dan akselerasi.

e)Guru harus menerapkan berbagai metoda dan teknik evaluasi yang bisa menggambarkan seluruh kompetensi siswa, baik kognitif, psikomotor, maupun afektif. 

Kesemuanya itu menjadikan

Pelaksanaan proses belajar mengajar dengan model kurikulum berbasis kompetensi (KBK) yang sekarang disempurnakan menjadi model KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) . . . menekankan perlunya ada berbagai upaya untuk secara mandiri dari guru untuk berkreasi agar pengajaran di kelas menjadi lebih menarik dan menyenangkan . . . (Permadi, Dadi dan Arifin, Daeng, 2007 : 63).

Dengan mencermati pengertian kinerja, guru, dan mengajar dapat disimpulkan bahwa kinerja mengajar guru adalah jumlah dan mutu proses pelaksananaan kerja dan hasil kerja yang dicapai guru dalam mengajar selama periode waktu tertentu.


5.Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja Mengajar Guru

Dari sisi organisasi, Cokroaminoto mengemukakan bahwa secara umum kinerja individu dipengaruhi oleh faktor lingkungan fisik dan nonfisik organisasi. Kondisi faktor lingkungan fisik organisasi sendiri mempengaruhi kondisi faktor lingkungan nonfisiknya (Cokroaminoto, Online).

Yang temasuk faktor lingkungan fisik organisasi adalah segala yang ada di  tempat aktivitas dan wilayah  beroperasinya organisasi. Termasuk ke dalam faktor ini adalah fasilitas di ruang kerja, bangunan, transportasi, letak geografis, iklim, cuaca dan lainnya. Sedangkan yang termasuk ke dalam faktor nonfisik organisasi adalah terutama faktor-faktor yang melekat dengan sistem manajerial organisasi.

Dari sisi pegawai, Gibson mengemukakan bahwa secara teoritis ada tiga kelompok variabel yang mempengaruhi perilaku kerja dan kinerja individu, yaitu: kelompok variabel individu, kelompok variabel psikologis, dan kelompok variabel organisasi (Cokroaminoto, Online).

Kelompok variabel individu terdiri dari kemampuan, ketrampilan, pengalaman, latar belakang pribadi dan status sosial (demografis). Variabel kemampuan dan ketrampilan merupakan faktor utama yang mempengaruhi perilaku kerja dan kinerja individu. Sedangkan variabel demografis mempunyai pengaruh yang tidak langsung. Kelompok variabel psikologis terdiri dari mental, intelektual, persepsi, sikap, kepribadian dan motivasi. Kelompok variabel organisasi terdiri dari sumber daya, kepemimpinan, imbalan, struktur dan desain pekerjaan.

Jika diaplikasikan dalam kondisi guru, dari sisi organisasi, faktor lingkungan fisik organisasi sekolah yang mempengaruhi kinerjanya bisa menyangkut letak geografis dan kondisi daerah tempat sekolah berada, bangunan dan lingkungan di dalam komplek sekolah, sarana prasarana pendidikan yang tersedia untuk  melaksanakan tugasnya, dan lain-lain. Sedangkan dari faktor lingkungan non fisik organisasai sekolah, karena sekolah merupakan bagian dari organisasi pendidikan nasional, maka faktor manajerial sekolah tidak saja berasal dari manajerial internal sekolah (kepala sekolah) tempat guru bertugas, tetapi juga kebijakan manajerial yang datang dari pusat dan daerah.

Jika disederhanakan, kelompok variabel individu dan kelompok variabel psikologis ada dalam faktor internal, dan kelompok variabel organisasi - termasuk   faktor lingkungan fisik dan nonfisik organisasi - ada dalam faktor eksternal yang mempengaruhi kinerja guru. Motivasi, persepsi, kompetensi, bakat, pendidikan, masa kerja, kesehatan dan srata sosial ekonomi berada dalam faktor internal guru. Sedangkan sarana dan prasarana, kurikulum, program pendidikan, kepemimpinan, dan manajemen sekolah berada dalam faktor eksternal guru.


6.Standar dan Penilaian Kinerja Mengajar Guru

Proses penilaian kinerja terdiri dari tiga tahap : (1) mendefinisikan pekerjaan, (2) menilai kinerja, dan (3) memberikan umpan balik. Pendefinisian pekerjaan berarti memastikan bahwa majikan dan pegawai setuju dengan kewajiban dan standar pekerjaannya. Penilaian kinerja berarti membandingkan kinerja sesungguhnya dari pegawai dengan standar yang telah ditetapkan. Pemberian umpan balik berkaitan dengan hasil penilaian kinerja, dalam hal ini majikan mendiskusikannya untuk membuat rencana pengembangan yang dibutuhkan (Dessler, 2006 : 327).

Dengan mengacu pada pendapat Dessler di atas, maka penilaian kinerja berarti membandingkan kinerja sesungguhnya (aktual) yang dilakukan atau dicapai pegawai dengan standar kinerja yang telah ditetapkan (ideal). Hal penting sebelum membandingkan atau menilai pencapaiannya adalah penetapan apa yang diukur, dan bagaimana mengukurnya.

  a.Standar Kinerja Mengajar Guru

Menetapkan apa yang diukur berarti membuat standar kinerja yang diharapkan dilakukan atau dicapai pegawai.

Standar kinerja menjelaskan apa yang diharapkan manajer  dari pekerja sehingga harus dipahami pekerja.  Klarifikasi tentang apa yang diharapkan merupakan hal penting untuk  memberikan pedoman perilaku pekerja dan dipergunakan sebagai dasar untuk penilaian.  Standar kinerja merupakan tolok ukur terhadap mana kinerja diukur agar efektif. Standar kinerja harus dihubungkan dengan hasil yang diinginkan dari setiap pekerjaan (Wibowo, 2007 : 59).

Dalam standar kinerja itu ”. . . kita mungkin mengukur kinerja karyawan berkaitan dengan dimensi-dimensi generik, seperti kualitas, kuantitas, dan kesesuaian waktu dari pekerjaan. Atau kita mungkin mengukur kinerja tentang pengembangan kompetensi, . . . atau pencapaian tujuan seseorang” (Dessler, 2006 : 327).

Standar kinerja guru menurut Piet A. Sahertian (Depdiknas, 2008 b : 21) berhubungan dengan kualitas guru dalam menjalankan tugasnya seperti: (1) bekerja dengan siswa secara individual, (2) persiapan dan perencanaan pembelajaran, (3) pendayagunaan media pembelajaran, (4) melibatkan siswa dalam berbagai pengalaman belajar, dan (5) kepemimpinan yang aktif dari guru.

Kinerja guru mempunyai spesifikasi tertentu. Kinerja guru dapat dilihat dan diukur berdasarkan spesifikasi / kriteria kompetensi yang harus dimiliki oleh setiap guru (Depdiknas, 2008 b : 21).

Kompetensi merupakan faktor penting bagi guru, tanpa itu guru tak layak mengajar. Kompetensi yang harus dimiliki guru menurut Cogan adalah :

(1) kemampuan untuk memandang dan mendekati masalah-masalah pendidikan dari perspektif masyarakat global, (2) kemampuan untuk bekerjasama dengan orang lain secara kooperatif dan bertanggung jawab sesuai dengan peranan dan tugas dalam masyarakat, (3) kapasitas kemampuan berpikir secara kritis dan sistematis, dan (4) keinginan untuk selalu meningkatkan kemampuan intelektual sesuai dengan tuntutan jaman yang selalu berubah sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Sagala, 2006 : 209).

Sagala mengemukakan sepuluh kemampuan dasar yang harus dimiliki guru, yaitu :

(1) menguasai landasan-landasan pendidikan; (2) menguasai bahan pelajaran; (3) kemampuan mengelola program belajar mengajar; (4) kemampuan mengelola kelas; (5) kemampuan mengelola interaksi belajar mengajar; (6) menilai hasil belajar siswa; (7) kemampuan mengenal dan menterjemahkan kurikulum; (8) mengenal fungsi dan program bimbingan dan penyuluhan; (9) memahami prinsip-prinsip dan hasil pengajaran; (10) mengenal dan menyelenggarakan administrasi pendidikan (Sagala,2006:210).

Lebih spesifik dan terinci, Seyfarth (2002 : 144) mengemukakan lima kriteria umum untuk mengevaluasi kinerja mengajar (instruction) guru. Kriteria, dalam hal ini adalah ”The characteristics, behaviors, and results used to judge performance”.  Rincian kelima kriteria tersebut adalah sebagai berikut :
Knowledge of Subject
1.Teacher demonstrates understanding of the subject being taught.
2.Teacher helps leaners to understand the significance of the topics or activities studied.
Preparation and Planning
1.Teacher prepares instructional plans on both a daily and long-term basis.
2.Teacher makes advance arrangements for materials, equipment, and supplies needed for instruction.
3.Teacher develops teaching procedures to match lesson objectives.
4.Teacher prepares plans for use by subtitute teachers in case it is necessary to be absent.
5.Teacher works cooperatively with colleagues in the school and district to develop curriculum and select instructional materials.
Implementing and Managing Instruction
1.Teacher makes the goal of instruction clear to all students.
2.Teacher monitors students’ performance and adjusts the pace and difficulty level of instruction as needed.
3.Teacher reviews material previously learned before introducing new concepts.
4.Teacher maintains student interest and attention by using a variety of instructional modes.
5.Teacher frequently checks students’ understanding of new material and reteaches when indicated.
6.Teacher makes use of students’ ideas to introduce new concepts and reinforce previously learned material.
7.Teacher allocates instructional time to activities that produce the highest rates of student learning.
8.Teacher asks content-related questions that most students are able to answer correctly.
9.Teacher summarizes important points.
Student Evaluation
1.Teacher regularly assigns, collects, and evaluates students’ homework.
2.Teacher uses both teacher-made and standarized tests to check student progress.
3.Teacher provides feedback to students.
4.Teacher uses results of students evaluations to modify the pace of scope of instruction.
5.Teacher provides detailed directions for completing assignments and evaluates students’ work on the basis of specified criteria.
Classroom Environment
1.Teacher is fair and impartial in dealing with all students, including those of different races and nationalities.
2.Teacher behaves towards all students in a friendly and accepting manner.
3.Teacher displays high expectations for the amount and quality of work to be performed by students and expresses confidence in their ability.
4.Teacher maintains a bussinesslike learning climate without being humorless or repressive.
5.Teacher informs students about classroom rules and procedures.
6.Teacher provides a safe, orderly, and attractive environment.
7.Teacher uses nonpunitive and preventive techniques for minimizing disruption and maintaining learner involvement (Seyfarth, 2002 : 146).

Di negara kita, berkaitan dengan kompetensi guru, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, pasal 1 butir 10 menyatakan bahwa ”Kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru atau dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalannya”.  Adapun standar kompetensi yang harus dimiliki guru terdapat dalam Permendiknas RI No. 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru. Permen tersebut menyebutkan bahwa ”Standar kompetensi guru ini dikembangkan secara utuh dari empat kompetensi utama, yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, sosial, dan profesional. Keempat kompetensi tersebut terintegrasi dalam kinerja guru.” (BSNP, 2007 c : 8). Jika ditelaah, kinerja mengajar guru banyak berkaitan dengan kompetensi pedagogik dan kompetensi profesionalnya. Standar kompetensi pedagogik (untuk guru SMP) meliputi :

(1) Menguasai karakteristik peserta didik dari aspek fisik, moral, spiritual, sosial, kultural, emosional dan intelektual, (2) Menguasai teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik, (3) Mengembangkan kurikulum yang terkait dengan mata pelajaran yang diampu, (4) Menyelenggarakan pembelajaran yang mendidik, (5) Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk kepentingan pembelajaran, (6) Memfasilitasi pengembangan potensi peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki, (7) Berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan peserta didik, (8) Menyelenggarakan penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar, (9) Memanfaatkan hasil penilaian dan evaluasi untuk kepentingan pembelajaran, (10) Melakukan tindakan reflektif untuk peningkatan kualitas pembelajaran (BSNP, 2007 c : 35 - 41).

Sedangkan standar kompetensi profesional (untuk guru SMP) meliputi :

(1) Menguasai materi, struktur, konsep, dan pola pikir keilmuan yang mendukung mata pelajaran yang diampu, (2) Menguasai standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran yang diampu, (3) Mengembangkan materi pembelajaran mata pelajaran yang diampu secara kreatif, (4) Mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan  melakukan tindakan reflektif, dan (5) Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk pengembangan diri (BSNP, 2007 c : 44 - 45).

  b.Penilaian Kinerja Mengajar Guru

Menetapkan bagaimana menilai atau mengukur kinerja, kita berarti harus memilih metode pengukurannya. Dalam konteks kinerja mengajar guru, agar lebih komprehensif, idealnya menilai kinerja mengajar guru dilakukan dengan menggunakan semua metoda evaluasi, baik tes maupun non tes. Pengembangannya bahkan bisa sampai dengan teknik :

(1) peer appraisal, where colleagues are asked to provide feedback on an individual’s performance, (2) parent feedback, either formal or informal, (3) student feedback, either formal or informal, (4) students’ performance results, (5) documentary evidence, for example unit or lesson plans, assessment records, resources (Teacher Performance Management, Online.pdf : 14).

Namun pada umumnya, performance appraisal dilakukan dengan observation, self appraisal dan interview (Teacher Performance Management. Online. pdf : 5).

Berkenaan dengan kepentingan penilaian terhadap kinerja guru, Depdiknas  telah memodifikasi Teacher Performance Assessment Instrument yang disusun  Georgia Departemen of Education menjadi Alat Penilaian Kemampuan Guru (APKG). Alat penilaian kemampuan guru ini merupakan lembar observasi (check list atau rubrik). Area penilaiannya meliputi: (1) rencana pembelajaran (teaching plans and materials) atau disebut dengann RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran), (2) prosedur pembelajaran (classroom procedure), dan (3) hubungan antar pribadi (interpersonal skill) (Depdiknas, 2008 b : 22).


7.Dimensi Kinerja Mengajar Guru

Dimensi adalah ukuran (measurement, size) atau area (extent, range, scope, aspect) yang menentukan atau memberi bentuk suatu konsep. Seperti konsep kecepatan, ditentukan oleh jarak yang tak lain adalah length (L) dan waktu – time (T), sehingga dimensinya adalah L/T atau LT-1. Dalam sistem metrik satuannya dinyatakan dengan km/jam, m/detik dan sebagainya. Hal yang menarik adalah betapapun faktor yang mempengaruhi kecepatan bisa banyak, seperti kondisi jalan yang dilalui, kondisi kendaraan dan kondisi pengemudi atau kondisi pelari (jika tanpa kendaraan) tapi semua itu tak termasuk dimensi untuk konsep kecepatan.

Berbeda dengan dimensi untuk konsep-konsep dalam ilmu pasti, khususnya Fisika, dimensi untuk konsep yang ada dalam ilmu sosial tidak mudah ditentukan. Hal ini bisa terlihat dari beberapa ahli yang menentukan dimensi dari kinerja (performance). Sutermeister misalnya mengemukakan bahwa:

. . . Employees’ Job Performance  are considered to result from Ability and Motivation, or more accurately, Ability times Motivation. Thus, if a person had no motivation, he or she could be the most capable individual in the world, but there would be no connection between ability and performance. Or if person had no ability, there could be terrific motivation, but there would be no connection between motivation and performance. Both ability and motivation are essential ingredients to good employee performance. (Sutermeister, 1976 : 11).

Robbins (2007 : 241) tidak puas dengan anggapan bahwa kinerja karyawan (performance) adalah fungsi (f) dari interaksi antara kemampuan (ability) dan motivasi (motivation), atau P = f (A x M). Menurutnya masih ada potongan teka-teki yang belum ditemukan, sehingga perlu menambahkan peluang kinerja (opportunity) ke dalam persamaan performa, sehingga menjadi P = f (A x M x O).

Hasibuan mengatakan bahwa prestasi kerja adalah gabungan dari tiga faktor penting, yaitu kecakapan, usaha dan kesempatan.

Jika ketiga faktor itu semakin baik, maka prestasi kerja akan semakin tinggi. Prestasi kerja = f (kecakapan, usaha, kesempatan). Kecakapan (ability) adalah kemampuan menetapkan dan atau melaksanakan suatu sistem dalam pemanfaatan sumber daya dan teknologi secara efektif dan efisien untuk mencapai hasil yang optimal. Usaha (effort) adalah kemauan, kesungguhan, dan semangat kerja dalam mencapai kebutuhan, sasaran, harapan dan imbalan. Kesempatan (opportunity) adalah wewenang yang dimiliki individu karyawan dalam mengerjakan, memanfaatkan waktu dan peluang untuk mencapai hasil tertentu (Hasibuan, 2007 b : 75 - 76).

Mathis dan Jackson (2006 : 113), mengemukakan tiga faktor yang mempengaruhi kinerja : (1) kemampuan individu untuk melekukan pekerjaan tersebut, (2) tingkat usaha yang dicurahkan, dan (3) dukungan organisasi. Hubungan ketiga faktor tersebut :  Kinerja  (performance) = kemampuan (ability) x usaha (effort) x dukungan (support) atau P = f (A x E x S). Hal ini sejalan dengan pendapat Schermerhorn yang mengemukakan bahwa ”Performance = Ability X Support X Effort, berarti bahwa kinerja ditentukan oleh kemampuan kerja personil (individual ability) dengan dukungan dan upaya organisasi dalam menciptakan lingkungan kerja yang positif ” (Djatmiko, 2003 : 68),

Dengan memperhatikan pendapat-pendapat di atas, penulis memandang harus dibedakan antara dimensi dengan faktor yang mempengaruhi kinerja. Bercermin dari konsep fisika seperti kecepatan yang hanya berdimensi jarak dan waktu, betapapun faktor yang mempengaruhinya bisa banyak, maka dimensi hanya mengacu pada faktor yang paling pokok saja - Sutermeister menyebutnya essential ingredients. Oleh karena itu, penulis lebih setuju dengan pendapat Sutermeister, bahwa yang termasuk dimensi  kinerja adalah :
1.Kemampuan, dan
2.Motivasi

Lain-lain, seperti effort adalah faktor lanjutan dari adanya motivasi dan kemampuan dalam diri individu.  Support dan opportunity, adalah faktor eksternal-situasional yang direspon atau disikapi individu dengan melibatkan kemampuan sehingga terefleksikan dalam motivasinya. Lebih-lebih jika diaplikasikan pada aktivitas mengajar. Sebagai organisator pembelajaran, guru tak usah menunggu datangnya opportunity dan support eksternal untuk berlangsungnya pembelajaran. Begitu ada siswa, maka (tujuan) pembelajaran bisa dilaksanakan dengan memanfaatkan fasilitas dan media pembelajaran yang ada atau menciptakannya jika mampu bukan berhenti mengajar karena ketidaklengkapannya.

Dari formula P = f (A x M) yang dikemukakan Sutermeister dapat dikatakan bahwa, ability dan motivation adalah unsur-unsur yang berfungsi membentuk kinerja guru dalam menjalankan tugasnya sebagai guru.

Motivasi (seperti yang akan ditemukan lebih jauh dalam bagian B. Motivasi Berprestasi Guru, dalam bab ini) memiliki pengertian yang beragam baik yang berhubungan dengan perilaku individu maupun perilaku organisasi. Motivasi merupakan unsur penting dalam diri manusia yang berperan mewujudkan keberhasilan dalam usaha atau pekerjaan individu. Pendekatan motivasi terhadap guru dari sisi manajerial pekerjaan (Depdiknas, 2008 b : 36) merupakan (1) pendekatan insentif keuangan sebagaimana dikemukakan Adam Smith, (2) pendekatan standar kerja sebagaimana dijelaskan oleh Frederick Taylor, dan (3) pendekatan analisis pekerjaan dan struktur penggajian (job analysis and wage structure approach) yaitu mengklasifikasikan sikap, skill, dan pengetahuan dalam usaha untuk mempertemukan kemampuan dan skill individu dengan persyaratan pekerjaan. Job analysis ini merupakan proses pengukuran sikap pegawai dan penetapan tingkat pentingnya pekerjaan untuk menetapkan keputusan konpensasi. Dengan demikian,  di kalangan para guru, jabatan guru dapat dipandang secara aplikatif sebagai salah satu cara dalam memotivasi (pemotivasi) para guru untuk meningkatkan kemampuannya.

Kemampuan (ability) adalah faktor yang penting dalam meningkatkan produktivitas kerja. Kemampuan berhubungan dengan pengetahuan dan skill (keterampilan)  yang dimiliki individu. Kemampuan seseorang dapat dilihat dari skill yang diwujudkan melalui tindakannya (Depdiknas, 2008 b : 36). Berkenaan dengan abilitas dalam arti kecakapan guru, A. Samana (Depdiknas, 2008 b : 36) menjelaskan bahwa, ”Kecakapan profesional guru menunjuk pada suatu tindakan kependidikan yang berdampak positif bagi proses belajar dan perkembangan pribadi siswa”. Bentuk tindakan dalam pendidikan dapat berwujud keterampilan mengajar (teaching skills) sebagai akumulasi dari pengetahuan (knowledge) yang diperoleh para guru pada saat menempuh pendidikan seperti di SPG, PGSD, fakultas keguruan dan ilmu kependidikan atau sejenisnya.

Ability bersinonim dengan competency. Perbedaannya ability adalah competency in action, atau dengan kata lain competency masih tersembunyi (latent), sedangkan ability bersifat nyata atau aktualisasi dari competency. ”Kompetensi merujuk pada kemapuan teoritis yang tesembunyi  (latent), sedangkan performans merujuk pada tampilan riel yang dapat dilakukan oleh subyek di tempat kerja atau pada unit-unit layanan yang dibutuhkan” (Danim, 2008 : 172). Oleh karena itu, kinerja atau unjuk kerja dalam konteks profesi guru adalah kegiatan yang meliputi perencanaan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran / KBM, dan melakukan evaluasi atau penilaian hasil pembelajaran (Depdiknas, 2008 b : 22 - 26), yang merupakan aktualisasi dari kompetensi guru. Hasil pengukuran terhadap ketiga kegiatan tersebut menggambarkan jumlah dan mutu proses dan hasil kerja yang dicapai guru dalam mengajar selama periode waktu tertentu. Dengan demikian, dimensi dari kinerja mengajar guru adalah :
1.Perencanaan pembelajaran,
2.Pelaksanaan pembelajaran / KBM
3.Evaluasi hasil pembelajaran

Dimensi-dimensi tersebut sangat relevan dengan tiga peran guru dalam mengajar yang dikemukakan Gage dan Berliner dalam Makmun (2005 : 23) : (1) perencana (planner) yang berkaitan dengan pre-teaching problems, (2) pelaksana (organizer) yang berkaitan dengan during teaching problems, dan (3) penilai (evaluator) yang berkaitan dengan post teaching problems.

Hubungan, motivasi, kemampuan dan kinerja mengajar guru dapat digambarkan sebagai berikut:









Bagan 2.3.
Alur Kinerja, Motivasi dan Kemampuan Guru


B.MOTIVASI BERPRESTASI GURU


1.Motif dan Motivasi

Kata motif adalah kata transliterasi dari kata dasar bahasa Inggris motive. Dalam kamus digital Encarta Dictionaries (Microsoft Corporation, 2007), sesuai dengan studi ini, motive memiliki arti ”(1) reason: the reason for doing something or behaving in a specific way, (2) causing somebody to do something: tending to make somebody want or be willing to do something”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, di luar artinya dalam dunia seni, motif diartikan sebagai ”alasan (sebab) seseorang melakukan sesuatu” (Depdikbud, 1989 : 592).

Sartain : ”A complex state within an organism that directs behavior toward a goal or incentive”. J.P. Chaplin : ”A state of tension within the in which arouses, maintains and directs behavior toward a goal” (Yusuf dan Nurihsan, 2005 : 159).

Sigmund Freud menganggapnya energi dasar (instink) yang mendorong tingkah laku individu (Yusuf dan Nurihsan, 2005 : 159).

Abin Syamsudin Makmun mengartikannya sebagai suatu kekuatan (power) atau tenaga (forces) atau daya (energy), atau suatu keadaan yang kompleks (a complex state) dan kesiapsediaan (prepatory set) dalam diri individu (organisme) untuk bergerak (to move, motion, motive) ke arah tujuan tertentu, baik disadari maupun tidak disadari (Makmun, 2005 : 37).

W.S. Winkel mengartikan motif sebagai daya penggerak dalam diri seseorang untuk melakukan aktivitas tertentu, demi mencapai tujuan tertentu (Uno, 2007 : 3).

Dalam kaitannya dengan perilaku organisasai, Siagian (2004 : 142) mengemukakan :

 . . . suatu motif adalah keadaan kejiwaan yang mendorong, mengaktifkan atau menggerakkan, dan motif itulah yang mengarahkan dan menyalurkan perilaku, sikap dan tujuan, baik tujuan organisasai maupun tujuan pribadi masing-masing anggota organisasi yang bersangkutan.

Yusuf dan Nurihsan (2005 : 159) menilai bahwa motif merupakan aspek psikis yang penting, ”karena keberadaannya sangat berperan dalam tingkah laku individu. Pada dasarnya tidak ada tingkah laku yang tanpa motif. Artinya setiap tingkah laku individu itu bermotif. Namun, menurut Isbandi Rukminto Adi, keberadaannya tidak dapat diamati secara langsung, hanya dapat diinterpretasikan dalam tingkah laku, berupa rangsangan, dorongan, atau pembangkit tenaga munculnya suatu tingkah laku tertentu (Uno, 2007 : 3).

Kemudian, kata motivasi adalah kata Indonesia hasil transliterasi dari kata bahasa Inggris motivation, bentukan dari kata dasar motivate. Motivate sendiri menurut kamus digital Encarta Dictionaries berarti :

(1) give somebody incentive: to give somebody a reason or incentive to do something, (2) make somebody willing: to make somebody feel enthusiastic, interested, and committed to something, dan (3) cause somebody's behavior: to be the reason for something that somebody does (Microsoft Corporation, 2007).

Sedangkan motivation dalam kamus yang sama, berarti :

(1) giving of reason to act: the act of giving somebody a reason or incentive to do something,  (2) enthusiasm: a feeling of enthusiasm, interest, or commitment that makes somebody want to do something, or something that causes such a feeling, (3) reason: a reason for doing something or behaving in a particular way, (4) PSYCHOLOGY forces determining behavior: the biological, emotional, cognitive, or social forces that activate and direct behavior.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, motivasi diartikan sebagai berikut:

(1) dorongan yang timbul pada diri seseorang, sadar tidak sadar, untuk melakukan suatu tindakan dengan tujuan tertentu, (2) usaha-usaha yang dapat menyebabkan seseorang atau kelompok orang tertentu tergerak melakukan sesuatu karena ingin mencapai tujuan yang dikehendakinya atau mendapat kepuasan dengan perbuatannya (Depdikbud, 1989 : 592).

McDonald berpendapat bahwa ”Motivation is an energy change within the person characterized by affective arousal and anticipatory goal reaction” (Hamalik, 2004 : 173).

Mathis dan Jackson (2006 : 114-115) mengemukakan bahwa,

Motivasi (motivation) adalah keinginan dalam diri seseorang yang menyebabkan orang tersebut bertindak. Orang biasanya bertindak karena satu alasan untuk mencapai tujuan. Jadi motivasi adalah dorongan yang diatur oleh tujuan dan jarang muncul dalam kekosongan. Kata-kata kebutuhan, keinginan, hasrat dan dorongan, semuanya serupa dengan motif, yang merupakan asal dari kata motivasi.

Uno menyimpulkan pendapat para psikolog bahwa ”Motivasi merupakan konstruk hipotesis yang digunakan untuk menjelaskan keinginan, arah, intensitas, dan keajegan perilaku yang diarahkan oleh tujuan” (Uno, 2007 : 4).

Dalam kaitannya dengan organisasi, Robbins dan kawan-kawan mengemukakan bahwa ”Motivation is the willingness to exert high level of effort to reach organizational goals, conditioned by the effort’s ability to satisfy some individual need” (Robbins, et al., 2003 : 344).

Keberagaman pengertian motivasi seperti dikemukakan di atas diungkap Luthans (2002 : 249), bahwa :

Today, virtually all people - practitioners and scholars - have their own definitions of motivation. Usually one or more of the following words are included : desires, wants, wishes, aims, goals, needs, drives, motives, and incentives. Technically, the term motivation can be traced to the Latin word movere which means to move. This meaning is evident in the following comprehensive definition : motivation is a process that starts with a physiological or psychological deficiency or need that activates a behavior or a drive that is aimed at a goal or incentive. Thus the key to understand the process of motivation lies in the meaning of, and relationships among, needs, drives, and incentives.

Karena itu, bagaimanapun motivasi didefinisikan, selalu terkait dengan kebutuhan, dorongan dan tujuan (Siagian, 2004 : 142).

Dari bahasan motif dan motivasi di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa :
1.Motif (motive) dipandang tak jauh berbeda dengan motivasi (motivation), sama-sama sebagai alasan (reason), dorongan (forces) atau penyebab perilaku, yang timbul pada diri seseorang, sadar tidak sadar, untuk melakukan suatu tindakan dengan tujuan tertentu. Bahasa Indonesia cenderung sejalan dengan pandangan ini, memandangnya interchangeable, sehingga sering menempatkan kata motivasi sebagai kata dasar yang bisa dibentuk menjadi kata lain.
2.Motivasi (motivation) merupakan lanjutan atau aktivasi dari motif (motive), karena motif merupakan suatu keadaan yang kompleks (a complex state), kesiapsediaan (prepatory set),  energi dasar (instink), daya penggerak, rangsangan dalam diri (inner drive), gerak hati (impulse), yang kondisinya masih pasif, sedangkan motivasi merupakan kondisi aktif sewaktu motif terhubung dengan rangsangan, kebutuhan (needs) dan pengharapan, sehingga menjadi keinginan (willingness), kegairahan (enthusiasm) dan tindakan atau usaha (effort, behavior) untuk mencapai kepuasan (satisfy) atau tujuan (goals).
3.Motivasi (motivation) merupakan kata benda bentukan dari kata kerja motivate, sehingga motivation berarti motivating, yaitu proses giving of reason to act, atau usaha-usaha yang dapat menyebabkan seseorang atau kelompok orang tertentu tergerak melakukan sesuatu karena ingin mencapai tujuan yang dikehendakinya atau mendapat kepuasan dengan perbuatannya.  Motivasi dalam pengertian ini banyak dipergunakan dalam literatur manajemen yang mengidentifikasinya sebagai kegiatan kepemimpinan. Misalnya Hasibuan mengartikan ”motivasi adalah pemberian daya penggerak yang menciptakan kegairahan kerja seseorang agar mau bekerja sama, bekerja efektif, dan terintegrasi dengan segala daya upayanya untuk mencapai kepuasan”(Hasibuan, 2007 a : 143). ”Motivasi mempersoalkan bagaimana caranya mendorong gairah kerja bawahan, agar mereka mau bekerja keras dengan memberikan semua kemampuan dan keterampilannya untuk mewujudkan tujuan peursahaan” (Hasibuan, 2007 b : 92).  Bahkan lebih tegas lagi, menyamakannya dengan direction. Dalam hal ini Edwin B. Filippo misalnya mengemukakan bahwa, ”Direction or motivation is essence, it is a skill in aligning employee and organization interest so that behavior result in achievement of employee want simultaneously with attainment or organizational objectives” (Hasibuan, 2007 a : 143). Kecenderungan pemakai bahasa Indonesia untuk menempatkan kata motivasi sebagai kata dasar (seperti dalam pengertian kedua), memunculkan penggunaan kata ”pemotivasian”, ”pemberian motivasi”, ”memberi motivasi” atau “memotivasi” untuk artian ini.

Dalam studi ini motivasi didefinisikan sesuai dengan kesimpulan kedua, yaitu sebagai dorongan (motive) yang aktif atau keinginan (willingness) yang terdapat dalam diri seseorang untuk berusaha memenuhi kebutuhan atau mencapai tujuan. Betapaun dapat dibedakan, tapi dalam banyak hal motif dan motivasi  interchangeable.


2.Kebutuhan sebagai Dasar Motivasi

  a.Lingkaran Motivasi

Seperti dikemukakan sebelumnya, Luthans (2002 : 249) menyimpulkan bahwa ” . . . the key to understand the process of motivation lies in the meaning of, and relationships among, needs, drives, and incentives”. Jadi, menurutnya ada tiga unsur yang mendasari motivasi, yakni kebutuhan (needs), dorongan (drives) dan tujuan (incentives).

Needs are created whenever there is physiological or psychological imbalance. . . . drives, or motives (the two terms are often used interchangeably), are set up to alleviate needs. . . . And at the end of the motivation cycle is incentive, defined as anything that will alleviate a need and reduce a drive (Luthans, 2002 : 249 - 250).

Unsur-unsur needs,  drives, dan incentives tersebut saling berinteraksi seperti lingkaran dalam membentuk perilaku. Perilaku dirangsang oleh dorongan untuk memenuhi kebutuhan atau mecapai suatu tujuan atau harapan (insentif) yang berada di luar diri individu melalui serangkaian aktivitas-aktivitas atau kegiatan-kegiatan. Dorongan inilah yang mengendalikan segala kegiatannya dalam rangka mencapai tujuan. Tercapainya suatu tujuan akan memberikan feedback kepada individu untuk merespon kebutuhan berikutnya.

Tiap pegawai memiliki tujuan individual yang didasarkan pada kebutuhannya masing-masing. Tujuan individual ini harus disambungkan dengan tujuan organisasi, sehingga aktivitas atau perilakunya tidak jauh menyimpang dari tujuan organisasi.  Insentif dalam artian psikologi adalah penghargaan, yang tidak saja berupa upah, gaji, dan tunjangan, tetapi juga hal yang tidak bersifat finansial, seperti kenaikan pangkat istimewa, bintang jasa atau penghargaan lainnya yang amat berperan dalam perilaku (Thoha, 2007 : 208). Perilaku seseorang dalam bekerja merupakan serangkaian aktivitas-aktivitas pekerjaan yang menghasilkan kinerja.

  b.Motivasi Kerja dalam Hierarki Kebutuhan Maslow

Abraham Maslow telah mengembangkan konsep teori motivasi yang dikenal dengan hierarki kebutuhan (hierarchy of needs). Teorinya mengklasifikasikan lima kebutuhan manusia yaitu :
1)Kebutuhan Fisik (Physiological Needs), seperti : bernafas, makan, minum, kehangatan, tidur, seks, dan lain-lain.
2)Kebutuhan Rasa Aman (Safety Needs), seperti : kesehatan, keselamatan kerja, keamanan harta, keamanan keluarga, aturan, hukum, dan lain-lain.
3)Kebutuhan Sosial / Afiliasi (Social Needs),  seperti : interaksi, persahabatan,mencintai dan dicintai,  berkeluarga, dan lain-lain.
4)Kebutuhan Harga Diri (Esteem Needs), seperti : percaya diri, kemandirian, kehormatan, prestasi, reputasi, prestise, pengakuan orang lain, merasa penting, tanggung jawab, kekuasaan, dan lain-lain.
5)Kebutuhan Aktualisasi Diri (Self-Actualization), berupa realisasi seluruh potensi, kemampuan, skill semaksimal mungkin menjadi suatu kreatifitas, antusias, menikmati tantangan, senang akan keberhasilan dan lain-lain.

Pada mulanya kelima kebutuhan tersebut digambarkan dalam bentuk piramida dan dipandang secara statis sebagai tingkatan kebutuhan manusia yang dimulai dari yang paling primer (kebutuhan fisik) di bagian dasar kemudian meningkat kepada kebutuhan lain yang lebih tinggi. ”In essence, he believed that once a given level of need is satisfied, it no longer serves to motivate. The next higher level of need has to be activated in order to motivate the individual” (Luthans, 2007 : 260).

Sekarang teori ini dipandang lebih dinamis, sehingga digambarkan bahwa kebutuhan yang paling tinggi adalah kebutuhan yang paling kuat saat itu dibanding dengan kebutuhan lainnya bagi seseorang (Thoha, 2007 : 221-227). Dinamikanya memiliki banyak kemungkinan, misalnya :










Bagan 2.4.
Saat Kebutuhan Fisiologis Menempati Posisi Paling Kuat Dibanding Kebutuhan Lain









Bagan 2.5.
Saat Kebutuhan Penghargaan Menempati Posisi Paling Kuat Dibanding Kebutuhan Lain










Bagan 2.6.
Saat Kebutuhan Aktualisasi Diri  Menempati Posisi Paling Kuat Dibanding Kebutuhan Lain

Hierarki kebutuhan Maslow merupakan pola yang tipikal dan terjadi setiap saat, pemenuhan kebutuhan yang satu akan diikuti kebutuhan yang lain, namun lamanya pemenuhan setiap tingkat kebutuhan tidak sama pada setiap orang, sehingga kebutuhannya pun berbeda-beda (Thoha, 2007 : 227).

Motivasi kerja adalah energi yang menggerakkan diri karyawan untuk mencapai tujuan organisasi. Motivasi demikian terbentuk dari sikap karyawan dalam menghadapi situasi kerja di tempat kerjanya (Mangkunegara, 2007 : 61). Teori hierarki kebutuhan Maslow tidak secara langsung menjelaskan motivasi kerja dalam organisasi. Luthans (Thoha, 2007 : 229) menjabarkan teori hierarki kebutuhan Maslow ke dalam motivasi kerja, sebagai berikut :











Bagan 2.7.
Penjabaran Teori Hierarki Kebutuhan Maslow Ke Dalam Motivasi Kerja


3.Motivasi Berprestasi

Mebelum membahas motivasi berprestasi, ada baiknya terlebih dahulu mengetahui pengertian prestasi, dan motivasi berprestasi itu sendiri.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, prestasi adalah hasil yang telah dicapai dari yang telah dilakukan, dikerjakan dan sebagainya (Depdikbud, 1989 : 700). Sebagai pembanding, menurut kamus digital Encarta Dictionaries (Microsoft Corporation, 2007), achevement yang menjadi padanan kata prestasi, memiliki arti :

(1) success: something that somebody has succeeded in doing, usually with effort, (2) finishing well: the act or process of finishing something successfully, (3) HERALDRY full coat of arms: a full coat of arms that includes standing figures such as lions or unicorns supporters, the family symbol crest, and the family motto, (4) SOCIOLOGY earned social status: social status gained through personal merit rather than as a result of the circumstances into which somebody is born.

Luthans (2007 : 253) mengatakan bahwa ”Achievement may be defined as the degree to which a person wishes to accomplish challenging goals, succeed in competitive situations, and exhibit the desire for unambiguous feedback regarding performance”.

Jadi secara ringkas, prestasi adalah derajat keberhasilan yang dicapai seseorang dalam upaya mencapai tujuan kegiatan yang bersifat kompetitif. Sesungguhnya derajat keberhasilan itu bisa merentang dari kegagalan (ketidakberhasilan) sampai keberhasilan atau kesuksesan, namun prestasi lebih berkonotasi pada keberhasilan.

Kemudian, mengenai pengertian motivasi berprestasi. Menurut kamus online Dictionary of Vocational Psychology (Online) :

Achievement motivation is a habitual desire to achieve goals through one's individual efforts, with an emphasis on establishing realistic goals, mastering the tasks needed to achieve these goals, discovering solutions to problems encountered in striving to reach these goals, and then being open to and even seeking out feedback on one's performance . . . Individuals high in achievement motivation are at their best when they can maintain a high level of involvement in ensuring the excellence of activities under their coordination or control; thus, individuals high in need for achievement are at their best when leading small teams or when running small, entrepreneurial organizations . . . .

Johnson menyatakan bahwa ”Achievement motive is impetus to do well relative to some standard of excellence” (Mangkunegara, 2007 : 68).

Mangkunegara mengemukakan bahwa ”Motivasi berprestasi dapat diartikan sebagai suatu dorongan dalam diri seseorang untuk melakukan atau mengerjakan suatu kegiatan atau tugas dengan sebaik-baiknya agar mencapai prestasi dengan predikat terpuji” (Mangkunegara, 2007 : 68).

Kemudian, Uno (2007 : 30) dengan menggunakan kata motif, mengemukakan bahwa :

. . . motif berprestasi, yaitu motif untuk berhasil dalam melaksanakan suatu tugas atau pekerjaan, motif untuk memperoleh kesempurnaan. Motif semacam itu merupakan unsur kepribadian dan perilaku manusia, sesuatu yang berasal dari ”dalam” diri manusia yang bersangkutan. Motif berprestasi adalah motif yang dipelajari, sehingga motif itu bisa diperbaiki dan dikembangkan melalui proses belajar.

Jadi, sebagai gabungan antara motivasi dengan prestasi, motivasi berprestasi adalah dorongan yang terdapat dalam diri seseorang untuk mencapai kesuksesan, kesempurnaan bahkan keunggulan dalam melaksanakan tugas atau pekerjaannya, yang diperjuangkannya dengan sungguh-sungguh.

Melihat betapa positifnya motivasi berprestasi jika dimiliki setiap pegawai suatu perusahaan atau organisasi, maka berprestasi seharusnya merupakan kebutuhan pegawai. Untuk melacak kebutuhan berprestasi, kita ikuti Sutermeister yang telah mengelompokkan kelima hierarki kebutuhan Maslow menjadi tiga kelompok, yaitu : (1) physiological needs, dengan menggabungkan kebutuhan fisik dan keamanan, (2) social needs, dan (3) egoistic needs, yang menggabungkan kebutuhan akan penghargaan dan aktualisasai diri.

Physiological needs involve essentials such as air, water, food, housing and clothing. These necessities must be at least partially fulfilled before a person gives much thought to other needs. They are met mainly through money and security. As a person gets enough to eat, adequate clothing, and a decent place to live, he or she is inclined to place increasing emphasis on social and egoistic needs. . . Social needs can be fulfilled only by contacts with others, such as fellow employees, the supervisor or friends off job. Social needs include such group need as friendship, identification with the group, teamwork and helping others and being helped. . . Egoistic needs are those that individuals have for a high evaluation of themselves and include such needs as knowledge, achievement, competence, independence, self respect, respect of others, status, power, and recognition (Sutermeister, 1976 : 15 - 16).

Tapi ”It should be noted that some needs, of course, fall into more than one of the type mentioned. For example, money will purchase food and clothing and thereby fill a physiological need; at the same time, in our society, it can fill a need for status and recognition” (Sutermeister, 1976 : 17). Pernyataan ini sekaligus menunjukkan bahwa suatu tindakan motivasional bisa dilandasi kebutuhan yang berbeda, bisa merupakan kombinasi dari beberapa kebutuhan, dan  terikat dengan budaya (bangsa, negara) asal individu (Robbins, 2007 : 244). ”What contributes to the motivational differences across cultures? The roles of religion, uncertainity avoidance, and power distance provide some insight into this question” (Luthans, 2007 : 276).

Sutermeister selanjutnya mengemukakan bahwa berbeda dengan physiological needs dan social needs yang berhenti memotivasi jika sudah terpuaskan, egoistic needs terus memotivasi. ”Thus, if we satisfy our egoistic needs today, we continue to seek such satisfaction tomorrow and the day after. . . The continuing satisfaction of egoistic needs, then, would seem to offer the best opportunity to motivate employees to better job performance” (Sutermeister, 1976 : 16 - 17). Ini menunjukkan bahwa motivasi berprestasi tak pernah surut meski telah terpuaskan.

Lebih jauh, berkaitan dengan motivasi atau kebutuhan berprestasi, David McClelland mengemukan three-needs theory. Teorinya meyakini bahwa ada tiga kebutuhan manusia yang merupakan motivasi utama seseorang dalam bekerja, sehingga ketiganya amat menentukan prestasi kerjanya.

These three needs include the need for achievement (nAch), which is the drive to excel, to achieve in relation to set of standards and to strive to succeed; the need for power (nPow), which is the need to make others behave in a way that they would not have behaved otherwise; and the need for affiliation (nAff), which is the desire for friendly and close interpersonal relationships” (Robbins, et al., 2003 : 349).

”Needs for achievement refers to the inclination to set challenging goals and strive to reach them” (Seyfarth, 2002 : 70). Menurut McClelland kebutuhan untuk berprestasi berbeda dengan kebutuhan-kebutuhan lainnya, dan lebih penting lagi, kebutuhan berprestasi ini dapat diisolasikan. Ia yakin bahwa  manusia itu pada hakikatnya mempunyai kemauan untuk berprestasi di atas kemampuan orang lain. Seseorang dianggap mempunyai motivasi berprestasi jika mempunyai keinginan untuk berkarya lebih baik dari orang lain (Thoha, 2007 : 235-236).

Karakteristik orang yang berorientasi pada prestasi, menurut hasil riset McClelland (Thoha, 2007 : 236-238) adalah :
1.Suka mengambil resiko yang moderat (moderate risk).
Seseorang yang memiliki motivasi berprestasi tinggi selalu memperhitungkan resiko dari pekerjaannya sehingga tidak memilih yang menimbulkan resiko tinggi dan rendah.
2.Memerlukan umpan balik yang segera.
Seseorang yang memiliki motivasi berprestasi tinggi pada umumnya sangat membutuhkan informasi mengenai hasil-hasil yang dikerjakannya sebagai umpan balik yang bisa memperbaiki prestasinya di masa mendatang.
3.Memperhitungkan keberhasilan.
Seseorang yang memiliki motivasi berprestasi tinggi pada umumnya lebih memperhitungkan keberhasilannya daripada mempedulikan penghargaan karena prestasinya. Penghargaan bukan merupakan harapannya melainkan pemberian dari lingkungan kerjanya.
4.Menyatu dengan tugas.
Seseorang yang memiliki motivasi berprestasi tinggi memilih satu tujuan untuk dicapai. Untuk mencapainya ia menyatukan dirinya dengan tugas pekerjaanya dengan tekad yang kuat sampai benar-benar berhasil.

Kemudian menurut penjelasan Robbins dan rekan-rekannya :

People with a high need for achievement are striving for personal achievement rather than for the trappings and rewards of success. They have a desire to do something better or more efficiently than it has been done before. They prefer jobs that offer personal responsibility finding solutions to problems, in which they can receive rapid and unambiguous feedback on their performance in order to tell whether they are improving or not, and in which they can set moderate challenging goals. High achievers are not gambler; they dislike succeeding by chance. They are motivated and prefer the challenge of working at a problem and accepting the personal responsibility for success or failure. An important point is that high achievers avoid what they perceive to be very easy or very difficult tasks. They like to set goals that require stretching themselves a bit. On the basis of extensive research, some reasonably well-supported predictions can be made about the relationship between the achievement need and job performance. First, individuals with a high need to achieve prefer and are strongly motivated in job situation with personal responsibility, feedback and an intermediate degree of risks. . . Second, a high need to achieve does not necessarily lead to being a good manager, especially in large organisations. . . The reason high achiever do not necessarily make good managers is probably because high achievers focus on their own accomplishments, whereas good managers emphasise helping others accomplish their goals.   (Robbins, et al., 2003 : 349 - 350).

”Individuals with this characteristic receive gratification from accomplishing demanding tasks or striving toward challenging goal. People with high need for achievement prefer goals that challenge their abilities but that they can, with hard work, expect to achieve” (Seyfarth, 2002 : 70).

Dari uraian tersebut maka kita bisa mengidentifikasi bahwa :
1.Jika motivasi kerja dipilah menjadi motivasi yang berasal dari diri sendiri (intrinsik) dan motivasi yang dirangsang oleh sesuatu yang berada di luar diri sendiri (ekstrinsik), maka motivasi berprestasi merupakan motivasi intrinsik, karena kebutuhan berprestasi terpuaskan oleh pekerjaan atau prestasi kerja aktual yang dicapai oleh pegawai itu sendiri, bukan oleh insentif (ekstrinsik). Menurut teori evaluasi kognitif, ”. . . motivasi intrinsik seperti misalnya prestasi . . . tidak tergantung pada motivator ekstrinsik seperti upah tinggi, promosi, hubungan penyelia yang baik, dan kondisi kerja yang menyenangkan. Bila imbalan (insentif) digunakan sebagai hadiah atas kinerja yang unggul karena seseorang menyukai pekerjaannya, maka motivasi intrinsik (motivasi berprestasi - penulis) tersebut justru akan berkurang (Robbins, 2007: 225).
2.Motivasi berprestasi berada pada tingkat keempat (kebutuhan harga diri / esteem needs) dan kelima (kebutuhan aktualisasi diri / actualisation needs) dalam hierarki kebutuhan Maslow. Haasen and Shea menyatakan “If we accept the notion of intrinsic motivation, it implies that there is a powerful potential for self – actualization within each of us. This potential is based on the intensity of our need to achieve, as well as our enjoyment of achieving” (Zenzen, 2002 : 8).


4.Faktor-faktor yang Mempengaruhi Motivasi Berprestasi

Motivasi kerja menurut Sutermeister  (1976 : 11) bisa dianggap sebagai ”. . . result from the interacting forces in physical condition of the job, social condition of the job, and individuals’ needs”. Hal ini menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi individu bisa dibagi menurut asalnya. Yang timbul dan tumbuh berkembang dengan jalan datang dari diri sendiri disebut motivasi intrinsik, sedangkan yang timbul dan tumbuh berkembang dengan jalan datang dari luar diri sendiri disebut motivasi ekstrinsik (Makmun, 2005 : 37).

Motivasi berprestasi merupakan motivasi intrinsik. Thomas menggambarkan bahwa pegawai akan termotivasi secara intrinsik bila dia benar-benar peduli dengan pekerjaannya, mencari cara yang lebih baik untuk melakukannya, dan mendapat kekuatan dan kepuasan setelah melakukan pekerjaannya dengan baik. Dengan kata lain motivasi ini datang dari kerja itu sendiri, dicapai jika pegawai mengalami perasaan-perasaan adanya pilihan, kompetensi, penuh arti dan kemajuan (Robbins, 2007: 232-233).


5.Dimensi Motivasi Kerja dan Motivasi Berprestasi

Atkinson dan Feather menyatakan bahwa ”. . . a person’s achievement oriented behavior is based on three parts: the first part being the individual’s predisposition to achievement, the second part being the probability of success, and third, the individual’s perception of value of the task” (Zenzen, 2002 : 6). Lebih operasionalnya, mereka melanjutkan bahwa :

The strength of motivation to perform some act is assumed to be a multiplicative function of the strength of the motive, the expectancy (subjective probability) that the act will have as a consequence the attainment of an incentive, and the value of the incentive: Motivation = f (Motive x Expectancy x Incentive) (Zenzen, 2002 : 6 -7).

Pernyataan Atkinson dan Feather sama dengan teori harapan (expectancy theory) yang dikembangkan Victor Vroom. Vroom menjelaskan bahwa motivasi merupakan suatu produk dari bagaimana seseorang menginginkan sesuatu, dan penaksiran mengenai tindakan apa yang dapat mengarahkannya pada sesuatu yang diinginkannya itu (Mangkunegara, 2007 : 70). Pernyataan Vroom tersebut (Mathis dan Jackson, 2006 : 116-117, Hasibuan, , 2007 a : 166-167,   dan Robbins, et al., 2003 : 360) menunjukkan bahwa motivasi dibentuk oleh:
1.Persepsi pegawai bahwa setiap usaha atau yang dilakukannya selama bekerja akan menghasilkan kinerja. Persepsi demikian dinamakan harapan (expectancy). Harapan merupakan ”effort-performance linkage” (Robbins, et al., 2003 : 360).
2.Kekuatan seseorang dalam mempersepsikan rewards atau punisment yang akan diperoleh dari kinerjanya atau merupakan ketertarikan seseorang terhadap rewards. Kekuatan demikian disebut valensi (valence). ”Valence considers both the goals and the needs of individual” (Robbins, et al., 2003 : 360).
3.Kesesuaian antara rewads atau punishment dengan kinerja yang dipersepsikan pegawai. Kesesuain-kesesuaian demikian disebut instrumentality, yang merupakan ”performance-rewards linkage” (Robbins, et al., 2003 : 360). Kata tersebut sering diterjemahkan jadi instrumen.

Ketiga pembentuk motivasi tersebut dirumuskan menjadi Motivasi = Valensi x Harapan x Instrumen, atau M = V x E x I. Mangkunegara menjelaskan ketiga istilah yang digunakan Vroom ini lebih simple, bahwa valensi merupakan kekuatan hasrat seseorang untuk mencapai sesuatu (bandingkan dengan motive-nya Atkinson dan Feather). Harapan merupakan kemungkinan mencapai sesuatu dengan aksi tertentu (sama dengan expectancy-nya Atkinson dan Feather), dan instrumen merupakan insentif atau penghargaan yang akan diberikan (sama dengan incentive-nya Atkinson dan Feather).

Penulis melihat bahwa istilah yang digunakan Atkinson dan Feather lebih “to the point”, sehingga penulis lebih condong untuk menggunakannya. Dengan demikian dimensi dari motivasi kerja adalah :
1.Motif
2.Harapan
3.Insentif

Selanjutnya adalah dimensi dari motivasi berprestasi. Dari uraian-uraian sebelumnya penulis melihat bahwa motivasi berprestasi merupakan bagian dari motivasi kerja. Jadi dimensinya pun tak berbeda. Namun motivasi berprestasi memiliki karakteristik yang istimewa. Keistimewaannya itu adalah terletak pada (1) dimensi motif yang hanya melibatkan tingkat keempat (kebutuhan harga diri) dan kelima (kebutuhan aktualisasi diri) dari hierarki kebutuhan Maslow, (2) dimensi harapan, yang menunjukkan bahwa tindakan yang dilakukan lebih mandiri dan intens, dan (3) dimensi insentif yang lebih beorientasi pada prestasi itu sendiri daripada oleh penghargaan ekstrinsik. Atau dengan kata lain, orang yang memiliki motivasi berprestasi tinggi tidak memerlukan insentif ekstrinsik, sebab insentif yang demikian justru melenyapkan motivasi berprestasinya (Robbins, 2007: 225). Padahal secara umum motivasi kerja berorientasi pada insentif intrinsik dan ekstrinsik.

Kesimpulannya, motivasi berprestasi terdiri dari tiga dimensi, yaitu :

1.Motif berprestasi, yang menunjukkan dorongan atau keinginan di dalam diri individu untuk mencapai prestasi tertentu.
2.Harapan berprestasi, yang menunjukkan usaha yang dilakukan individu untuk   mencapai prestasi tertentu.
3.Insentif intrinsik


C.PERSEPSI GURU TENTANG SUPERVISI AKADEMIK KEPALA SEKOLAH


1.Persepsi

Kata persepsi adalah kata transliterasi dari kata dasar bahasa Inggris perception. Dalam kamus digital Encarta Dictionaries (Microsoft Corporation, 2007),  perception memiliki arti ”(1) perceiving: the process of using the senses to acquire information about the surrounding environment or situation, (2) result of perceiving: the result of the process of perception, (3) impression: an attitude or understanding based on what is observed or thought, (4) powers of observation: the ability to notice or discern things that escape the notice of most people, (5) Psychology : neurological process of observation and interpretation: any neurological process of acquiring and mentally interpreting information from the senses”.

Ensikopedia Encarta MSN menjelaskan bahwa :

Perception (psychology), process by which organisms interpret and organize sensation to produce a meaningful experience of the world. Sensation usually refers to the immediate, relatively unprocessed result of stimulation of sensory receptors in the eyes, ears, nose, tongue, or skin. Perception, on the other hand, better describes one’s ultimate experience of the world and typically involves further processing of sensory input. In practice, sensation and perception are virtually impossible to separate, because they are part of one continuous process (Perception (Psychology), Online).

Robbins (2007 : 169) mengatakan bahwa ”Persepsi adalah proses yang digunakan individu mengelola dan menafsirkan kesan indra mereka dalam rangka memberikan makna kepada lingkungan mereka. Meski demikian apa yang dipersepsikan seseorang dapat berbeda dari kenyataan obyektif”.

Thoha (2007 : 141 - 142) berpendapat bahwa ”Persepsi pada hakikatnya adalah proses kognitif yang dialami oleh setiap orang di dalam memahami informasi tentang lingkungannya, baik lewat penglihatan, pendengaran, penghayatan, perasaan, dan penciuman”.

Luthan (2002 : 183) mengemukakan bahwa ”The key to undestanding perception is to recognize that it is a unique interpretation of the situation, not an exact recording of it. In short, perception is a very complex cognitive process that yields a unique picture of the world, a picture that may be quite different from reality”.

Dari pengertian yang dikemukakan kamus, ensiklopedia dan para ahli dapat ditarik kesimpulan bahwa persepsi merupakan penafsiran subyektif individual terhadap obyek atau situasi yang ada di lingkungannya setelah melalui proses pengindraan terhadap obyek atau situasi tersebut.

  a.Jenis-jenis Persepsi

Proses pemahaman terhadap rangsang atau stimulus diperoleh oleh indera. Berdasarkan pengindraannya (Persepsi, Online), persepsi terbagi menjadi beberapa jenis, yaitu :
1)Persepsi visual
Persepsi visual didapatkan dari indera penglihatan. Persepsi ini adalah persepsi yang paling awal berkembang pada bayi, dan mempengaruhi bayi dan balita untuk memahami dunianya. Persepsi visual merupakan topik utama dari bahasan persepsi secara umum.
2)Persepsi auditori
Persepsi auditori didapatkan dari indera pendengaran yaitu telinga.
3)Persepsi perabaan
Persepsi perabaan didapatkan dari indera taktil yaitu kulit.
4)Persepsi penciuman
Persepsi penciuman atau olfaktori didapatkan dari indera penciuman yaitu hidung.
5)Persepsi pengecapan
Persepsi pengecapan atau rasa didapatkan dari indera pengecapan yaitu lidah.

Dalam kaitannya dengan organisasi, Thoha (2007 : 140) mengemukakan bahwa

Persepsi meliputi semua proses yang dilakukan seseorang dalam memahami informasi mengenai lingkungannya. Proses pemahaman ini melalui penglihatan, pendengaran, perasaan dan penciuman. Dalam hubungannya dengan perilaku orang-orang dalam suatu organisasi, nampaknya ada tiga hal yang berkaitan, yakni  pemahaman lewat penglihatan, pendengaran, dan perasaan.

  b.Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi

Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi menurut Robbins (2007 : 170 - 171) adalah :
1)Faktor yang ada pada pelaku persepsi (perceiver)
Ketika individu memandang obyek tertentu dan mencoba menafsirkannya, maka penafsiranya dipengaruhi oleh karakteristik individu tersebut. Karakteristik yang mempengaruhi persepsinya itu antara lain sikap, kepribadian, motif, kepentingan atau minat, pengalaman masa lalu, dan harapan.
2)Faktor yang ada pada obyek yang dipersepsikan (target)
Karakteristik target yang mempengaruhi persepsi pengamatnya antara lain obyek merupakan hal baru, gerakan obyek, intensitas (bunyi) dari obyek, ukuran obyek, kontrasitas obyek dengan latar belakangnya, dan jarak (kedekatan) antara obyek dengan pemersepsi.
3)Faktor yang ada pada situasi terjadinya persepsi
Konteks peristiwa atau waktu terjadinya persepsi yang mempengaruhi persepsi atara lain lokasi, cahaya, suhu udara, siang atau malam hari, dan lain-lain.

  c.Proses persepsi

Luthan (2002 : 186 - 187) mengemukakan bahwa dalam proses persepsi, seseorang mengalami empat subproses, yaitu :
1)Confrontation
Perception begins when a person is confronted with a stimulus or a situation that is present. This confrontation may be with the immediate sensual stimulation or with the total physical and socio-cultural environment. In the other words, this subprocess represents the stimulus situation interacting with the person.
2)Registration
During the registration phenomenon, the physiological (sensory and neutral) mechanisms are affected ; the physical ability to hear and see will affect perception.
3)Interpretation
Interpretation is the most significant aspect of cognitive aspect of perception. The other physical processes will affect the interpretation of situation.
4)Feedback
Feedback would be kinesthetic (sensory impressions from muscles) or psychological. The behavioral termination of perception is reaction or behavior, either overt or covert, which is necessary if perception to be considered a behavioral event and thus an important part of organizational behavior. As a result of perception, an employee may move rapidly or slowly (overt behavior) or make self evaluation (covert behavior).

  d.Guru dalam mempersepsi perilaku supervisi akademik kepala sekolah

Persepsi kita terhadap manusia berbeda dari persepsi kita kepada obyek mati seperti meja, mesin, atau gedung karena kita menarik kesimpulan mengenai tindakan orang tersebut yang tidak kita lakukan terhadap obyek mati. Obyek yang tidak hidup dikenai hukum-hukum alam, tetapi obyek ini tidak mempunyai keyakinan, motif, dan maksud. Manusia punya. Akibatnya adalah, bila kita mengamati manusia, maka kita berusaha mengembangkan penjelasan-penjelasan mengapa mereka berperilaku dengan cara-cara tertentu. Oleh karena itu, persepsi dan penilaian kita terhadap tindakan seseorang akan cukup banyak dipengaruhi asumsi-asumsi yang kita ambil mengenai keadaan internal orang tersebut (Robbins, 2007 : 172).

Aspek sosial dalam persepsi memainkan peranan yang amat penting dalam perilaku organisasi. ”Social perception is directly concerned with how one individual perceives other individuals : how we get to know others” (Luthan, 2002: 195). Pegawai suatu departemen atau kantor secara ajeg terlibat dalam proses persepsi dalam hal mengenal, melihat, memahami, dan menilai satu sama lain. Pimpinan akan melihat dan menilai stafnya dan sebaliknya. Di sekolah, proses persepsi sosial ini terjadi antar personal sekolah, seperti antara kepala sekolah dengan guru, antara guru dengan murid, dan antar personal lainnya.

Persepsi sosial seseorang mengenai orang lain, termasuk bagaimana guru mempersepsi kepala sekolah dalam melakukan supervisi akademik, dipengaruhi oleh karakteristik pemersepsi (perceiver) dan orang yang dipersi (perceived).  Menurut Luthan (2002 : 195 – 196), karakteristik perceiver yang dimaksud  adalah :
1)Knowing oneself makes it easier others accurately,
2)One’s own characteristics affect the characteristics one is likely to see others,
3)People who accept themselves are more likely to be able to see favorable aspects of other people, dan
4)Accurately in perceiving others is not a single skill.

Sedangkan karakteristik perceived-nya adalah :
1)The status of the person perceived will greatly influence others’ perception of the person,
2)The person being perceived is ussualy placed into categories to simplify the viewer’s perceptual activities. Two common categories are status and role,
3)The visible traits of the person perceived will greatly influence others’ perception of the person.

Luthan (2002 : 196) menekankan bahwa ”There are numerous complex factors that enter into such social perception, but most important are the problems associated with stereotyping, the hallo effect, and the cognitive process of causal attribution . . . .” Stereotyping adalah proses yang cenderung melihat orang lain sebagai bagian dari suatu kelas, katagori, atau golongan tertentu, hallo effect adalah melihat orang lain berdasarkan satu sifat yang kebetulan terlihat dan menutup sifat-sifat lainnya, dan atribusi adalah suatu proses mencari kejelasan dari sebab-sebab perilaku orang lain (Thoha, 2007 : 162 – 166).

Penjelasan Luthan tersebut berlaku pula saat guru mempersepsi kepala sekolah di tempat mereka bekerja. Guru sebagai perceiver dengan status staf dan kepala sekolah sebagai perceived dengan status manajer akan mempengaruhi (produk) persepsi guru tentang atasannya tersebut, termasuk tentang perilaku supervisi akademik yang dilakukannya.


2.Supervisi

Supervisi berasal dari dua kata bahasa Inggris, yaitu super dan vision.

Super connotes above, over, or beyond. Vision is derived from video - to see. Conceptually, then, supervision means oversight. In turn, oversight suggests being watchful, in control, providing direction ; in strictest sense, it means constant personal presence. These elements of supervision are manifested behaviorally in procedures used in overseeing or directing the work of others (Alfonso et al., 1981 : 3).  

Hal tersebut dikemukakan juga oleh Arikunto (2004 : 4) bahwa super berarti “di atas”, vision berarti “melihat”, sehingga secara keseluruhan, supervisi diartikan sebagai “melihat dari atas”, dan dengan pengertian itulah supervisi diartikan sebagai kegiatan yang dilakukan oleh pejabat yang berkedudukan di atas atau lebih tinggi.

Carter Good’s Dictionary of Education, seperti yang dikutip Oteng Sutisna, mendefinisi supervisi sebagai :

Segala sesuatu dari pejabat sekolah yang diangkat yang diarahklan kepada penyediaan kepemimpinan bagi para guru dan tenaga kependidikan lain dalam perbaikan pengajaran, melihat stimulasi pertumbuhan profesional dan perkembangan dari para guru, seleksi dan revisi tujuan-tujuan pendidikan, bahan pengajaran, dan metode-metode mengajar dan evaluasi pengajaran (Arikunto, 2004 : 11).

Neagley dan Evans mengemukakan bahwa ”. . . the term supervision is used to describe those activities which are primarily and directly concerned with studying and improving the conditions which surround the learning and growth of pupils and teachers” (Purwanto, 2002 : 76).

Kimbal Willes mengemukakan bahwa ”Supervisi adalah bantuan dalam pengembangan situasi belajar-mengajar agar memperoleh kondisi yang lebih baik”  (Arikunto, 2004 : 11).

Burton berpendapat bahwa ”Supervision is an expert technical service primarily aimed at studying and improving co-operatively all factors which effects child growth and development” (Purwanto, 2002 : 77).

Lebih lengkap, Boardmab et al. mengemukakan bahwa:

Supervision of instruction is the effort to stimulate, coordinate, and guide the continued growth of the teacher in the school, both individually and collectively, in better understanding and more effective performance at all the functions of instructions so that may be better able to stimulate and guide the continued growth of every pupil toward the richest and most intelligent participation and modern democratic society (Arikunto, 2004 : 11).

Dari pendapat-pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa supervisi merupakan fungsi administrasi yang dilakukan oleh pejabat yang lebih tinggi, yang dalam dunia pendidikan bertujuan untuk membantu bawahan dalam mengembangkan atau meningkatkan kualitas pendidikan pada umumnya, kualitas pengajaran dan pembelajaran khususnya. Aktivitasnya berfokus pada upaya memperbaiki kondisi-kondisi yang mempengaruhi peningkatan kinerja mengajar guru, dan kinerja belajar siswa, yang kesemua upaya tersebut ditujukan untuk meningkatkan mutu proses dan hasil pembelajaran.


3.Ruang Lingkup Supervisi

Ruang lingkup supervisi pendidikan dikelompokkan secara berbeda tergantung sudut pandang atau dasar yang digunakan untuk mengelompokkannya.

  a.Berdasarkan sasarannya

Arikunto (2004 : 33-34) mengelompokkannya menjadi :
1).Supervisi akademik
Adalah supervisi yang meninitikberatkan pengamatannya pada masalah akademik, yaitu yang langsung berada dalam lingkup kegiatan pembelajaran yang dilakukan oleh guru untuk membantu siswa ketika sedang dalam proses belajar.
2).Supervisi administrasi
Adalah supervisi yang meninitikberatkan pengamatannya pada masalah aspek administrasi yang berfungsi sebagai pendukung terlaksananya pembelajaran. Mengenai kedua jenis supervisi di atas, Arikunto (2004 : 5) melanjutkan bahwa ”Kegiatan supervisi (yang tanpa menunjuk pada obyek) artinya mempunyai lingkup nomor (1) dan (2), yaitu pembelajaran serta semua pendukungnya. Seluruhnya itulah yang disebut sebagai supervisi pendidikan”.
3).Supervisi lembaga
Adalah supervisi yang menyebar pengamatannya pada aspek-aspek yang berada di seantero sekolah. Supervisi lembaga memiliki tujuan untuk meningkatkan nama baik atau kinerja sekolah secara keseluruhan.

Dalam bentuk diagram (Arikunto, 2004 : 34), menggambarkan ketiga ruang lingkup supervisi itu sebagai berikut:









 





Bagan 2.8.
Ruang Lingkup Supervisi Menurut Arikunto

Nomor 1 - 3 adalah lingkaran-lingkaran ruang lingkup supervisi, sedangkan a - f adalah faktor-faktor pendukung pembelajaran.

Purwanto (2002 : 89) mengelompokkannya menjadi :
1).Supervisi umum
Adalah supervisi yang dilakukan terhadap kegiatan-kegiatan atau pekerjaan yang secara tidak langsung berhubungan dengan usaha perbaikan pengajaran, seperti supervisi pengelolaan bangunan dan perlengkapan sekolah atau kantor pendidikan,  supervisi pengelolaan administrasi kantor, supervisi pengelolaan keuangan sekolah atau kantor pendidikan, dan sebagainya.
2).Supervisi pengajaran
Adalah supervisi yang ditujukan untuk memperbaiki kondisi-kondisi - baik personal maupun material - yang memungkinkan terciptanya situasi belajar mengajar yang lebih baik, demi tercapainya tujuan pendidikan.

  b.Berdasarkan tingkat atau keluasan wilayah yang disupervisi

Dalam hal ini, Satori (1989 : 98) mengelompokkannya (dalam konteks Sekolah Dasar) menjadi :
1).Supervisi pada level sekolah
Yaitu kegiatan supervisi yang dilakukan pada tingkat sekolah atau supervision at the local school level. Dalam level ini yang memegang peranan kegiatan supervisi adalah  kepala sekolah.
2).Supervisi pada level wilayah
Yaitu kegiatan supervisi yang dilakukan pada tingkat wilayah tertentu atau supervision at the level above the school, meliputi beberapa sekolah dalam beberapa desa, kecamatan atau pertimbangan kewilayahan tertentu. Dalam level ini supervisi diperankan oleh pengawas sekolah.

  c.Berdasarkan tugas tenaga kependidikan (kepala sekolah dan pengawas sekolah)

Seperti yang tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 12 Tahun 2007 tentang Standar Pengawas Sekolah / Madrasah (BSNP, 2007 a) dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 13 Tahun 2007 tentang Standar Kepala Sekolah / Madrasah (BSNP, 2007 b), Depdiknas (PMPTK) mengelompokkan supervisi pendidikan menjadi :
1).Supervisi manajerial
Supervisi manajerial merupakan tugas dan wewenang pengawas sekolah. Esensinya berupa kegiatan pemantauan, penilaian dan pembinaan terhadap kepala sekolah dan seluruh elemen sekolah lainnya di dalam mengelola, mengadministrasikan dan melaksanakan seluruh aktivitas sekolah dalam rangka mencapai tujuan sekolah serta memenuhi standar pendidikan nasional, sehingga dapat berjalan dengan efektif dan efisien (Depdiknas, 2008 a : 8). Kepengawasan manajerial menitik beratkan pengamatan pada aspek-aspek pengelolaan dan administrasi sekolah yang berfungsi sebagai pendukung (supporting) terlaksananya pembelajaran (Depdiknas, 2008 a : 5).
2).Supervisi akademik
Supervisi akademik menjadi tugas kepala sekolah dan tugas pengawas sekolah. Bagi pengawas sekolah, supervisi akademik sendiri merupakan bagian dari supervisi manajerial. Esensinya berkenaan dengan tugas kepala sekolah atau pengawas untuk membina guru dalam meningkatkan mutu pembelajarannya, sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan prestasi belajar siswa (Depdiknas, 2008 a : 8). Kepengawasan akademik menitikberatkan pada pengamatan terhadap kegiatan akademik, berupa pembelajaran baik di dalam maupun di luar kelas. (Depdiknas, 2008 a : 5).


4.Supervisi Akademik

Satori (2004 : 2) mengingatkan bahwa istilah supervisi akademik mengacu pada sistem sekolah yang memiliki misi utama memperbaiki dan meningkatkan mutu akademik, karena ”Dalam literatur supervisi tidak dikenal sebutan ’academic supervision’, namun yang dimaksud adalah ’instructional supervision’ atau ”educational supervision’. Supervisi akademik merupakan istilah yang dimunculkan untuk me-reform atau mereorientasi aktifitas kepengawasan pendidikan kita yang dianggap keliru karena lebih peduli pada penampilan fisik sekolah, pengelolaan dana, dan administrasi kepegawaian guru, bukan pada mutu proses dan hasil pembelajaran.

Dalam konteks profesi pendidikan, khususnya profesi mengajar, mutu proses dan hasil pembelajaran merupakan refleksi dari kemampuan profesional guru (Satori (2004 : 3). Gambar (Satori, 2004 : 4) yang menjelaskan hubungan perilaku supervisi, perilaku mengajar, perilaku belajar dan hasil belajar tersebut adalah:








Bagan 2.9.
Hubungan Perilaku Supervisi, Perilaku Mengajar, Perilaku Belajar dan Hasil Belajar

Jika temuan Satori tersebut disandingkan dengan pengelompokan jenis supervisi menurut Arikunto, Purwanto, dan pemerintah (permendiknas) maka dapat disimpulkan bahwa supervisi akademik adalah bagian dari supervisi pendidikan (educational supervision),  langsung berada dalam lingkup kegiatan pembelajaran yang dilakukan oleh guru, sehingga aktivitasnya berupa supervisi pengajaran (instructional supervision) yang ditujukan untuk meningkatkan mutu proses dan hasil pembelajaran. Berada pada level sekolah tapi bukan supervisi terhadap aspek-aspek keseluruhan sekolah (supervisi lembaga) atau supervisi manajerial. ”Supervisi akademik adalah bantuan profesional kepada guru, melalui siklus perencanaan yang sistematis, pengamatan yang cermat, dan umpan balik yang obyektif dan segera. Dengan cara itu guru dapat menggunakan balikan tersebut untuk memperbaiki kinerjanya” (Depdikbud, 1999 : 130).


5.Tujuan Supervisi Akademik

Arikunto (2004 : 40 - 41) membedakan tujuan supervisi menjadi :

  a.Tujuan umum

Memberikan bantuan teknis dan bimbingan kepada guru (dan staf sekolah yang lain) agar personil tersebut mampu meningkatkan kualitas kinerjanya, terutama dalam melaksanakan proses belajar mengajar.

  b.Tujuan khusus

Tujuan khusus merupakan penjabaran atau perincian yang jelas sasarannya dari tujuan umum, yaitu:
1).Meningkatkan kinerja siswa dalam peranannya sebagai peserta didik agar mencapai prestasi belajar yang optimal.
2).Meningkatkan mutu kinerja guru sehingga berhasil membantu siswa untuk mencapai prestasi belajar dan pribadi yang diharapkan.
3).Meningkatkan efektifitas kurikulum sehingga berdaya guna, baik dalam proses pembelajaran maupun dalam penguasaan kompetensi lulusan.
4).Meningkatkan efektifitas dan efisiensi pengelolaan dan pemanfaatan sarana prasarana untuk keberhasilan belajar siswa.
5).Meningkatkan kualitas pengelolaan sekolah, khususnya dengan menciptakan suasana kerja yang optimal sehingga siswa bisa mencapai prestasi yang diharapkan.
6).Meningkatkan kualitas situasi umum sekolah, sehingga tercipta situasi yang tenang, tentram yang kondusif bagi kehidupan sekolah, kualitas pembelajaran  dan keberhasilan lulusan.

Jika dicermati, sesuai dengan pengelompokkan ruang lingkup supervisi, tujuan umum sesuai dengan supevisi pendidikan secara umum, sedangkan tujuan khusus sesuai dengan supervisi akademik.


6.Fungsi Supervisi Akademik

Arikunto (2004 : 13-14) mencatat sedikitnya ada tiga fungsi supervisi :
a.Meningkatkan mutu pembelajaran
Ini merupakan fungsi supervisi dalam ruang lingkup yang sempit, tertuju pada aspek akademik, khususnya khususnya yang terjadi di ruang kelas ketika guru sedang memberikan bantuan dan arahan kepada siswa. Perhatian utama supervisor tertuju pada perilaku belajar siswa dan keberhasilannya, baik dengan dibantu maupun tanpa dibantu guru secara langsung. Fungsi demikian  ada dalam lingkup supervisi akademik.
b.Memicu unsur yang terkait dengan pembelajaran
Fungsi ini tertuju pada faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan kualitas pembelajaran, sifatnya melayani atau mendukung kegiatan pembelajaran. Fungsi demikian ini ada dalam lingkup supervisi administrasi.
c.Fungsi membina dan memimpin
Supervisi merefleksikan fungsi kepemimpinan bagi pejabat yang diserahi memimpin sekolah, yaitu kepala sekolah.

Betapapun pendapat tersebut tidak menyebutkan untuk supervisi akademik, isinya sudah mengarah pada peningkatan mutu pembelajaran yang ada pada supervisi akademik.

Kemudian, dengan mengacu pada pendapat Ametembun, Satori (2004 : 3) mengemukakan fungsi supervisi akademik sebagai berikut :
a.Penelitian
Dalam fungsi ini supervisi bertujuan untuk memperoleh gambaran yang jelas dan obyektif tentang situasi pendidikan (khususnya sasaran supervisi akademik) dengan menempuh prosedur : (a) perumusan pokok masalah sebagai fokus penelitian, (b) pengumpulan data, (c) pengolahan data, dan (d) penarikan kesimpulan yang diperlukan untuk perbaikan dan peningkatan.
b.Penilaian
Yaitu dengan mengevaluasi hasil penelitian, sehingga bisa mengetahui apakah situasi pendidikan yang diteliti itu mengalami kemunduran, kemandegan atau kemajuan, memprihatinkan atau menggembirakan.
c.Perbaikan
Yaitu melakukan langkah-langkah : (a) mengidentifikasi aspek-aspek negatif - berupa kekurangan atau kemandegan, (b)  mengklasifikasi aspek-aspek negatif - menentukan yang ringan dan yang serius, (c) melakukan perbaikan-perbaikan menurut prioritas, dengan mengacu pada hasil penilaian.
d.Peningkatan
Supervisi berupaya memperhankan kondisi-kondisi yang yang telah memuaskan dan bahkan meningkatkannya, karena dilakukan upaya perbaikan melalui proses yang berkesinambungan dan terus menerus.


7.Sasaran Supervisi Akademik

Proses pembelajaran dipengaruhi oleh banyak faktor : guru, peserta didik, kurikulum, alat dan buku pelajaran, serta kondisi lingkungan fisik dan lingkungan sosial. Dalam konteks ini guru merupakan faktor yang paling dominan. Oleh karena itu, supervisi akademik menaruh perhatian utama pada upaya-upaya yang sifatnya memberikan kesempatan kepada guru-guru untuk berkembang secara profesional, sehingga mereka lebih mampu dalam melaksanakan tugas pokoknya, yaitu memperbaiki dan meningkatkan proses dan hasil pembelajaran (Satori (2004 : 4-5). Dengan demikian, masih menurut Satori (2004 : 4-5), dapat ditegaskan bahwa sasaran supervisi akademik adalah :

  a.(Terutama untuk) memberdayakan akuntabilitas profesional guru yang direfleksikan dalam kemampuan-kemampuan :
1).Merencanakan kegiatan pembelajaran (PBM).
2).Melaksanakan kegiatan pembelajaran (PBM).
3).Menilai proses dan hasil pembelajaran.
4).Memanfaatkan hasil penilaian bagi peningkatan layanan pembelajaran.
5).Memberikan umpan balik secara tepat, teratur, dan terus-menerus kepada peserta didik.
6).Melayani peserta didik yang mengalami kesulitan belajar.
7).Menciptakan lingkungan belajar yang menyenangkan.
8).Mengembangkan dan memanfaatkan alat bantu dan media pembelajaran.
9).Memanfaatkan sumber-sumber belajar yang tersedia.
10).Mengembangkan interaksi pembelajaran (strategi, metode, dan teknik) yang tepat.
11).Melakukan penelitian praktis bagi perbaikan pembelajaran.

  b.Menjadikan kepala sekolah dan guru sebagai learning professionals. Yaitu para profesional yang menciptakan budaya belajar dan mereka mau belajar terus menyempurnakan pekerjaannya. Budaya ini memungkinkan terjadinya peluang inovasi dari bawah (bottom-up innovation) dalam proses pembelajaran. Dalam kepentingan ini kepala sekolah menduduki posisi kunci.


8.Tipe Kepemimpinan dalam Supervisi Akademik

Tipe supervisi, termasuk dalam supervisi akademik terkait dengan tipe kepemimpinan supervisor. Burton dan Brueckner dalam Purwanto (2002 : 79-83) dan Arikunto (2004 : 14-19) mengemukakan bahwa berdasarkan tipe kepemimpinan, ada lima tipe supervisi yang dilakukan supervisor, yaitu :
a.Tipe inspeksi
Dalam tipe ini kepala sekolah sebagai supervisor mengawasi secara ketat bagaimana bawahan melaksanakan dan menyelesaikan tugas-tugas yang telah diinstruksikannya, tanpa banyak bermusyawarah. Pengawasan yang mengarah pada penentuan kondite ketaatan bawahan pada atasan ini cenderung mencari kesalahan dan bukan berusaha untuk memberikan bantuan atau bimbingan kepada guru dalam memperbaiki kinerjanya. Supervisi tipe inspeksi dijalankan oleh kepala sekolah yang otokratis.
b.Tipe laisses faire
Berlawanan dengan tipe inspeksi, kepala sekolah yang memilih tipe laisses faire justru hampir tidak melakukan pengawasan, karena membiarkan bawahannya untuk bekerja sekehendaknya tanpa melakukan pembagian tugas dan tanggung jawab yang jelas. Bagi guru tipe ini baik karena mereka mempunyai kebebasan berinisiatif dan berkreasi, namun karena mereka memiliki kemampuan individual yang berbeda maka akibatnya bisa seperti dalam dunia ekonomi. Yang berani menanggung resiko dan kreatif akan maju sendiri sekehendaknya, sehingga persaingan dan perselisihan akibat salah paham tak bisa dihindarkan. Sebaliknya pegawai yang pasif akan merasa terpinggirkan dan malas.
c.Tipe coersive
Tipe ini tidak jauh berbeda dengan tipe inspeksi. Bersifat memaksa atau otoriter. Supervisor menuntut agar yang disupervisi menurut pada apa yang menurutnya baik tanpa memperhatikan kemampuan mereka, bahkan tidak memberi kesempatan bertanya mengapa demikian. Untuk tipe guru yang selalu ragu-ragu akan apa yang harus dilakukannya, misalnya guru baru, sepanjang petunjuknya benar-benar baik, tipe ini masih baik.
d.Tipe training and guidance
Sesuai dengan namanya, supervisi yang dilakukan kepala sekolah dalam tipe ini berupaya memberikan bimbingan dan latihan kepada yang disupervisi. Tipe ini lebih baik karena berlandaskan pada pandangan bahwa pendidikan itu merupakan proses pertumbuhan, perkembangan serta peningkatan, maka supervisi mendorong terjadinya pertumbuhan tersebut dengan memberikan bimbingan dan latihan.
e.Tipe demokratis
Dalam tipe ini supervisi dilakukan secara kolaboratif, ada kerjasama dari semua pihak yang berkepentingan dalam organisasai sekolah. Tanggung jawab tidak sepenuhnya dibebankan pada kepala sekolah, melainkan didistribusikan atau didelegasikan kepada para anggota atau warga sekolah sesuai dengan kemampuan dan keahlian masing-masing.

Menutup bahasan tipe supervisi, Arikunto (2004 : 19) mennyimpulkan bahwa ”Dari berbagai tipe supervisi yang dibicarakan tersebut, masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Tipe manapun yang akan dipilih untuk diterapkan sebetulnya kurang begitu dimasalahkan”. Yang penting, supervisi harus mengikuti prinsip-prinsip supervisi.


9.Prinsip Supervisi Akademik

Berikut adalah prinsip-prinsip supervisi yang diringkas dari pendapat dua orang ahli. Yang pertama, dikemukakan oleh Arikunto (2004 : 19-20) :
a.Supervisi bersifat memberikan bimbingan dan memberikan bantuan kepada guru dan staf sekolah lain untuk mengatasi masalah dan mengatasi kesulitan, bukan mencari kesalahan.
b.Pemberian bantuan dan bimbingan dalam supervisi dilakukan secara langsung, sehingga yang bersangkutan merasakan dan mengatasinya sendiri, tetap percaya diri dan termotivasi.
c.Saran disampaikan sesegera mungkin agar kejadian dan umpan balik masih berkaitan.
d.Kegiatan supervisi sebaiknya dilakukan secara berkala, bukan menurut minat dan kesempatan supervisor.
e.Supervisi dilangsungkan dalam hubungan yang baik dan suasana kemitraan yang akrab.
f.Supervisor mencatat apa yang dilakukan dan ditemukannya untuk dibahas dalam forum yang tepat.

Yang kedua, diringkas dari pendapat Moh. Rifai (Purwanto, 2002 : 117-118), yaitu :
a.Supervisi hendaknya bersifat konstruktif dan kreatif.
b.Supervisi hendaknya didasarkan pada keadaan dan kenyataan sebenarnya.
c.Kegiatan supervisi hendaknya terlaksana dengan sederhana dan informal.
d.Supervisi hendaknya memberikan rasa aman kepada pihak yang disupervisi.
e.Dalam pelaksanaan supervisi hendaknya terjalin hubungan profesional, bukan didasarkan atas hubungan pribadi.
f.Supervisi hendaknya didasarkan atas kemampuan, kesanggupan, kondisi dan sikap pihak yang disupervisi.
g.Supervisi tidak dilaksanakan bersifat memaksa (otoriter).
h.Supervisi tidak didasarkan atas dasar kekuasan pangkat dan jabatan.
i.Supervisi bukanlah inspeksi yang mencari-cari kesalahan.
j.Supervisi hendaknya dilakukan dengan sabar karena memerlukan proses yang kadang-kadang tidak sederhana dan lama.
k.Supervisi hendaknya bersifat preventif, korektif, dan kooperatif.

Kedua pendapat di atas karena berlaku umum, maka untuk supervisi akademik pun masih sesuai.


10.Teknik Supervisi Akademik

Supervisi akademik bisa dilakukan dengan berbagai cara. Secara garis besarnya, cara atau teknik supervisi akademik bisa dikelompokkan menjadi dua, yaitu teknik perseorangan dan teknik kelompok (Arikunto, 2004 :  53 – 57, Purwanto, 2005 : 120 – 123, dan Depdiknas, 2008 a : 18 – 20) :

  a.Teknik individual

Yaitu teknik pemberian bantuan oleh supervisor kepada guru secara individual.
1).Kunjungan kelas (classroom visit)
Kunjungan kelas adalah teknik supervisi yang dilakukan supervisor dengan mengunjungi kelas apa adanya, baik ada guru yang sedang mengajar atau tidak di kelas yang dikunjunginya. Tujuannya hanya untuk melihat situasi pembelajaran atau kelas secara keseluruhan di suatu sekolah. Kunjungan kelas ini bisa dilaksanakan dengan pemberitahuan atau tanpa pemberitahuan terlebih dahulu.
2).Observasi kelas (classroom observation)
Observasi kelas adalah teknik supervisi dengan jalan mengamati proses pembelajaran yang sedang berlangsung. Teknik ini lebih teliti dari teknik kunjungan kelas. Untuk ketelitian pengamatannya, supervisor menggunakan instrumen observasi, antara lain berupa evaluative check-list, activity check-list. Kekurangan yang ditemukan didiskusikan, kemudian diberi saran sehingga dapat membantu guru dalam mengatasinya.
3).Pertemuan Individual
Pertemuan individual adalah satu pertemuan antara supervisor dengan guru dalam rangka meningkatkan kemampuan profesional guru. Bisa diisi dengan wawancara, dialog, dan tukar pikiran.
4).Kunjungan Antar Kelas
Kunjungan antar kelas adalah teknik pembinaan guru dengan cara membawa mereka untuk mengamati proses pembelajaran yang sedang berlangsung dari seorang demonstrator pembelajaran. Biasanya dipilih dari guru yang memiliki kemampuan lebih dalam penggunaan media pembelajaran baru atau metode pembelajaran baru.
5).Menilai Diri Sendiri
Menilai diri sendiri merupakan satu teknik individual dalam supervisi pendidikan yang memberikan kesempatan kepada guru untuk menginformasikan secara obyektif tentang peranannya di kelas, metoda pengajaran yang dipelajarinya untuk mempengaruhi murid, dan mendorong guru untuk mengembangkan kemampuan profesionalnya.

b.Teknik kelompok

Teknik supervisi kelompok adalah satu cara melaksanakan program supervisi yang ditujukan pada dua orang atau lebih. Guru-guru yang diduga, sesuai dengan analisis kebutuhan, memiliki masalah atau kebutuhan atau kelemahan-kelemahan yang sama dikelompokkan atau dikumpulkan menjadi satu atau bersama-sama. Kemudian kepada mereka diberikan layanan supervisi sesuai dengan permasalahan atau kebutuhan yang mereka hadapi. Termasuk ke dalam teknik ini antara lain :
1).Rapat (meeting), diskusi kelompok (group discussion), pertemuan guru (MGMP),
2).Demonstrasi pembelajaran,
3).Penataran (in service training),
4).Seminar,
5).Workshop, dan lain-lain.


11.Supervisi Akademik Kepala Sekolah

Seperti kita ketahui dari pembahasan sebelumnya, supervisi pendidikan merupakan aktivitas yang berfokus pada upaya memperbaiki kondisi-kondisi yang mempengaruhi peningkatan kinerja mengajar guru, dan kinerja belajar siswa dalam rangka meningkatkan mutu proses dan hasil pembelajaran. Intensifikasi supervisi pendidikan mengerucut pada supervisi akademik yang berfokus pada pemberian bantuan atau pelayanan kepada guru-guru agar pelaksanaan kegiatan belajar mengajar dapat berjalan lebih baik dan mampu meningkatkatkan kualitas proses dan hasil pembelajaran.

Sebagai upaya untuk meningkatkan mutu proses dan hasil pembelajaran, maka secara teoritis pelaku supervisi akademik bisa oleh siapa saja. Arikunto misalnya mengemukakan bahwa jika dicari-cari secermatnya, setiap unsur yang ada di tiap sekolah sebagai sebuah lembaga pendidikan, sedikit banyak berkaitan dengan pembelajaran. Dengan demikian, pelakunya bisa pengawas, kepala sekolah, wakil kepala sekolah bidang kurikulum atau akademik, wali kelas, petugas bimbingan dan konseling, pustakawan dan lain-lain. ”Bahkan kalau dilihat dari teori pembelajaran, justru guru itulah yang paling tepat distatuskan sebagai pelaku utama supervisi karena berada di ujung tombak, yang langsung berhubungan dengan siswa yang menjadi subjek garapan supervisi” (Arikunto, 2004 : 752). Namun demikian, pelaku utamanya adalah pengawas dan kepala sekolah, karena yang lainnya difungsikan untuk memperkaya data yang diperlukan oleh keduanya. Mengenai supervisi akademik yang menjadi tugas dua tenaga kependidikan ini, Arikunto memandang bahwa supervisi akademik lebih baik dilakukan oleh kepala sekolah daripada oleh pengawas sekolah mengingat ”. . . kepala sekolah yang lebih dekat dengan sekolah bahkan justru melekat pada kehidupan sekolah . . . , sedang pengawas  yang relatif lebih jarang datang ke sekolah karena jumlah sekolah yang menjadi pembinaannya cukup banyak, . .” (Arikunto, 2004 : 7).

Kepala sekolah, dalam menjalankan tugasnya di sekolah bukan hanya sebagai supervisor semata, lebih dari itu ia adalah administrator atau manajer.  Oleh karena itu, ia tidak hanya harus menjalankan fungsi pengawasan (controlling), tetapi juga harus menjalankan fungsi-fungsi administrasi atau manajemen lain seperti fungsi perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), penggerakkan (actuating), pengkoordinasian (coordinating), dan pengarahan (directing), yang diaplikasikan ke dalam kegiatan manajerial pendidikan di sekolah.

Saat menjalankan fungsi pengawasan (controlling) yang diaplikasikan dalam pendidikan menjadi supervisi pendidikan, kepala sekolah bertindak sebagai supervisor, ”... yaitu mensupervisi pekerjaan yang dilakukan oleh staf. Salah satu bagian pokok dalam supervisi tersebut adalah mensupervisi guru dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran” (Depdikbud, 1999 : 131), yang tak lepas dari atribut administrator atau manajer. Sebagai bagian dari fungsi manajerial kepala sekolah, praktek supervisi akademik terkait dengan perilaku manajerial kepala sekolah - yang menurut Mintberg perilaku manajerial itu terbagi tiga yaitu (1) peran interpersonal, (2) peran informasional, dan (3) peran pengambil keputusan (Luthan, 2002 : 619-620). Pelaksanaan supervisi akademik oleh supervisor yang merangkap manajer akan lebih baik daripada oleh hanya supervisor, karena dalam mensupervisi guru memungkinkan dapat melaksanakan peran-peran manajerial tersebut lebih komprehensif bagi kelancaran dan peningkatan kualitas pendidikan dan pembelajaran di sekolah secara keseluruhan.

Lepas dari siapa yang melaksanakan supervisi akademik, agar hasilnya baik, diterima dan bermanfaat bagi guru dan siswa, supervisi akademik harus mengakomodir prinsip, teknik dan tipe kepemimpinan supervisi yang baik, sehingga mencapai tujuan, fungsi dan sasaran dari supervisi itu sendiri.


12.Dimensi Supervisi Akademik Kepala Sekolah

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 13 Tahun 2007 tentang Standar Kepala Sekolah / Madrasah mensyaratkan kepala sekolah memiliki lima dimensi kompetensi, yaitu kepribadian, manajerial, kewirausahaan, supervisi (akademik) dan sosial.

Dimensi kompetensi supervisi akademik kepala sekolah mencakup:
a.Merencanakan program supervisi akademik dalam rangka peningkatan profesionalisme guru.
b.Melaksanakan supervisi akademik terhadap guru dengan menggunakan pendekatan dan teknik supervisi yang tepat.
c.Menindaklanjuti hasil supervisi akademik terhadap guru dalam rangka peningkatan profesionalisme guru (BSNP, 2007 b).

Pelaksanaan supervisi akademik oleh kepala sekolah merupakan aktualisasi dari ketiga cakupan (sub) dimensi kompetensi supervisi akademik tersebut. Jadi (sub) dimensinya pun sama. Perencanaan program supervisi akademik meliputi tahap penyusunan program supervisi (program tahunan dan program semesteran) dan tahap persiapan, seperti mempersiapkan format / instrumen supervisi, mempersiapkan materi pembinaan / supervisi, mempersiapkan buku catatan, dan mempersiapkan data supervisi / pembinaan sebelumnya.

Pelaksanaan supervisi akademik mengarah pada sasaran yang telah ditetapkan, meliputi langkah-langkah pelaksanaan, seperti tindakan (korektif, preventif, konstruktif, kreatif), observasi, dan refleksi.

Tindak lanjut dari hasil supervisi akademik merupakan upaya pembinaan dan perbaikan dari hasil temuan pada saat supervisi, misalnya yang mengalami kemajuan / peningkatan diberi penghargaan material atau nonmaterial, yang tidak mengalami kemajuan diikutkan dalam pelatihan, workshop, seminar, studi lebih lanjut dan lain-lain (Supardi, Online).

___________


BAB III
METODE PENELITIAN


A.METODE PENELITIAN

”Metode penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu” (Sugiyono, 2006 : 1). Dikatakan cara ilmiah berarti penelitian harus didasarkan pada karakteristik keilmuan, yaitu rasional, empiris dan sistematis, sehingga data yang didapatkan obyektif, reliabel dan valid. Hasilnya berguna untuk memahami dan memecahkan masalah. Enam masalah yang perlu dipecahkan, paralel dengan tujuan pemecahannya telah dirumuskan dalam Bab I. Sebagai cara untuk memecahkan masalah, Sugiyono (2006 : 4 - 20) membagi jenis penelitian (1) menurut tujuannya menjadi penelitian murni dan penelitian terapan, (2) menurut metodenya menjadi penelitian survey, penelitian ex post facto, penelitian eksperimen, penelitian naturalistik, policy research, action research, penelitian evaluasi, dan penelitian sejarah, (3) menurut tingkat eksplanasi menjadi penelitian deskriptif, penelitian komparatif, dan penelitian asosiatif, dan (4) menurut jenis data dan analisisnya menjadi penelitian kuantitatif, penelitian kualitatif dan gabungannya.

Dengan menggunakan visi Sugiyono, maka penelitian yang penulis lakukan dengan judul ”Kontribusi Persepsi Guru tentang Supervisi Akademik Kepala Sekolah dan Motivasi Berprestasi Guru Terhadap Kinerja Mengajar Guru  SMP Negeri di Kabupaten Majalengka” berkarakteristik :
1.Menurut tujuannya, seperti yang dikemukakan pada Bab I, penelitian ini memiliki manfaat atau keguanaan teoritis (murni) dan praktis (terapan). Gay (Sugiyono, 2006 : 6) menyatakan bahwa sebenarnya sulit membedakan antara penelitian murni dan terapan, karena keduanya terletak pada satu garis kontinum.
2.Menurut metode penelitiannya, seperti dikemukakan dam Bab I, penelitian ini  tergolong penelitian survey. Menurut   Kerlinger penelitian survey adalah penelitian yang dilakukan pada populasi dengan mempelajari sampel dari populasi tersebut sehingga ditemukan kejadian-kejadian relatif, distribusi, dan hubungan antar variabel, baik sosiologis maupun variabel psikologis (Sugiyono, 2006 : 7). Menurut David Kline (Sugiyono (2006 : 7) penelitian dengan metode ini pada umumnya dilakukan untuk mengambil suatu generalisasi dari pengamatan yang tidak mendalam. Walaupun tidak memerlukan kelompok kontrol seperti halnya dalam metode penelitian eksperimen, generalisasi yang dilakukan bisa lebih akurat bila sampelnya representatif.
3.Menurut tingkat eksplanasinya, penelitian ini tergolong asosiatif. Menurut Sugiyono (2006 : 11) penelitian asosiatif merupakan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara dua variabel atau lebih. Dengan penelitian ini dapat dibangun suatu teori untuk menjelaskan, meramalkan, dan mengontrol suatu gejala. Sebelum melakukan analisis korelasi antar variabel pada tingkat asosiatif, penelitian ini pun menjelaskan tiap variabelnya secara mandiri berkaitan dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian nomor 1, 2 dan 3 pada Bab I. Dengan demikian tingkat eksplanasi penelitian yang penulis lakukan sekaligus deskriptif, karena penelitian deskriptif adalah penelitian yang dilakukan untuk mengetahui nilai variabel tanpa membandingkan atau menghubungkannya dengan variabel lain (Sugiyono (2006 : 11).
4.Menurut jenis data dan analisisnya, penelitian ini secara umum menggunakan data kuantitatif. Data kuantitatif adalah data yang berbentuk angka atau data kualitatif yang diangkakan (Sugiyono, 2006 : 14). Kuantifikasi pada penelitian ini terjadi saat skoring dalam skala pengukuran alternatif jawaban angket.

Dengan demikian, secara keseluruhan, metode penelitian yang benar untuk  digunakan dalam penelitian ini adalah dengan metode survey.


B.POPULASI DAN SAMPEL PENELITIAN

1.Populasi

”Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek / subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari kemudian ditarik kesimpulannya” (Sugiyono, 2006 : 90).  Sesuai dengan alasan yang dikemukakan dalam Bab I, penulis menetapkan populasi dalam penelitian ini adalah semua guru SMP negeri  di kabupaten Majalengka, baik PNS maupun non PNS. Sampai Juli 2009 ada 63 SMP di kabupaten Majalengka yang telah resmi berstatus negeri. Adapun jumlahnya menurut data yang diperoleh dari Disdikbudpora Kabupaten Majalengka pada bulan Juli 2009, dari ke-63 SMP negeri terdapat 1954 guru, dengan rincian per sekolah terlihat dalam tabel  berikut :

Tabel 3.1.
Populasi Guru SMP Negeri Kabupaten Majalengka





















2.Sampel

Karena populasinya cukup besar (1954 guru), ditambah keterbatasan dana, tenaga dan waktu, penulis memutuskan untuk menggunakan sampel.  ”Sampel adalah bagian dari jumah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi” (Sugiyono, 2006 : 91).

Seperti dikemukakan dalam tinjauan teoritis Bab II bahwa kinerja mengajar guru, motivasi berprestasi guru, dan persepsi guru tentang supervisi akademik kepala sekolah dipengaruhi banyak faktor, baik yang berada di dalam maupun di luar sekolah tempat guru bertugas. Oleh karena itu, dipandang perlu untuk mengelompokkan sekolah menurut kesamaan kondisi atau karakteristik di dalam dan di luarnya.

Pertama, yang dimaksud dengan pengelompokkan berdasarkan karakteristik di dalamnya adalah pengelompokkan atau klasifikasi sekolah menurut kesamaannya dalam kemampuan mengimplementasikan standar nasional pendidikan yang menyangkut kurikulum, proses pembelajaran, kompetensi lulusan, penilaian, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, dan pembiayaan. Dengan kata lain klasifikasi ini didasarkan nilai akreditasi sekolah. Menurut data yang diperoleh bulan Juli 2009 dari UPA (Unit Pelaksana Akreditasi) Kabupaten Majalengka dan Disdikbudpora Kabupaten Majalengka, semua SMP negeri (63 sekolah) di kabupaten Majalengka sudah diakreditasi, dengan nilai A dan B. Klasifikasi menurut nilai akreditasi yang diperolehnya adalah sebagai berikut :

Tabel 3.2.
Klasifikasi SMP Negeri Kabupaten Majalengka Menurut Nilai Akreditasi





















Kedua, yang dimaksud dengan pengelompokkan menurut karakteristik di luar sekolah adalah klasifikasi menurut kondisi daerah tempat sekolah berada, yang didasarkan pada (1) aksesibilitas  guru ke tempat kerjanya (ketersediaan jalan, dan alat transportasi umum), dan (2) dukungan sarana-prasarana penunjang pembelajaran (toko buku, ATK, layanan fotocopy, dll.). Berdasarkan hasil diskusi dengan pengawas satuan pendidikan menengah (SMP, SMA dan SMK) Disdikbudpora kabupaten Majalengka, diperoleh klasifikasi SMP negeri Kabupaten Majalengka menurut kondisi ”tempat tinggalnya”, sebagai berikut :

Tabel 3.3.
Klasifikasi SMP Negeri Kabupaten Majalengka Menurut Kondisi Daerah



















Dengan mengkombinasikan dua strata nilai akrediasi (A dan B) dengan tiga strata kondisi daerah (kota, transisi, desa), didapat enam kelompok strata, yaitu :

Tabel 3.4.
Kelompok Stratum dan Jumlah Gurunya





















Agar sampel yang diambil dari populasi itu benar-benar representatif dan dapat meminimalisir sampling error, pengambilan sampel harus dilakukan dengan teknik sampling yang sesuai dengan karakteristik populasi.

Teknik sampling pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu probability sampling dan nonprobability sampling. Probability sampling meliputi : simple random sampling, proportionate stratified random sampling, disproportione stratified random sampling, dan area (cluster)  random sampling. Sedangkan  nonprobability sampling meliputi : sampling sistematis, sampling kuota, sampling aksidental, purposive sampling, sampling jenuh dan snowball sampling (Sugiyono, 2006 : 93).

Dengan karakteristik sekolah tempat guru bekerja yang berstrata seperti dijelaskan di atas, maka pengambilan sampelnya menggunakan teknik proportionate stratified sampling. Penarikan sampel dengan teknik tersebut dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut :

1.Menghitung sampel keseluruhan dengan rumus Taro Yamane, yang digunakan untuk menghitung sampel dari populasi yang sudah diketahui jumlahnya  n=N/(N.d^2+1).N = jumlah populasi,dan d =  tingkat presisi. Dengan N = 1954 dan presisi sebesar 5%, maka sampel keseluruhannya adalah : n=1954/([1954 x 〖(0,05)〗^2]+1) = 1954/((1954 x 0,0025)+1) = 1954/((4,885)+1) =1954/(5,885 ) = 332,0306 ≈ 333 guru atau responden.                                                     

2.Menghitung sampel per stratum
Dengan menggunakan rumus n_i=N_1/N n.
ni    =  jumlah sampel proporsional per stratum
Ni   =  jumlah populasi per stratum
N    =  jumlah populasi
n     =  jumlah sampel keseluruhan
(Riduwan dan Akdon, 2007 : 250 - 255, Riduwan dan Kuncoro, 2007 : 49).

Hasilnya terlihat dalam tabel berikut :

Tabel 3.5.
Sampel Per Stratum


















3.Menghitung sampel per sekolah

Karena jumlah guru tiap sekolah tidak merata, maka untuk menentukan sekolah yang gurunya jadi sampel, dilakukan pengundian sekolah untuk tiap stratum sampai jumlah guru dari sekolah-sekolah tersebut memenuhi jumlah sampel stratum terkait. Jika sampel suatu stratum tercukupi oleh satu sekolah terundi, dengan jumlah guru yang sesuai maka jumlah itu yang digunakan, jika lebih maka sisanya tak diambil. Jika sampel suatu stratum baru tercukupi oleh lebih dari satu sekolah terundi, dan jumlah keseluruhannya lebih dari sampel stratum tersebut, maka  jumlah sampel tiap sekolah terundi dari stratum  tersebut  diperhitungkan  secara  proporsional  dengan  rumus  n_i=N_1/N n.
ni   =  jumlah sampel proporsional per sekolah
Ni  =  jumlah guru satu sekolah
N   =  jumlah guru dari sekolah terundi dalam satu stratum
n    =  jumlah sampel per stratum

Hasil pengundian, dan sampel guru per sekolah terundi sesuai hitungan rumus tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut :

Tabel 3.6.
Sampel Per Sekolah Terundi




















Untuk kepentingan analisis lebih lanjut yang berkaitan dengan karakteristik guru (jenis kelamin, tingkat pendidikan, mata pelajaran, staus kepegawaian, masa kerja, dan pangkat / golongan gaji), angket akan disebar ke semua jumlah guru SMP negeri terundi, yaitu sebanyak 414 guru.


C.TEKNIK PENGUMPULAN DATA

Untuk keperluan pengumpulan data, penulis menggunakan teknik-teknik berikut :

1.Studi Dokumenter
Studi dokumenter diartikan sebagai usaha untuk memperoleh data dengan jalan menelaah catatan-catatan yang disimpan sebagai dokumen atau files. Teknik ini ditempuh untuk memperoleh data-data mengenai jumlah guru dan nilai akreditasi SMP negeri di kabupaten Majalengka.

2.Studi Pustaka
Studi pustaka diartikan sebagai teknik untuk memperoleh data atau informasi dari berbagai tulisan ilmiah baik cetak maupun elektronik yang menunjang penelitian dan bahasan tesis ini. Teknik ini ditempuh untuk memperoleh pengetahuan yang mendalam mengenai masalah yang diteliti, terutama dalam menentukan arah, metoda dan landasan teoritis penelitian.

3.Wawancara
Wawancara atau lebih tepatnya diskusi diartikan untuk memperoleh data secara face to face dengan orang yang mengetahui informasi yang diperlukan. Yang dalam hal ini adalah para Pengawas Dikmen Disdikbudpora Kabupaten Majalengka. Dikatakan diskusi karena penulis sendiri merupakan pengawas dari unit kerja tersebut, ikut terlibat mengajukan pendapat. Teknik ini ditempuh untuk mendapatkan data mengenai kondisi daerah tempat sekolah berada dalam rangka stratifikasi populasi, mengingat belum ada pemetaan sekolah (SMP) menurut kondisi daerahnya.

4.Angket (Kuesioner)
Kuesioner atau angket pada dasarnya adalah suatu daftar pertanyaan yang disusun secara tertulis untuk diisi responden. Ditinjau dari cara menjawabnya, angket dibagi dua, yaitu angket terbuka dan angket tertutup. Angket terbuka adalah angket yang disusun sedemikian rupa sehingga responden bebas mengemukakan pendapatnya atau jawabannya, sedangkan angket tertutup adalah angket yang disusun dengan menyediakan pilihan jawaban sehingga responden tinggal menadai salah satu pilihan yang paling sesuai dengan pendapat atau keadaannya. Dalam penelitian ini digunakan hanya angket tertutup. Teknik ini ditempuh untuk mengukur variabel penelitian.
Berbeda dengan teknik pengumpulan data pertama, kedua dan ketiga yang tidak memerlukan persiapan yang berarti, teknik pengumpulan data yang ketiga yaitu angket, memerlukan serangkaian kegiatan untuk menyusunnya sampai bisa digunakan sebagai instrumen penelitian.


D.PENYUSUNAN ANGKET

Angket dalam penelitian ini merupakan instrumen penelitian yang utama. Sebagai alat ukur variabel, sesuai dengan jumlah variabelnya penelitian ini menggunakan tiga angket. Ketiga angket merupakan angket tertutup yang diformat menjadi dua bagian namun disajikan kepada responden dalam kemasan satu set.

Bagian pertama adalah item (pernyataan) yang berupa perilaku hasil penjabaran dari variabel. Untuk keperluan ini, terlebih dahulu melakukan langkah-langkah (1) identifikasi variabel-variabel yang terdapat dalam judul penelitian, (2) penjabaran variabel menjadi sub-sub variabel atau dimensi-dimensi, (3) penjabaran sub variabel atau dimensi menjadi indikator-indikator, (4) penjabaran indikator menjadi deskriptor-deskriptor, dan (5) perumusan deskriptor menjadi item atau butir-butir instrumen (Riduwan, 2007 b : 32 - 55). Butir-butir instrumen tersebut merupakan operasionalisasi spesifikasi atau operasionalisasi dari teori masing-masing variabel yang diuraikan pada Bab II, dan telah didefinisikan secara operasional sampai pada dimensi dan indikatornya pada Bab I.

Bagian kedua adalah jawaban terhadap item angket (bagian satu), yang tak lain merupakan skala untuk mengukur item. Skala pengukuran ”merupakan kesepakatan yang digunakan sebagai acuan untuk menentukan panjang pendeknya interval yang ada dalam alat ukur, sehingga alat ukur tersebut bila digunakan dalam pengukuran akan menghasilkan data kuantitatif” (Sugiyono, 2006 : 105).

Terdapat beberapa skala pengukuran, antara lain : skala nominal yang akan menghasilkan data nominal, skala ordinal yang akan menghasilkan data ordinal, skala interval yang akan menghasilkan data interval, dan skala rasio yang akan menghasilkan data rasio (Sugiyono, 2006 : 106).

Riduwan dan Akdon (2007 : 11 - 15) menjelaskan keempat sekala tersebut. Menurut mereka, skala nominal adalah skala yang paling sederhana, disusun berdasarkan jenis atau katagori. Contoh data nominal, misalnya katagori warna kulit : 1 hitam, 2. kuning, dan 3. putih. Angka dalam skala nominal hanya simbol bilangan untuk membedakan satu karakteristik dengan karakteristik lainnya. Skala ordinal adalah skala yang didasarkan pada ranking, diurutkan dari peringkat tertingi sampai terendah atau sebaliknya. Contoh data ordinal misalnya data mengenai kejuaraan olah raga, kepangkatan militer dan sebagainya. Skala interval adalah skala yang menunjukkan jarak antara satu data dengan data lain dengan bobot yang sama. Misalnya mengenai waktu : menit, jam, hari. Kemudian skor ujian : A, B, C dan D. Ada jarak dari skor berapa sampai skor berapa yang tergolong A, dan seterusnya. Skala rasio adalah skala pengukuran yang mempunyai nilai nol mutlak (tidak pernah negatif) dan mempunyai jarak yang sama. Misalnya mengenai umur dan timbangan. Berkaitan dengan analisis statistik, data nominal dan data ordinal dianalisis dengan statistik non parametrik, sedangkan data interval dan data rasio dianalisis dengan statistik parametrik.

Untuk mengukur gejala sosial, yang terdiri dari (1) perilaku dan kepribadian, dan (2) aspek budaya dan lingkungan sosial, lebih banyak menggunakan skala interval. Sesuai dengan variabel yang akan diukur, yaitu  berupa perilaku manusia dalam organisasi sekolah, penelitian ini menggunakan skala interval. Menurut Sugiyono (2006 : 106), skala interval yang sering digunakan dalam mengukur perilaku sosial dan kepribadian adalah skala sikap, skala moral, skala partisipasi sosial, dan tes karakter (Sugiyono, 2006 : 106). Dalam penelitian ini digunakan skala sikap. Skala sikap yang banyak dikenal antara lain (1) skala Likert, (2) skala Guttman, (3) skala semantic differential, (4) rating scale, dan (5) skala Thurstone (Sugiyono, 2006 : 107, Riduan dan Akdon, 2007 : 16).

Berkaitan dengan aneka jenis skala sikap, jawaban yang disediakan dalam instrumen penelitian ini mengikuti skala Likert.  ”Jawaban setiap instrumen yang menggunakan skala Likert mempunyai gradasi dari sangat positif sampai sangat negatif” (Sugiyono, 2006 : 107). Dalam hal ini, penulis menyusunnya berdasarkan frekuensi. Terdiri dari lima opsi kontinum (gradasi), bergerak dari frekuensi tinggi ke frekuensi rendah untuk dipilih responden (guru) :  (1) SS = Sangat Sering, (2) S = Sering, (3) KK = Kadang-Kadang, (4) J = Jarang, dan (5) TP = Tidak Pernah.

Adapun kisi-kisi angket, sesuai dengan variabel yang diukurnya adalah sebagai berikut :

1.Kisi-kisi Angket Persepsi Guru tentang Supervisi Akademik Kepala Sekolah

Tabel 3.7.
Kisi-kisi Angket  Persepsi Guru tentang Supervisi Akademik Kepala Sekolah





















2.Kisi-kisi Angket  Motivasi Berprestasi Guru

Tabel 3.8.
Kisi-kisi Angket  Motivasi Berprestasi Guru


















3.Kisi-kisi Angket  Kinerja Mengajar Guru

Tabel 3.9
Kisi-kisi Angket  Kinerja Mengajar Guru

















(bersambung)















E.PENGUMPULAN DATA


1.Penyebaran Angket Uji Coba

Dengan mengantongi surat dari Direktur SPS UPI Bandung Nomor : 026 / H40.7 / PL / 2009 tanggal 06 Januari 2009 perihal permohonan izin mengadakan studi lapangan / penelitian (Lampiran 11), dan Surat Izin Kepala Disdikbudpora Kabupaten Majalengka Nomor : 070 / 162 Disdikbudpora tentang survey, riset dan penelitian,  tanggal 14 Januari 2009 (Lampiran 12), pada pertengahan bulan Juli 2009 penulis melakukan penyebaran angket ujicoba ke 30 responden di SMPN 1 Panyingkiran.

  
2.Jawaban Responden Angket Uji Coba

Untuk kepentingan analisis, jawaban kualitatif ketigapuluh responden terhadap angket uji coba dikuantifikasi. SS (Sangat Sering) = 5, S (Sering) = 4, KK (Kadang-Kadang) = 3, J (Jarang) = 2, dan TP (Tidak Pernah) = 1. Hasilnya bisa dilihat pada Daftar Jawaban Responden Angket Uji Coba pada Lampiran 1.


3.Uji Validitas dan Reliabilitas Angket Uji Coba

Untuk pengujian validitas dan reliabilitas, SPSS 12 (Pratisto, 2005 : 241 - 257) menawarkan repetitive measuremen method dan one shot method. Penulis memilih one shot method (internal consistency), yang di dalamnya untuk pengujian validitas menggunakan korelasi Pearson Product Moment (Sugiyono, 2006 : 142) : rxy=Σxy/√(〖(Σx〗^2)〖(Σy〗^2)).

rxy = korelasi antara skor item dengan skor total yang sekaligus menyatakan validitas item
x   = nilai rata-rata skor total dikurangi skor total
y   = nilai rata-rata skor item dikurangi skor item

dan untuk reliabilitas menggunakan metode Alpha  (Cronbach) :
r_11= (k/(k-1))(1-(ΣS_i)/S_t )
S_i = (∑▒X_i^2 - 〖(∑▒X_i _i)〗^2/N)/N
ΣSi = S1+S2+S3 . . . Sn

r11                             =  nilai reliabilitas
ΣSi                             =  jumlah varians skor tiap-tiap item
St                               =  varians total
k                                =  jumlah item
Si                               =  varians skor tiap item
∑▒X_i^2                   =  jumlah kuadrat item Xi
〖(〖∑X〗_i)〗^2      =  jumlah item Xi dikuadratkan
N                               =  jumlah responden
ΣSi                             =  jumlah varians semua item
S1+S2+S3 . . . Sn      =  varians item ke-1, ke-2, ke-3, ke-n  (Riduwan, 2007 a : 125).

Penghitungan dengan SPSS 12 dilakukan melalui langkah-langkah seperti berikut ini :
1.Memasukan jawaban responden (angket uji coba) yang ada pada Lampiran 1 ke dalam  halaman kerja SPSS. (Tiap varibel diproses sampai langkah lima),
2.Mengklik menu Analize, pilih Scale, Reliability, sehingga membuka tab Reliability Analysis,
3.Menindahkan semua item instrumen ke kolom Item, pada kotak Model memilih Alpha (Alpha Cronbach),
4.Mengklik Statistic sehingga membuka tab Reliability Analysis : Statistic, kemudian mengklik Item, Scale, dan Scale of deleted pada bagian Descriptives.
5.Mengklik Continue, lalu mengklik OK (Pratisto, 2005 : 249 - 257).

Hasilnya per variabel adalah sebagai berikut :

a.Angket Persepsi Guru tentang Supervisi Akademik Kepala Sekolah (X1)
1).Output






































2).Interpretasi
r hitung dapat dilihat pada kolom Corrected Item-Total Correlation pada tabel Item-Total Statistics. r tabel pada α = 0,05 dengan derajat kebebasan df = 21 (df = n-2 = 23 -2 = 21), pada uji satu arah = 0,2774. Jika r hitung positif dan r hitung > r tabel maka butir tersebut valid. Jika r hitung negatif atau r hitung < r tabel maka butir tersebut tidak valid.

3).Validitas

Tabel 3.10.
Validitas Item-item Angket Persepsi Guru tentang Supervisi Akademik Kepala Sekolah




















4).Reliabilitas
Koefisien reliabilitas tiap item dapat dilihat pada kolom Cronbach's Alpha if Item Deleted pada tabel Item-Total Statistics. Untuk menentukan reliabilitas, terlebih dahulu harus membuang nomor item yang tidak valid, kemudian dilakukan proses penghitungan ulang, dengan hanya melibatkan nomor-nomr item yang valid. Karena dari ke-23 item semuanya valid, maka proses tersebut tak usah dilakukan. Kemudian jika r Alpha positif dan r Alpha > r tabel maka reliabel. Jika r Alpha negatif atau r Alpha < r tabel maka tidak reliabel. r Alpha merupakan perhitungan akhir analisis koefisien reliabilitas yang dapat dilihat pada kolom Cronbach's Alpha tabel Reliability Statistics, yaitu sebesar 0,973. Angka ini menunjukan positif dan lebih besar dari r tabel (0,2774). Jadi angket ini reliabel.

5).Kesimpulan
Angket Persepsi Guru tentang Supervisi Akademik Kepala Sekolah sebanyak 23 item valid dan reliabel, tak perlu direvisi dan layak digunakan untuk penelitian.

b.Angket Motivasi Berprestasi Guru (X2)
1).Output






































2).Interpretasi
r hitung dapat dilihat pada kolom Corrected Item-Total Correlation pada tabel Item-Total Statistics. r tabel pada α = 0,05 dengan derajat kebebasan df = 22 (df = n-2 = 24 -2 = 22), pada uji satu arah = 0,2711. Jika r hitung positif dan r hitung > r tabel maka butir tersebut valid. Jika r hitung negatif atau r hitung < r tabel maka butir tersebut tidak valid.

3).Validitas

Tabel 3.11.
Validitas Item-item Angket Motivasi Berprestasi Guru 1


















4).Reliabilitas
Koefisien reliabilitas tiap item dapat dilihat pada kolom Cronbach's Alpha if Item Deleted pada tabel Item-Total Statistics. Untuk menentukan reliabilitas, terlebih dahulu harus membuang nomor item yang tidak valid. 24 - 3 = 21 item. Kemudian dilakukan proses penghitungan ulang, dengan hanya melibatkan nomor-nomor item yang valid. Hasilnya :






































r hitung dapat dilihat pada kolom Corrected Item-Total Correlation pada tabel Item-Total Statistics. r tabel pada α = 0,05 dengan derajat kebebasan df = n-2 = 23 -2 = 21, pada uji satu arah = 0,2774. Jika r hitung positif dan r hitung > r tabel maka butir tersebut valid. Jika r hitung negatif atau r hitung < r tabel maka butir tersebut tidak valid. Validitasnya :

Tabel 3.12.
Validitas Item-item Angket Motivasi Berprestasi Guru 2





















Ke-21 item yang dihitung ulang tersebut semuanya valid. Kemudian jika r Alpha positif dan r Alpha > r tabel maka reliabel. Jika r Alpha negatif atau r Alpha < r tabel maka tidak reliabel. r Alpha merupakan perhitungan akhir analisis koefisien reliabilitas yang dapat dilihat pada kolom Cronbach's Alpha tabel Reliability Statistics, yaitu sebesar 0,907. Angka ini menunjukan positif dan lebih besar dari r tabel (0,2774). Jadi dengan membuang nomor item 20, 21 dan 22 angket ini menjadi reliabel.

5).Kesimpulan
Angket Motivasi Berprestasi Guru sebanyak 24 item tidak valid 3 nomor yaitu nomor 20, 21, dan 22. Perlu direvisi dengan membuang nomor item yang tidak valid agar layak digunakan untuk penelitian.

c.Angket Kinerja Mengajar Guru (Y)
1).Output

























(bersambung)

































(bersambung)






















2).Interpretasi
r hitung dapat dilihat pada kolom Corrected Item-Total Correlation pada tabel Item-Total Statistics. r tabel pada α = 0,05 dengan derajat kebebasan df = 70 (df = n-2 = 72 - 2 = 70), pada uji satu arah = 0,1528. Jika r hitung positif dan r hitung > r tabel maka butir tersebut valid. Jika r hitung negatif atau r hitung < r tabel maka butir tersebut tidak valid.

3).Validitas

Tabel 3.13.
Validitas Item-item Angket Kinerja Mengajar Guru

















(bersambung)
















(bersambung)

















4).Reliabilitas
Koefisien reliabilitas tiap item dapat dilihat pada kolom Cronbach's Alpha if Item Deleted pada tabel Item-Total Statistics. Untuk menentukan reliabilitas, terlebih dahulu harus membuang nomor item yang tidak valid, kemudian dilakukan proses penghitungan ulang, dengan hanya melibatkan nomor-nomr item yang valid. Karena dari ke-72 item semuanya valid, maka proses tersebut tak usah dilakukan. Kemudian jika r Alpha positif dan r Alpha > r tabel maka reliabel. Jika r Alpha negatif atau r Alpha < r tabel maka tidak reliabel. r Alpha merupakan perhitungan akhir analisis koefisien reliabilitas yang dapat dilihat pada kolom Cronbach's Alpha tabel Reliability Statistics, yaitu sebesar 0,989. Angka ini menunjukan positif dan lebih besar dari r tabel (0,1528). Jadi angket ini reliabel.

5).Kesimpulan
Angket Kinerja Mengajar Guru sebanyak 72 item valid dan reliabel, tidak memerlukan revisi dan layak digunakan untuk penelitian.


4.Revisi Angket

Dengan memperhatiakan hasil pengujian validitas dan reliabilitas, maka item yang tidak valid hanya ada pada variabel motivasi berprestasi guru, yaitu nomor dan bunyinya sebagai berikut :






Item-item tersebut dibuang, kemudian penomorannya diurut ulang. Pengurangan dan penomorannya dapat dilihat dalam tabel berikut:

Tabel 3.14.
Pengurangan dan Penomoran Ulang Angket Hasil Revisi













Ketiga angket dari masing-masing variabel dirangkai menjadi satu perangkat dan dijadikan instrumen penelitian (angket) jadi. Hasilnya dimuat dalam Lampiran 2.


5.Penyebaran Angket Jadi dan Penggunaannya untuk Pengumpulan Data

Penyebaran angket ke semua guru pada 13 SMP negeri yang terundi sebagai sampel (414 guru) dilakukan pada tanggal 28 - 30 Juli 2009. Karena (1) tiap guru memiliki jadwal (hari) mengajar yang berbeda-beda sehingga tidak memungkinkan mereka kumpul dalam satu hari, (2) kesibukan kolektor angket yaitu salah seorang guru - umumnya Pembantu Kepala Sekolah (PKS) bidang kurikulum, yang ditunjuk kepala sekolah tiap SMP negeri sampel, (3) lokasi SMP negeri sampel yang berjauhan, sehingga tak dapat dijangkau dalam hari yang sama, dan (4) beberapa SMP negeri sampel (SMPN 3 Majalengka, SMPN 2 Jatiwangi, SMPN 2 Dawuan, dan SMPN 1 Rajagaluh sedang mempersiapkan kegiatan akreditasi, akreditasinya sendiri berlangsung pada tanggal 3 - 13 Agustus 2009, (5) kegiatan Harlah Pramuka 14 Agustus 2009 yang melibatkan guru-guru pembina ekstrakurikuler pramuka tidak hadir di sekolah karena berkemah di tempat lain, (6) kegiatan upacara HUT RI ke-64 dan lomba-lomba 17 Agustusan, maka pengumpulan kembali angket yang diharapkan selesai dalam waktu seminggu tidak tercapai. Setelah berkali-kali menghubungi guru yang jadi kolektor angket dan mendatangi tiap sekolah sampel, penulis menyudahi upaya itu tanggal 19 Agustus 2009, sebelum libur awal Ramadhan (20 - 31 Agustus 2009). Sampai tanggal tersebut angket yang terkumpul kurang dari yang disebarkan karena (1) adanya guru yang sedang cuti hamil dan melahirkan, (2) sakit, (3) penataran, (4) tak mengembalikan (lupa, hilang, dll.). Dari yang terkumpul tidak semuanya bisa digunakan, karena (1) sebagian adalah angket yang diisi guru BK (bimbingan dan konseling) yang tidak mengajarkan mata pelajaran tertentu sehingga tidak relevan dengan variabel Y, (2) ada halaman angket lepas, (3) angket yang tidak diisi dengan lengkap, dalam hal ini ada yang tidak mengisi sebagian jawaban, dan ada yang tidak mengisi bagian identitas. Yang mengejutkan, sebagian guru (21 guru dari SMPN 3 Majalengka) menolak untuk mengisi identitas responden dengan alasan karena penelitinya (penulis) adalah pengawas sekolah, takut disangkut-pautkan dengan kelangsungan karir mereka. Penulis menjelaskan bahwa penelitian ini murni untuk studi akademik dan bebas dari sanksi kedinasan, namun sebagian kecil (6 guru) tetap tidak menerima, sehingga angket tanpa identitas tersebut tidak bisa digunakan untuk analisis deskriptif. Rekapitulasi jumlah angket yang disebar, terkumpul dan dapat digunakan adalah sebagai berikut :

Tabel 3.15.
Rekapitulasi Jumlah Angket yang Disebar, yang Terkumpuldan yang Dapat Digunakan














Dibandingkan dengan hasil teknik proportionate stratified sampling yang berjumlah 333 guru, angket yang dapat digunakan adalah 359 eksemplar, dan jumlah angket dari masing-masing sekolah sampel tersebut tidak kurang dari jumlah guru sampel proporsional per sekolah. Dibuang sayang dan demi menjaring data yang merepresentasikan semua karakteristik responden, terutama mewakili semua mata pelajaran yang diajarkan di SMP, maka yang digunakan untuk kepentingan analisis selanjutnya adalah semua angket yang dapat digunakan, yaitu sebanyak 359 eksemplar.


F.ANALISIS DATA

Data yang telah terkumpul dianalisis secara manual (termasuk dengan kalkulator) dan dengan bantuan program aplikasi komputer. Program aplikasi yang dimaksud adalah Microsoft Office Excel 2007 (Erhans, 2003 : 119 - 218, Rosari, 2007 : 189 - 257), dan  Statistical Product and Service Solution (SPSS) 12 (Pratisto, 2005).

Analisis data disesuaikan dengan rumusan masalah yang telah dikemukakan dalam Bab I. Data yang terkait dengan rumusan masalah nomor 1, 2 dan 3 dianalisis dengan  menggunakan statistik deskriptif, yaitu statistik yang digunakan untuk mendekripsikan atau memberi gambaran obyek yang diteliti melalui data sampel atau populasi sebagaimana adanya, tanpa melalukan analisis dan kesimpulan yang berlaku untuk umum (Sugiyono, 2007 : 12, 21 - 54). Analisisnya meliputi penjelasan kelompok mean (Weighted Mean Scored / WMS) dan prosentase dengan visualisasi berupa tabel dan diagram.

Data yang terkait dengan rumusan masalah nomor 4, 5 dan 6  dianalisis dengan menggunakan statistik inferensial, yaitu statistik yang digunakan untuk membuat generalisasi populasi dari data sampel. Berdasarkan normalitas data, statistik inferensial dibagi dua, yaitu statistik parametrik (untuk menganalisis data yang berdistribusi normal, dan terutama dari jenis data interval dan rasio), dan statistik nonparametris (untuk menganalisis data yang bebas distribusi, baik  normal atau tidak normal, dan terutama dari jenis data nominal dan ordinal) (Sugiyono, 2007 : 12).


1.Kuantifikasi Jawaban Responden

Kuantifikasi jawaban responden dilakukan karena jawaban responden masih berupa data kualitatif, sehingga sukar dianalisis menurut statistik. Kuantifikasinya sebagai berikut : SS (Sangat Sering) =  5, S (Sering) =   4, KK (Kadang-Kadang) = 3, J (Jarang) =  2, dan TP (Tidak Pernah) = 1. Hasil kuantifikasi jawaban seluruh responden dimuat dalam Daftar Jawaban Responden (Lampiran 3). Sedangkan karakteristik responden dimuat dalam Deskripsi Karakteristik Responden (359 Guru) (Lampiran 4).


2.Katagorisasi Jumlah Skor Jawaban Responden

Katagorisasi jumlah skor jawaban responden dilakukan untuk menentukan kadar atau kondisi item, indikator, dimensi dan variabel yang diteliti dalam penelitian ini. Setiap jumlah skor yang dicapai dianalisis dengan perhitungan rata-rata WMS (Weighted Mean Score) :









(Wikipedia, Online).


Kadar atau kondisinya sendiri dikatagorikan ke dalam lima kadar atau kondisi berdasarkan lima kelas interval nilai kuantifikasi, seperti dalam tabel berikut :

Tabel 3.16.
Katagori Kondisi Skor Jawaban Responden







3.Uji Normalitas Sebaran Data

Untuk mengetahui normalitas sebaran data digunakan rumus Chi Kuadrat (χ2) (Sugiyono, 2007 : 69 - 80). Jika hasil perhitungan dengan rumus tersebut menunjukkan sebaran data yang normal, maka hipotesis dalam penelitian ini yang diuji dengan analisis korelasi statistik parametrik Pearson Product Moment sederhana (r) dan ganda (R) (Sugiyono, 2007 : 18, 209 - 220, dan Riduwan dan Kuncoro, 2007 : 61 - 82), kemudian dilanjutkan dengan analisis regresi yang berguna untuk memprediksi secara individual berapa besarnya variabel dependen dengan mengetahui besarnya variabel independennya atau sebaliknya (Sugiyono, 2007 : 243 - 265 , dan Riduwan dan Kuncoro, 2007 : 83 - 126). Tetapi, jika sebaran datanya ternyata tidak normal, maka hipotesis akan diuji dengan analisis korelasi statistik nonparametrik sederhana Kendall Tau (τ) dan multiple Moran (M) (Sugiyono, 2007 : 18, 237 - 240, dan Bobke, Online).

Rumus Chi Kuadrat adalah : χ^2= (f_o-f_h )^2/f_h  , di mana fo = frekuensi / jumlah data hasil observasi, dan fh = frekuensi / jumlah yang diharapkan, yaitu prosentase luas tiap bidang dikalikan dengan n (Sugiyono, 2007 : 69 - 80). Jika χ2 hitung ≤ χ2 tabel  maka data tersebut normal, jika χ2 hitung ≥ χ2 tabel  maka data tersebut tidak normal. Langkah-langkah dalam menghitung χ2 adalah sebagai berikut :
a.Menentukan kelas interval, yang untuk untuk pengujian normalitas ditetapkan sebanyak enam kelas sesuai dengan jumlah bidang yang ada pada kurva normal baku (tiga bidang di atas mean : 2,7% ; 13,53% ; 34,13% dan tiga bidang di bawah mean : 34,13% ; 13,53% ; 2,7%) (Sugiyono, 2007 : 78).
b.Menentukan panjang kelas (PK) interval. PK= (Data terbesar-data terkecil)/(Jumlah kelas interval) . Bagian ini dilakukan per data variabel.
c.Menghitung fh, yang didasarkan atas luas tiap bidang kurva normal dikalikan jumlah data hasil observasi (fo) atau jumlah responden (359) :
  1)Baris ke-1 : 2,7% x 359         = 9,69 dibulatkan menjadi 9,5.
  2)Baris ke-2 : 13,53% x 359     = 48,57 dibulatkan menjadi 48.
  3)Baris ke-3 : 34,13% x 359     = 122,53 dibulatkan menjadi 122.
  4)Baris ke-4 : 34,13% x 359     = 122,53 dibulatkan menjadi 122.
  5)Baris ke-5 : 13,53% x 359     = 48,57 dibulatkan menjadi 48.
  6)Baris ke-6 : 2,7% x 359         = 9,69 dibulatkan menjadi 9,5.
d.Menguji normalitas sebaran data per variabel :
  1)Uji Normalitas Data Persepsi Guru tentang Supervisi Akademik Kepala Sekolah
    Dengan memeriksa Lampiran 3 Daftar Jawaban Responden, pada bagian variabel persepsi guru tentang supervisi akademik kepala sekolah (Lampiran 3 A) diketahui bahwa data terbesar adalah 115, dan data terkecil adalah 23. Jadi PK = 115 - 23 : 6 = 15,33. Karena dengan 15 tak mencapai 115, maka diambil 16. Kemudian membuat tabel distribusi yang berfungsi sebagai penolong dalam menghitung χ2 sebagai berikut :

    Tabel 3.17.
    Penolong untuk Menghitung χ2 Variabel Persepsi Guru tentang Supervisi Akademik Kepala Sekolah









    χ2 tabel untuk derajat kebebasan (dk) = jumlah kelas interval - 1 = 5, dengan kesalahan 5% adalah 11,07. Jadi χ2 hitung (176,29) ≥ χ2 tabel (11,07). Dengan demikian sebaran data variabel persepsi guru tentang supervisi akademik kepala sekolah tidak normal.
  2)Uji Normalitas Variabel Motivasi Berprestasi Guru
    Dengan memeriksa Lampiran 3 Daftar Jawaban Responden, pada bagian motivasi berprestasi guru (Lampiran 3 B) diketahui bahwa data terbesar adalah 105, dan data terkecil adalah 50. Jadi PK = 105 - 50 : 6 = 9,17. Karena dengan 9 tak mencapai 105, maka diambil 10. Tabel distribusi yang berfungsi sebagai penolong dalam menghitung χ2 adalah sebagai berikut :
  
    Tabel 3.18.
    Penolong untuk Menghitung χ2 Variabel Motivasi Berprestasi Guru









    χ2 tabel untuk derajat kebebasan (dk) = jumlah kelas interval - 1 = 5, dengan kesalahan 5% adalah 11,07. Jadi χ2 hitung (12,5) ≥ χ2 tabel (11,07). Dengan demikian sebaran data variabel motivasi berprestasi guru tidak normal.
  3)Uji Normalitas Variabel Kinerja Mengajar Guru
    Dengan langkah yang sama dan dengan memeriksa Lampiran 3 Daftar Jawaban Responden, pada bagian kinerja mengajar guru (Lampiran 3 C) diketahui bahwa data terbesar adalah 360 dan data terkecil adalah 200. Jadi PK = 360 - 200 : 6 = 26,67. Karena dengan 26 tak mencapai 360, maka diambil 27. Tabel distribusi yang berfungsi sebagai penolong dalam menghitung χ2 adalah sebagai berikut :

    Tabel 3.19.
    Penolong untuk Menghitung χ2 Variabel Kinerja Mengajar Guru









    χ2 tabel untuk derajat kebebasan (dk) = jumlah kelas interval - 1 = 5, dengan kesalahan 5% adalah 11,07. Jadi χ2 hitung (251,25) ≥ χ2 tabel (11,07). Dengan demikian sebaran data variabel kinerja mengajar guru tidak normal.


4.Analisis Korelasi

Korelasi dapat diartikan sebagai hubungan. Analisis korelasi bertujuan untuk mengetahui pola (arah) dan tingkat keeratan (intensitas) hubungan antara dua variabel atau lebih. Pola hubungan dinotasikan dengan positif dan negatif. Korelasi positif terjadi apabila peningkatan suatu variabel menyebabkan peningkatan variabel yang lain, sedangkan korelasi negatif terjadi apabila penaikan suatu variabel menyebabkan penurunan variabel lain. Intensitas korelasi dinyatakan dalam angka koefisien korelasi, yang berkisar antara 0 - 1 untuk korelasi positif dan antara 0 - -1 untuk korelasi negatif. Untuk mengetahui seberapa kuat keeratan korelasi positif berpedoman pada tabel di bawah ini (Sugiyono, 2007 : 216). Untuk korelasi negatif tinggal memberi notasi negatif pada angka-angka koefisien korelasinya, kecuali pada angka nol.

Tabel 3.20.
Intensitas Korelasi








a.Ketidaknormalan Sebaran Data dan Analisis Korelasi

”Pada umumnya tidaklah mudah menspesifikasikan sebaran yang mendasari sejumlah data. Dalam penelitian ilmu-ilmu sosial, seringkali sulit mendapatkan data yang kontinyu dan menyebar mengikuti sebaran normal” (Wijaya, 2000 : 2). Hal ini terbukti pada data hasil pengumpulan melalui angket dari ketiga variabel yang diteliti dalam penelitian ini. Baik data persepsi guru tentang supervisi akademik kepala sekolah, data motivasi berprestasi guru, maupun data kinerja mengajar guru, semuanya berdistribusi tidak normal. Dengan demikian, untuk analisis selanjutnya menggunakan statistik nonparametrik. Analisis korelasi yang dikembangkan dalam statistik nonparametrik antara lain Koefisien Kontingensi, analisis korelasi Spearman Rank, dan analisis korelasi  Kendall Tau (Sugiyono, 2007 : 224 - 238).

b.Analisis Korelasi Kendall Tau (τ)

Analisis korelasi Kendall Tau atau Kendall Rank Correlation adalah untuk ” . . . menguji keeratan hubungan antara variabel X dan Y di mana X dan Y tidak berdistribusi normal atau tidak diketahui distribusinya” (Pratisto, 2005 : 93). Korelasi Kendall Tau (τ) mengukur keeratan hubungan variabel tidak berdasakan data sesunguhnya (yang dalam hal ini berskala interval) melainkan berdasarkan ranking-nya (skala ordinal). Oleh karena itu sebelum dimasukkan ke dalam rumus perhitungan Kedall Tau, data (dari variabel dependen) di-ranking dahulu, kemudian data pasangannya (dari variabel independen) mengikuti tempat ranking variabel dependen. Rumus Kendall Tau-nya sendiri adalah :  τ=(2 S)/(n (n-1)) , S = selisih antara jumlah ranking yang lebih besar (∑RY atas) dengan jumlah ranking yang lebih kecil (∑RY bawah), dan n = jumlah data. Jumlah RY atas adalah jumlah data Y yang skornya di atas skor rangking suatu baris yang dihitung dan berada di bawah baris tersebut. Jumlah RY bawah adalah jumlah data Y yang skornya di bawah
skor rangking suatu baris yang dihitung dan berada di bawah baris tersebut. Untuk itu dibuat tabel penolong seperti berikut :

Tabel 3.21.
Penolong untuk Menghitung Koefisien Korelasi Kendall Tau antara Persepsi Guru tentang Supervisi Akademik Kepala Sekolah (X1) dengan Kinerja Mengajar Guru (Y)








Untuk uji signifikansi koefisien korelasi bivariat Kendall Tau ini menurut Sugiyono (2007 : 238) bisa menggunakan rumus z :   z=(τ )/√((2(2N+5))/(9N(N-1))) ,  N = jumlah responden atau sampel.

Agar memudahkan, analisis korelasi Kendall Tau dilakukan dengan menggunakan program SPSS 12, yang langkah-langkahnya sebagai berikut :
1)Memasukan jumlah skor jawaban responden yang ada pada lampiran 3 ke dalam  halaman kerja SPSS.
2)Mengklik menu Analize, pilih Correlate, Bivariate, sehingga membuka tab Bivariate Correlation,
3)Menindahkan variabel Persepsi Guru tentang Supervisi Akademik Kepala Sekolah (X1) dan Kinerja Mengajar Guru (Y) ke kolom Variables, pada kotak Correlation Coefficient memilih Kendall’s tau-b, lalu mengaktifkan Flag significant correlations.
4)Mengklik OK (Pratisto, 2005 : 95 - 97).

Hasilnya adalah sebagai berikut :

1)Korelasi Sederhana antara Persepsi Guru tentang Supervisi Akademik Kepala Sekolah (X1) dengan Kinerja Mengajar Guru (Y)
a)Output











b)Interpretasi
Notasi koefisien korelasi antara Persepsi Guru tentang Supervisi Akademik Kepala Sekolah (X1) dengan Kinerja Mengajar Guru (Y) adalah positif. Angka koefisien korelasi yang mencapai 0,257 jika diakurkan dengan tabel intensitas korelasi maka intensitas hubungannya tergolong rendah. Signifikansi korelasi ditentukan dengan membandingkan nilai probabilitas (α). Jika α < 0,05 maka korelasinya signifikan. Jika α > 0,05 maka korelasinya tidak signifikan. Dengan melihat nilai probabilitas α = 0,000 lebih kecil dari 0,05 , pada taraf kepercayaan 99% uji dua pihak (**  Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed), hubungan kedua variabel ini sangat signifikan.

2).Korelasi Sederhana antara Motivasi Berprestasi Guru (X2) dengan Kinerja Mengajar Guru (Y)
a)Output











b)Interpretasi
Notasi koefisien korelasi antara Motivasi Berprestasi Guru (X2) dengan Kinerja Mengajar Guru (Y) adalah positif. Angka koefisien korelasi yang mencapai 0,405 menunjukkan intensitas hubungannya tergolong sedang. Dengan melihat nilai probabilitas α = 0,000 lebih kecil dari 0,05 , pada taraf kepercayaan 99% uji dua pihak (**  Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed), hubungan kedua variabel ini sangat signifikan.

3).Korelasi Sederhana antara Persepsi Guru tentang Supervisi Akademik Kepala Sekolah (X1) dengan Motivasi Berprestasi Guru (X2)
a)Output











b.Interpretasi
Notasi koefisien korelasi antara Persepsi Guru tentang Supervisi Akademik Kepala Sekolah (X1) dengan Motivasi Berprestasi Guru (X2) adalah positif. Angka koefisien korelasi yang mencapai 0,197 menunjukkan intensitas hubungannya tergolong sangat rendah. Dengan melihat nilai probabilitas α = 0,000 lebih kecil dari 0,05 , pada taraf kepercayaan 99% uji dua pihak (**  Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed), hubungan kedua variabel ini sangat signifikan.

4).Korelasi Ganda antara Persepsi Guru tentang Supervisi Akademik Kepala Sekolah (X1) dan Motivasi Berprestasi Guru (X2) dengan Kinerja Mengajar Guru (Y)

Dalam beberapa literatur statistika, termasuk buku yang membahas khusus statistik non parametrik, tidak sampai membahas anlisis korelasi ganda (multiple) untuk data yang berdistribusi tidak normal (statistik nonparametrik), termasuk untuk korelasi ganda Kendall Tau. Program SPSS pun hanya menyediakan untuk semua teknik analisis korelasi yang bivariat. Bobko mencatat bahwa :

Kendall’s (1963) tau is a widely known measure of nonparametric bivariate rank correlation. Both Moran (1951) and Theil (1956) have proposed measures of multiple rank correlation based on extensions of tau . . . Moran’s measure is defined as  M_y12=√(〖t_y1〗^2+〖t_y2〗^2-2 t_y1 t_y2 t_12 )/((1-〖t_12〗^2)) , where t( ) are Kendall taus. This definition is an analogue of the parametric formula for Ry122, using taus in place of product moment correlations (Bobko, 1977 : 311).

Bila simbol-simbolnya disesuaikan, maka rumus Moran tersebut menjadi :  〖M X〗_1 X_2 Y= √((τ 〖X_1 Y)〗^2+(τ 〖X_2 Y)〗^2-2 (〖τX〗_1 Y)(〖τX〗_2 Y)(〖τX〗_1 X_2))/((1-〖〖τX〗_1 X_2〗^2 ) ) . Kemudian dengan memasukkan nilai-nilai koefisien korelasi bivariat Kendall Tau yang telah diketahui di muka, τX1Y = 0,257, τX2Y = 0,405, dan τX1X2 = 0,197, dan menggunakan tabel penolong berikut :

Tabel 3.22.
Penolong untuk Menghitung Korelasi Ganda Kendall Tau




maka  〖M X〗_1 X_2 Y=√((0,257)^2+ (0,405)^2- 2 (0,257)(0,405)(0,197))/((1-(0,197)^2 ) )
=   √(0,066049+ 0,164025-0,04100949)/((1-0,038809) )        
= √(0,230074- 0,04100949)/0,961191                   
=  √0,18906451/0,961191   
= √0,196698169   
= 0,44

Sebagai analog dari dari rumus korelasi ganda Product Moment, maka signifikansi korelasi ganda Kendall Tau akan diuji dengan uji F, dengan rumus  F_h=(R^2/k)/(((1-R^2))/((n-k-1)))  (Sugiyono, 2007 : 219), dianalog menjadi F_h=(((〖〖M X〗_1 X_2 Y)〗^2)/k)/(((1-〖〖(M X〗_1 X_2 Y)〗^2))/((n-k-1))) , k = jumlah variabel independen, n = jumlah sampel. Jadi F_h=(((〖0,44)〗^2)/2)/(((1-(0,44)^2))/((359-2-1)))    =(0,1936/2)/(((1-0,1936))/((359-2-1)))    =0,968/(0,8064/356) =0,968/0,002265 = 427,37.

Selanjutnya membandingkan harga F hitung dengan F tabel. Jika F hitung > F tabel maka koefisien korelasi ganda tersebut signifikan, jika F hitung ≤ F tabel maka tidak signifikan. F tabel dengan dk pembilang = k = 2, dan dk penyebut = n - k - 1 = 359 - 2 - 1 = 356, dengan taraf kesalahan 5%, maka harga F tabel untuk dk penyebut sebesar itu tidak tertera dalam tabel distribusi F. Yang terdekat adalah dk penyebut 200 yang harga F tabel-nya 3,04 dan dk penyebut 400 yang harga F tabel-nya 3,02. Dengan demikian tanpa interpolasi pun sudah jelas bahwa  F hitung (427,37) jauh lebih besar dari harga F tabel (antara 3,04 dan 3,02). Jadi koefisien korelasi ganda Kendall Tau yang dicapai adalah signifikan.  

Interpretasinya, notasi koefisien korelasi antara persepsi guru tentang supervisi akademik kepala sekolah (X1) dan motivasi berprestasi guru (X2) secara bersama-sama dengan kinerja mengajar guru adalah positif. Angka koefisien korelasi yang mencapai 0,44 menunjukkan intensitas hubungannya tergolong sedang. Perbandingan antara F hitung dan F tabel menunjukkan korelasinya signifikan.
  

5.Analisis Regresi

Analisis regresi berguna untuk mengetahui bagaimana variabel dependen (kriteria) dapat diprediksikan melalui variabel independen (prediktor) secara individual. Berdasarkan jumlah variabel prediktornya dibedakan antara analisis regresi sederhana yaitu yang terdiri dari satu variabel prediktor, dan analisis regresi ganda (multiple) bila variabel prediktornya lebih dari satu. Analisis regresi memerlukan prasyarat logis dan prasyarat statistik. Prasyarat logisnya adalah korelasi variabel-variabelnya harus memiliki hubungan kausal atau fungsional berdasarkan teori atau konsep-konsep mengenai variabel-variabel tersebut (Sugiyono, 2007 : 243). Menurut teori yang dipaparkan pada Bab II, antara variabel X1, X2 dengan Y memiliki hubungan demikian, maka bisa dilanjutkan pada analisis regresi. Kemudian prasyarat statistiknya, analisis ini tidak dapat digunakan untuk data yang berdistribusi tidak normal (Wijaya, 2000 : 3, Riduwan dan Kuncoro, 2007 : 4, dan Sugiyono, 2006 : 173). SPSS sendiri menjadikan analisis regresi secara otomatis memproses analisis korelasi Pearson Product Moment (yang merupakan bagian dari analisis statistik parametrik) dalam satu paket, tapi tidak sebaliknya (Pratisto, 2005 : 101 - 129). Dengan demikian, betatapun harga-harga yang diperlukan dalam penghitungan regresi sederhana dan ganda tersedia, analisis ini tak memenuhi asumsi statistik untuk dilakukan, sehingga tak bisa mengetahui bagaimana variabel dependen (kriteria) diprediksikan melalui variabel independen (prediktor). Dalam hal ini, Sugiyono (2007 : 243) menjelaskan bahwa ”Korelasi dan regresi keduanya mempunyai hubungan yang sangat erat. Setiap regresi pasti ada korelasinya, tetapi korelasi belum tentu dilanjutkan dengan regresi”.


6.Kontribusi
Besar kecilnya kontribusi atau sumbangan variabel X terhadap Y dapat ditentukan dengan rumus koefisien determinan atau koefisien penentu KP = r2 x 100% (Riduwan dan Kuncoro, 2007 : 62). Karena koefisien korelasinya diperoleh dengan analisis Kendall Tau maka simbol τ menggantikan posisi r. Koefisien determinan merupakan kuadrat dari koefisien korelasi yang menyatakan sebagian (persentase) dari total variasi variabel independen yang dapat diterangkan oleh variasi variabel dependen.  Dengan persentase kontribusi terkecil berjumlah 0% dan terbesar berjumlah 100% maka besar kecilnya kontribusi variabel independen terhadap variabel dependen dapat diinterpretasikan menurut tabel berikut :

Tabel 3.23.
Interpretasi Kontribusi







a.Kontribusi Persepsi Guru tentang Supervisi Akademik Kepala Sekolah terhadap Kinerja Mengajar Guru
KP  = (τ X1Y)2 x  100% = (0,257)2  x 100% = 0,066049 x 100% = 6,60 %. Dengan melihat jumlah persentase kontribusi demikian maka kontribusi persepsi guru tentang supervisi akademik kepala sekolah terhadap kinerja mengajar guru tergolong sangat kecil.

b.Kontribusi Motivasi Berprestasi Guru terhadap Kinerja Mengajar Guru
KP  = (τ X2Y)2 x  100% = (0,405)2  x 100% = 0,164025 x 100% = 16,40%. Dengan melihat jumlah persentase kontribusi demikian maka kontribusi motivasi berprestasi guru terhadap kinerja mengajar guru tergolong sangat kecil.

c.Kontribusi Persepsi Guru tentang Supervisi Akademik Kepala Sekolah terhadap Motivasi Berprestasi Guru
KP  = (τ X1X2)2 x  100% = (0,197)2  x 100% = 0,038809 x 100% = 3,88 %. Dengan melihat jumlah persentase kontribusi demikian maka kontribusi persepsi guru tentang supervisi akademik kepala sekolah terhadap motivasi berprestasi guru tergolong sangat kecil.

d.Kontribusi Persepsi Guru tentang Supervisi Akademik Kepala Sekolah dan Motivasi Berprestasi Guru Terhadap Kinerja Mengajar Guru
KP  = (M X1X2Y)2 x 100% = (0,44)2 x  100% = 0,1936  x  100% = 19,36 %. Dengan melihat jumlah persentase kontribusi demikian maka kontribusi persepsi guru tentang supervisi akademik kepala sekolah dan motivasi berprestasi guru terhadap kinerja mengajar guru tergolong sangat kecil.

___________


BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A.HASIL PENELITIAN


1.Gambaran Persepsi Guru tentang Supervisi Akademik Kepala Sekolah SMP Negeri di Kabupaten Majalengka


a.Deskripsi Statistik Variabel Persepsi Guru tentang Supevisi Akademik Kepala Sekolah

Deskripsi statistik (SPSS 12) variabel persepsi guru tentang supevisi akademik kepala sekolah dapat dilihat dalam tabel berikut :

Tabel 4.1.






b.Distribusi Frekuensi Skor Variabel Persepsi Guru tentang Supevisi Akademik Kepala Sekolah

Dengan jumlah skor terbesar adalah 115 dan jumlah skor terkecil adalah 23, jumlah kelas interval sebanyak enam kelas - panjang kelas sebaran data normal baku (Sugiyono, 2007 : 78), maka panjang kelas intervalnya adalah 115 - 23 : 6 = 15,33. Karena dengan 15 tak mencapai 115, maka diambil 16. Kemudian frekuensi tiap kelas interval dihitung dan disajikan dalam tabel distribusi frekuensi berikut :

Tabel 4.2.
Distribusi Frekuensi Skor Variabel Persepsi Guru tentang Supevisi Akademik Kepala Sekolah









Penyebaran skor variabel supervisi akademik menunjukkan 134 responden atau 37,33% memperoleh skor di sekitar rata-rata (80,25) yang bervariasi antara 71 - 86. Kemudian 140  responden atau 39,00% berada di atas rata-rata yang bervariasi antara 87 - 118, dan 85 responden atau 23,68% berada di bawah rata-rata dengan variasi antara 23 - 70.

c.Histogram Variabel Persepsi Guru tentang Supevisi Akademik Kepala Sekolah















d.Deskripsi Variabel  Persepsi Guru tentang Supervisi Akademik Kepala Sekolah

Bagian ini memuat deskripsi menurut dimensi dan variabel, deskripsi menurut item dan indikator dimuat dalam Lampiran 5.

1)Menurut dimensi

Tabel 4.3.
Kondisi Dimensi Persepsi Guru tentang Supervisi Akademik Kepala Sekolah









2)Menurut variabel

Tabel 4.4.
Kondisi Variabel Persepsi Guru tentang Supervisi Akademik Kepala Sekolah







Hasilnya sama dengan membagi total skor (28810) dengan jumlah responden (359) dan dibagi jumlah item (23).

Merujuk pada hasil perhitungan WMS jumlah skor jawaban responden atas angket persepsi guru tentang supervisi akademik kepala sekolah menunjukkan bahwa secara umum pelaksanaan supervisi akademik yang dilakukan kepala SMP negeri di kabupaten Majalengka kepada guru-guru yang dipimpinnya dipersepsikan guru tergolong dalam kondisi baik.  Per dimensi pun, dari tiga dimensi persepsi guru tentang supervisi akademik kepala sekolah, yaitu (1) perencanaan supervisi akademik, (2) pelaksanaan supervisi akademik, dan (3) tindak lanjut supervisi akademik, ketiganya mereka persepsikan tergolong baik. Baru terlihat bervariasi saat ditinjau per indikator. Dari sepuluh indikator menunjukkan bahwa dalam menyiapkan (1) program perencanaan supervisi akademik dan (2) buku catatan supervisi akademik, dipersepsikan tergolong sangat baik, dalam menyiapkan (3) instrumen supervisi akademik, dan (4) jadwal supervisi akademik,  memberikan (5) intoduksi supervisi akademik, (6) penentuan sasaran supervisi akademik, (7) pemilihan teknik supervisi akademik, (8) kepemimpinan supervisi akademik, saat pelaksanaan supervisi dan (9) pembinaan setelah pelaksanaan supervisi akademik, dipersepsikan tergolong baik, sedangkan dalam pemberian (10) rewards dan punishment terkait dengan hasil supervisi akademik, dipersepsikan tergolong cukup baik. Hal ini sama variasinya bila ditinjau per item. Dari 23 item, empat item (1,2,3 dan 13), dipersepsikan  tergolong sangat baik, 19 item (4,5,6,7,8,9,10,11,12,14,18,19,20,21 dan 23), dipersepsikan tergolong baik, dan empat item (15,16,17,dan 22), dipersepsikan tergolong cukup baik. (Lihat Lampiran 5 Kondisi Persepsi Guru tentang Supervisi Akademik Kepala Sekolah menurut Item dan Indikator).


2.Gambaran Motivasi Berprestasi Guru SMP Negeri di Kabupaten Majalengka

a.Deskripsi Statistik Variabel Motivasi Berprestasi Guru

Deskripsi statistik (SPSS 12) variabel motivasi berprestasi guru dapat dilihat dalam tabel berikut :

Tabel 4.5.







b.Distribusi Frekuensi Skor Variabel Motivasi Berprestasi Guru

Dengan jumlah skor terbesar adalah 105 dan jumlah skor terkecil adalah 50, jumlah kelas interval sebanyak enam kelas, maka panjang kelas intervalnya adalah 105 - 50 : 6 = 9,17. Karena dengan 9 tak mencapai 105, maka diambil 10. Kemudian frekuensi tiap kelas interval dihitung dan disajikan dalam tabel distribusi frekuensi berikut :

Tabel 4.6.
Distribusi Frekuensi Skor Variabel Motivasi Berprestasi Guru










Penyebaran skor variabel supervisi akademik menunjukkan 137 responden atau 38,16% memperoleh skor di sekitar rata-rata (81,69) yang bervariasi antara 80 - 89. Kemudian 71 responden atau 19,77% berada di atas rata-rata yang bervariasi antara 90 - 109, dan 151 responden atau 42,06% berada di bawah rata-rata dengan variasi antara 50 - 79.

c.Histogram Variabel Motivasi Berprestasi Guru













d.Deskripsi Variabel  Motivasi Berprestasi Guru

Bagian ini memuat deskripsi menurut dimensi dan variabel, deskripsi menurut item dan indikator dimuat dalam Lampiran 6.

1)Menurut dimensi

Tabel 4.7.
Kondisi Dimensi Motivasi Berprestasi Guru









2)Menurut variabel

Tabel 4.8.
Kondisi Variabel Motivasi Berprestasi Guru






Hasilnya sama dengan membagi total skor (29328) dengan jumlah responden (359) dan dibagi jumlah item (21).

Merujuk pada hasil perhitungan WMS jumlah skor jawaban responden atas angket motivasi berprestasi guru menunjukkan bahwa secara umum motivasi berprestasi yang dimiliki guru SMP negeri di kabupaten Majalengka tergolong baik.  Per dimensi pun, dari tiga dimensi motivasi berprestasi guru, yaitu (1) motif berprestasi (dorongan atau keinginan untuk berprestasi), (2) harapan berprestasi (usaha untuk berprestasi), dan (3) insentif, ketiganya tergolong baik. Baru terlihat bervariasi saat ditinjau per indikator. Dari enam indikator menunjukkan bahwa (1) keinginan untuk memenuhi kebutuhan harga diri, (2) keinginan untuk memenuhi kebutuhan aktualisasi diri, (3) tanggung jawab, (4) competitiveness dan keunggulan,  dan (5) insentif intrinsik, tergolong baik, sedangkan satu indikator yaitu (6) keberhasilan (kesuksesan) tergolong sangat baik. Bila ditinjau per item lebih bervariasi lagi. Dari 21 item, sepuluh item (1,2,3,4,8,12,13,16,17 dan 20) tergolong sangat baik, sepuluh item (5,6,9,10,11,14,15,18,19 dan 21) tergolong baik, dan satu item (7) tergolong cukup baik. (Lihat Lampiran 6 Kondisi Motivasi Berprestasi Guru menurut Item dan Indikator).


3.Gambaran Kinerja Mengajar Guru SMP Negeri di Kabupaten Majalengka

a.Deskripsi Statistik Variabel Variabel Kinerja Mengajar Guru

Deskripsi statistik (SPSS 12) variabel motivasi berprestasi guru dapat dilihat dalam tabel berikut :

Tabel 4.9.






b.Distribusi Frekuensi Skor Variabel Kinerja Mengajar Guru

Dengan jumlah skor terbesar adalah 360 dan jumlah skor terkecil adalah 200, jumlah kelas interval sebanyak enam kelas, maka panjang kelas intervalnya adalah 360 - 200 : 6 = 26,67. Karena dengan 26 tak mencapai 360, maka diambil 27. Kemudian frekuensi tiap kelas interval dihitung dan disajikan dalam tabel distribusi frekuensi berikut :

Tabel 4.10.
Distribusi Frekuensi Skor Variabel Kinerja Mengajar Guru










Penyebaran skor variabel supervisi akademik menunjukkan 121 responden atau 33,70% memperoleh skor di sekitar rata-rata (294,56) yang bervariasi antara 281 - 307. Kemudian 115 responden atau 32,03% berada di atas rata-rata yang bervariasi antara 308 - 361, dan 123 responden atau 34,26% berada di bawah rata-rata dengan variasi antara 200 - 280.

c.Histogram Variabel Kinerja Mengajar Guru













d.Deskripsi Variabel  Kinerja Mengajar Guru

Bagian ini memuat deskripsi menurut dimensi dan variabel, deskripsi menurut item dan indikator dimuat dalam Lampiran 7.

1)Menurut dimensi

Tabel 4.11.
Kondisi Dimensi Kinerja Mengajar Guru









2)Menurut variabel

Tabel 4.12.
Kondisi Variabel Kinerja Mengajar Guru






Hasilnya sama dengan membagi total skor (105749) dengan jumlah responden (359) dan dibagi jumlah item (72).

Merujuk pada hasil perhitungan WMS jumlah skor jawaban responden atas angket kinerja mengajar guru menunjukkan bahwa secara umum kinerja mengajar guru SMP negeri di kabupaten Majalengka tergolong sangat baik.  Sedikit bervariasi saat ditinjau per dimensi. Dari tiga dimensi kinerja mengajar guru, yaitu (1) perencanaan pembelajaran, dan (2) pelaksanaan pembelajaran, tergolong sangat baik, sedangkan dimensi  (3) evaluasi pembelajaran tergolong baik. Variasi yang sama terlihat saat ditinjau per indikator. Dari sembilan indikator menunjukkan bahwa (1) penyusunan program tahunan, (2) penyusunan program semesteran, (3) penyusunan silabus, (4) penyusunan RPP,  (5) pembukaan pelajaran, (6) proses pembelajaran, (7) penutupan pelajaran, dan (8) evaluasi proses dan atau hasil pembelajaran siswa, tergolong sangat baik, sedangkan satu dimensi lagi, yaitu (9) evaluasi pembelajaran (KBM) guru tergolong baik. Bila ditinjau per item lebih bervariasi lagi. Dari 72 item, 59 item (1,2,3,4,5,6,8,10,11,12,13,14,15,16,17,18,19,20,21,22,23,25,26,27,28,29,30,32,33,34,35,36,37,39,40,44,45,46,47,48,49,50,51,52,53,54,55,56,57,58,59,60,61,62,63,64,65 dan 67) tergolong sangat baik, 11 item (9,24,31,38,41,42,43,66,68,69 dan 70) tergolong baik, dan dua item (71 dan 72) tergolong cukup baik. (Lihat Lampiran 7 Kondisi Kinerja Mengajar Guru menurut Item dan Indikator).


4.Kontribusi Persepsi Guru tentang Supervisi Akademik Kepala Sekolah Terhadap Kinerja Mengajar Guru SMP Negeri di Kabupaten Majalengka

Analisis korelasi Kendall Tau (τ) antara persepsi guru tentang supervisi akademik kepala sekolah (X1) dengan kinerja mengajar guru (Y) menunjukkan korelasi positif yang signifikan (α = 0,000 < 0,05), betapapun intensitas korelasinya tergolong rendah (τ X1Y = 0,257). Arah korelasinya yang positif mengandung arti bahwa setiap adanya peningkatan persepsi guru tentang supervisi akademik oleh kepala sekolah akan menaikan kinerja mengajar guru. Adapun untuk memprediksi seberapa besar kinerja mengajar guru jika besarnya persepsi guru tentang supervisi akademik kepala sekolah diketahui atau sebaliknya melalui persamaan regresi tak dapat dilakukan, betatapun nilai-nilai yang dibutuhkan untuk analis tersebut tersedia, mengingat analisis regresi harus berasumsikan data yang berdistribusi normal atau bagian dari analisis statistik parametrik.

Signifikansi korelasi yang sangat tinggi (α = 0,000 bukan saja lebih kecil dari 0,05 tetapi bahkan lebih kecil dari 0,001, pada taraf kepercayaan 99% uji dua pihak) yang didasarkan pada sampel tersebut sekaligus menjadi hasil uji hipotesis yang menerangkan koefisien korelasi hasil analisis korelasi sederhana tersebut dapat digeneralisasikan atau diberlakukan untuk seluruh populasi. Signifikasi koefisien korelasi ini terbawa dalam perhitungan kontribusi melalui koefisien determinan (KP) yang merupakan kuadrat dari koefisien korelasi sederhana tersebut. Dengan demikian, hipotesis pertama yang berbunyi : Persepsi Guru tentang supervisi akademik kepala sekolah memberikan kontribusi yang signifikan terhadap kinerja mengajar guru SMP negeri di kabupaten Majalengka, terbukti. Adapun kontribusi yang diberikan persepsi guru tentang supervisi akademik kepala sekolah terhadap kinerja mengajar guru adalah sebesar 6,60 %. Angka persentase sebesar ini menunjukkan kontribusi yang tergolong sangat kecil, karena selebihnya sebesar 93,40% adalah kontribusi dari variabel lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini.


5.Kontribusi Motivasi Berprestasi Guru Terhadap Kinerja Mengajar Guru SMP Negeri di Kabupaten Majalengka

Analisis korelasi Kendall Tau (τ) antara motivasi berprestasi guru (X2) dengan kinerja mengajar guru (Y) menunjukkan korelasi positif yang signifikan (α = 0,000 < 0,05), dengan intensitas korelasi tergolong sedang (τ X2Y = 0,405). Arah korelasinya yang positif mengandung arti bahwa setiap adanya motivasi berprestasi dalam diri guru akan menaikan kinerja mengajar guru.

Signifikansi korelasi yang sangat tinggi (α = 0,000 bukan saja lebih kecil dari 0,05 tetapi bahkan lebih kecil dari 0,001, pada taraf kepercayaan 99% uji dua pihak) yang didasarkan pada sampel tersebut sekaligus menjadi hasil uji hipotesis yang menerangkan koefisien korelasi hasil analisis korelasi sederhana tersebut dapat digeneralisasikan atau diberlakukan untuk seluruh populasi. Signifikasi koefisien korelasi ini terbawa dalam perhitungan kontribusi melalui koefisien determinan (KP) yang merupakan kuadrat dari koefisien korelasi sederhana tersebut.  Dengan demikian, hipotesis kedua yang berbunyi : Motivasi berprestasi guru memberikan kontribusi yang signifikan terhadap kinerja mengajar guru SMP negeri di kabupaten Majalengka, terbukti. Adapun kontribusi yang diberikan motivasi berprestasi guru terhadap kinerja mengajar guru adalah sebesar 16,40%. Angka persentase sebesar ini menunjukkan kontribusi yang tergolong sangat kecil, karena selebihnya sebesar 83,60% adalah kontribusi dari variabel lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini.


6.Kontribusi Persepsi Guru tentang Supervisi Akademik Kepala Sekolah dan Motivasi Berprestasi Guru terhadap Kinerja Mengajar Guru SMP Negeri di Kabupaten Majalengka

Analisis korelasi ganda Moran yang merupakan analog dari analisis korelasi ganda Pearson Product Moment mengganti r dengan τ  dan R dengan M dari hasil analisis korelasi Kendall Tau, menunjukkan bahwa antara persepsi guru tentang supervisi akademik kepala sekolah (X1) dan motivasi berprestasi guru (X2) dengan kinerja mengajar guru (Y) menunjukkan korelasi positif yang signifikan {F hitung (427,37) > F tabel (antara 3,02 dan 3,04)}, dengan intensitas korelasi tergolong sedang (M X1X2Y = 0,44). Arah korelasinya yang positif mengandung arti bahwa setiap adanya peningkatan persepsi guru tentang supervisi akademik oleh kepala sekolah dan adanya motivasi berprestasi dalam diri guru akan menaikan kinerja mengajar guru.

Signifikansi korelasi yang sangat tinggi {F hitung (427,37) jauh lebih besar dari harga F tabel (antara 3,02 dan 3,04)} yang didasarkan pada sampel tersebut sekaligus menjadi hasil uji hipotesis yang menerangkan koefisien korelasi hasil analisis korelasi multiple tersebut dapat digeneralisasikan atau diberlakukan untuk seluruh populasi. Signifikasi koefisien korelasi multiple ini terbawa dalam perhitungan kontribusi melalui koefisien determinan (KP) yang merupakan kuadrat dari koefisien korelasi multiple tersebut.  Dengan demikian, hipotesis ketiga yang berbunyi : Persepsi Guru tentang Supervisi akademik kepala sekolah dan motivasi berprestasi guru secara simultan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap kinerja mengajar guru SMP negeri di kabupaten Majalengka, terbukti. Adapun kontribusi bersama-sama dari persepsi guru tentang supervisi akademik kepala sekolah dan motivasi berprestasi guru terhadap kinerja mengajar guru adalah sebesar 19,36%. Angka persentase sebesar ini menunjukkan kontribusi yang tergolong sangat kecil, karena selebihnya sebesar 80,64% adalah kontribusi dari variabel lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini.

Koefisien korelasi ganda bukan penjumlahan dari dua atau lebih koefisien korelasi sederhana, melainkan merupakan hubungan secara bersama-sama antara beberapa variabel independen dengan variabel dependen  (Sugiyono, 2007 : 217 - 218). Jadi dalam penelitian ini korelasi ganda antara persepsi guru tentang supervisi akademik kepala sekolah (X1) dan motivasi berprestasi guru (X2) dengan kinerja mengajar guru (Y) bukan penjumlahan τX1Y = 0,257 dan τX2Y = 0,405 yang menghasilkan 0,662, melainkan hubungan secara bersama-sama antara persepsi guru tentang supervisi akademik kepala sekolah dan motivasi berprestasi dengan kinerja mengajar guru yang menghasilkan τMX1X2Y = 0,44. Betapapun hasilnya tidak sebesar penjumlahannya, korelasi ganda tersebut tetap lebih besar dari korelasi-korelasi sederhananya. Ini berarti kontribusi simultannya pun akan lebih besar (19,36%) dari kontribusi-kontribusi tunggalnya (X1 terhadap Y = 6,60%,  dan X2 terhadap Y = 16,40%).

Jika korelasi dan kontribusi antar variabel yang diteliti digambarkan dalam bentuk bagan secara lengkap, di mana X1 = persepsi guru tentang supervisi akademik kepala sekolah, X2 = motivasi berprestasi guru, dan Y = kinerja mengajar guru, maka gambarannya sebagai berikut :
  









Bagan 4.1.
Korelasi (τ) dan Kontribusi (KP) Variabel X terhadap Y


B.PEMBAHASAN


1.Gambaran Persepsi Guru tentang Supervisi Akademik Kepala Sekolah SMP Negeri di Kabupaten Majalengka

Secara operasional persepsi guru tentang supervisi akademik kepala sekolah dalam penelitian ini didefinisikan sebagai pemahaman guru berdasarkan penglihatan, pendengaran dan perasaannya tentang pelaksanaaan supervisi akademik yang dilakukan kepala sekolah untuk meningkatkan mutu proses dan hasil pembelajaran terhadap guru SMP negeri di kabupaten Majalengka. Dimensinya merupakan dimensi dari supervisi akademik kepala sekolah itu sendiri, yang meliputi (1) perencanaan supervisi akademik, (2) pelaksanaan supervisi akademik, dan (3) tindak lanjut supervisi akademik (BSNP, 2007 b). Sedangkan persepsi guru tentang hal tersebut hanya berkaitan dengan teknik pengumpulan data yang didasarkan atas pengamatan dan pemahaman (persepsi) guru.

Menurut hasil penelitian yang penulis lakukan terhadap guru SMP negeri di kabupaten Majalengka,  kondisi aktual persepsi guru tentang supervisi akademik kepala SMP negeri di kabupaten Majalengka secara umum kondisinya tergolong baik (WMS = 3,49 / 5,00 atau = 69,8%). Dengan demikian, supervisi akademik yang dalam teori kependidikan lebih dikenal dengan instructional supervision atau supervisi pengajaran, dengan pengertian yang lengkap seperti yang dikemukakan Boardmab et al. bahwa:

Supervision of instruction is the effort to stimulate, coordinate, and guide the continued growth of the teacher in the school, both individually and collectively, in better understanding and more effective performance at all the functions of instructions so that may be better able to stimulate and guide the continued growth of every pupil toward the richest and most intelligent participation and modern democratic society (Arikunto, 2004 : 11).

menurut persepsi guru telah dilaksanakan oleh kepala SMP negeri di kabupaten Majalengka dengan baik. Artinya, dimensi kompetensi supervisi akademik kepala sekolah yang mencakup (1) merencanakan program supervisi akademik dalam rangka peningkatan profesionalisme guru, (2) melaksanakan supervisi akademik terhadap guru dengan menggunakan pendekatan dan teknik supervisi yang tepat, dan (3) menindaklanjuti hasil supervisi akademik terhadap guru dalam rangka peningkatan profesionalisme guru, dipersepsikan oleh guru secara umum telah dimiliki dan dilaksanakan oleh kepala sekolah dengan baik.

Beberapa hal yang penulis pandang mempengaruhi kondisi ini adalah adanya upaya peningkatan kualitas tenaga pendidik dan tenaga kependidikan khususnya kepala sekolah dalam lima tahun terakhir yang memperlihatkan frekuensi tinggi, baik yang dilakukan oleh Depdiknas (PMPTK, LPMP), maupun dinas pendidikan di daerah. Upaya-upaya dimaksud antara lain berupa :

a.Sosialisasi dan penataran KTSP kepada kepala sekolah baik di tingkat pusat dan provinsi maupun di tingkat kabupaten / kota sejak tahun 2006 yang  telah membuka paradigma baru untuk berfokus pada bagaimana siswa mendemonstrasikan yang mereka ketahui dan dapat mereka lakukan (outcomes) bukan lagi pada materi pelajaran dan waktu yang bisa disiapkan sekolah (inputs). Selain itu, dengan dukungan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah), KTSP mendorong sekolah bukan saja otonom dalam manajemen, tetapi juga otonom dalam mengembangkan kurikulum yang sesuai dengan kondisi sekolah. Kurikulum harus dibuat oleh sekolah, sehingga memungkinkan antara satu sekolah dengan sekolah lainnya memiliki kurikulum yang berbeda. Akibatnya, kepala sekolah melakukan manajemen yang berbeda dan lebih luas. Betapapun terus difasilitasi dan dipantau dinas pendidikan, keberhasilan implementasi dari kurikulum yang disusun sekolah, sangat banyak ditentukan oleh sekolah dan manajemen kepala sekolah yang bersangkutan. Jika keberhasilan implementasi  KTSP tersebut dilihat dari prestasi akademik siswa, maka supervisi akademik melekat sebagai kewajiban manajerial dari kepala sekolah, sehingga untuk itu, kepala SMP negeri di kabupaten Majalengka terdorong untuk melaksanakannya dengan baik.

b.Diterbitkannya Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 13 Tahun 2007 tentang Standar Kepala Sekolah / Madrasah yang mensyaratkan kepala sekolah memiliki lima dimensi kompetensi, yaitu (1) kepribadian, (2) manajerial, (3) kewirausahaan, (4) supervisi (akademik) dan (5) sosial, kepala sekolah dituntut secara formal untuk menguasai kelima dimensi kompetensi tersebut, sehingga mereka termotivasi menjadikan kelima dimensi kompetensi tersebut fokus studi dan mempraktekkannya di sekolah yang dipimpinnya sebagai bagian dari kinerjanya. Untuk dimensi supervisi akademik, kepala sekolah dituntut harus bisa (a) merencanakan program supervisi akademik dalam rangka peningkatan profesionalisme guru, (b) melaksanakan supervisi akademik terhadap guru dengan menggunakan pendekatan dan teknik supervisi yang tepat, (c) menindaklanjuti hasil supervisi akademik terhadap guru dalam rangka peningkatan profesionalisme guru (BSNP, 2007 b). Hal ini dilakukan pula oleh kepala SMP negeri di kabupaten Majalengka, sehingga kegiatan supervisi akademik di sekolah yang dipimpinnya dipandang baik oleh responden.

c.Adanya Ujian Nasional, mendorong semua pihak untuk melakukan persiapan ekstra agar mampu meluluskan siswa. Di level sekolah, pengayaan-pengayaan khususnya untuk mata pelajaran yang di-UN-kan, ujian pra-UN (try out) makin gencar diselenggarakan, bahkan semua upaya tersebut dinstruksikan dan dipantau langsung oleh Disdikbudpora kabupaten Majalengka. Kegiatan-kegiatan tersebut mengaktifkan kepala sekolah untuk melakukan supervisi akademik dalam arti yang luas dengan terus memotivasi, membina dan mengawasi guru-guru yang dipimpinnya agar melaksanakan pengajaran dan kegiatan-kegiatan akademik tersebut secara efektif dan efisien sehingga mampu medorong siswa belajar dengan tekun yang pada gilirannya mereka mencapai prestasi akademik yang diharapkan, ”The end result of supervisory effort is improved student behavior or learning. While instructional supervision seldom impacts directly on student behavior, it contributes to this ultimate goal of the organization through its influence on teacher behavior . . .” (Alfonso et al., 1981 : 45). Atau dalam bentuk bagan, rentetan hubungan dari perilaku supervisi, perilaku mengajar, perilaku belajar sampai pada hasil belajar dikemukakan Satori (2004 : 4) :







Bagan 4.2.
Hubungan Perilaku Supervisi, Perilaku Mengajar, Perilaku Belajar dan Hasil Belajar

Namun demikian, jika ditelaah lebih dalam, betapapun secara keseluruhan dan per dimensi dipersepsikan oleh guru berkondisi baik, di antara ketiga dimensi supervisi akademik kepala sekolah - yaitu perencanaan supervisi akademik, pelaksanaan supervisi akademik, dan tindak lanjut supervisi akademik - dimensi tindak lanjut supervisi akademik adalah yang paling rendah skornya.

Idealnya semua dimensi berkondisi sangat baik, sehingga sebagai suatu program kegiatan organisasai, supervisi akademik yang dilakukan kepala sekolah berjalan dengan baik dari satu siklus ke siklus berikutnya.

Kepala sekolah, dalam menjalankan tugasnya di sekolah bukan hanya sebagai supervisor semata, lebih dari itu ia adalah administrator atau manajer.  Oleh karena itu, ia tidak hanya harus menjalankan fungsi pengawasan (controlling), tetapi juga harus menjalankan fungsi-fungsi administrasi atau manajemen lain seperti fungsi perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), penggerakkan (actuating), pengkoordinasian (coordinating), dan pengarahan (directing), yang diaplikasikan ke dalam kegiatan manajerial pendidikan di sekolah.

Saat menjalankan fungsi pengawasan (controlling) kepada guru yang dipimpinnya melalui kegiatan supervisi akademik, kepala sekolah harus me-manage kegiatan supervisi tersebut menjadi rangkaian kegiatan manajerial dengan skala yang lebih kecil.  Kurang baiknya tahapan (dimensi) tindak lanjut dari kegiatan supervisi akademik membahayakan kontinuitas kegiatan supervisi akademik secara keseluruhan, sebab tahapan yang merupakan judgement kuratif ini menjadi dasar tindakan preventif dalam perencanaan dan pelaksanaan supervisi akademik berikutnya. Tidak memberikan rewards dan punishment dengan tepat, misalnya tidak memberi penghargaan material atau nonmaterial kepada guru yang mengalami kemajuan, dan tidak mengikutsertakan guru yang tidak mengalami kemajuan dalam pelatihan, workshop, seminar, studi lebih lanjut dan lain-lain mematahkan fungsi supervisi akademik itu sendiri, karena menurut Ametembun (Satori (2004 : 3) supervisi akademik idealnya mempunyai fungsi sebagai (1) penelitian, yaitu untuk memperoleh gambaran yang jelas dan obyektif tentang situasi pendidikan (khususnya sasaran supervisi akademik) dengan menempuh prosedur ilmiah yang diperlukan untuk perbaikan dan peningkatan, (2) penilaian, yaitu mengevaluasi hasil penelitian, sehingga bisa mengetahui apakah situasi pendidikan yang diteliti itu mengalami kemunduran atau kemajuan, (3) perbaikan, yaitu melakukan perbaikan-perbaikan menurut prioritas, dengan mengacu pada hasil penilaian, dan (4) peningkatan, yaitu berupaya memperthankan kondisi-kondisi yang yang telah memuaskan dan bahkan meningkatkannya melalui proses perbaikan yang berkesinambungan dan terus menerus.

Secara ringkas, Satori (2004 : 4-5) mengatakan bahwa supervisi akademik menaruh perhatian utama pada upaya-upaya yang sifatnya memberikan kesempatan kepada guru-guru untuk berkembang secara profesional, sehingga mereka lebih mampu dalam melaksanakan tugas pokoknya, yaitu memperbaiki dan meningkatkan proses dan hasil pembelajaran.

Dengan melihat fungsi-fungsi tersebut, adalah sukar berharap bahwa supervisi akademik yang dilakukan kepala sekolah berefek pada berkembangnya guru secara profesional bila salah satu atau lebih tahapannya kurang berjalan dengan baik atau tidak berkesinambungan. Supervisi akademik menjadi tidak efektif dalam memprofesionalkan guru dan memperbaiki hasil belajar siswa, karena keras lemahnya upaya guru dalam kegiatan akademik tidak menentukan rewards atau punishment yang akan mereka terima atas apa yang telah mereka upayakan. Kegiatan supervisi akademik yang di-manage dengan tidak efektif membuahkan kegiatan yang berjalan di tempat (treadmill), tak lebih dari rutinitas yang telah kehilangan komitmen akan tujuan organisasi dari sumber daya manusianya. Padahal tahapan tindak lanjut supervisi akademik yang merupakan upaya pembinaan dan perbaikan yang didasarkan atas hasil temuan pada saat pelaksanaan supervisi harusnya menjadi hak bagi guru dan kewajiban manajerial bagi kepala sekolah, sehingga seluruh rangkaian kegiatan supervisi akademik benar-benar menjadi operasionalisasi dari penjaminan mutu pendidikan di sekolah, yang mampu mengontrol secara konsisten sebelum dan ketika proses pendidikan berlangsung, mencegah terjadinya kesalahan sejak awal proses pendidikan sehingga tercipta output yang sesuai standar (tanpa cacat / zero defects - Philip B. Crosby), atau menghasilkan output yang selalu baik sejak awal (right first time everytime) (Sallis, 2007 : 58).


2.Gambaran Motivasi Berprestasi Guru SMP Negeri di Kabupaten Majalengka

Secara operasional motivasi berprestasi guru dalam penelitian ini didefinisikan sebagai dorongan atau keinginan guru SMP negeri di kabupaten Majalengka untuk mencapai kesuksesan, kesempurnaan bahkan keunggulan dalam melaksanakan tugas atau pekerjaannya. Adapun dimensi dari variabel motivasi berprestasi guru ini meliputi (1) motif berprestasi (dorongan atau keinginan untuk berprestasi), (2) harapan berprestasi (usaha untuk berprestasi), dan (3) insentif (Zenzen, 2002 : 6, dan Mangkunegara, 2007 : 70).

Menurut hasil penelitian yang penulis lakukan terhadap guru SMP negeri di kabupaten Majalengka,  kondisi aktual motivasi berprestasi guru SMP negeri di kabupaten Majalengka ternyata secara umum kondisinya tergolong baik (WMS = 3,89 / 5,00 atau = 77,8%). Dengan demikian, secara umum guru SMP negeri di kabupaten Majalengka telah : (1) memiliki motif berprestasi berupa motif (kebutuhan) harga diri, dan aktualisasi diri yang baik, (2) memiliki harapan berprestasi yang baik, yaitu berusaha melakukan tindakan untuk mencapai prestasi kerja dengan mandiri dan intens, dan (3) mementingkan penghargaan (insentif) intrinsik berupa prestasi itu sendiri daripada insentif ekstrinsik.

Beberapa hal yang penulis pandang mempengaruhi kondisi ini adalah :

a.Guru-guru SMP negeri di kabupaten Majalengka merupakan pribadi-pribadi yang memilih menjadi guru karena keinginannya sendiri, sehingga dengan bekerja sebagai guru mereka merasa telah mencapai salah satu tujuan atau motivasi individual yang sesuai dengan kebutuhannya, sehingga motivasi berprestasinya yang tergolong baik karena berasal dari diri mereka sendiri (intrinsik). Hal ini sesuai dengan pendapat Uno (2007 : 30) bahwa :

. . . motif berprestasi, yaitu motif untuk berhasil dalam melaksanakan suatu tugas atau pekerjaan, motif untuk memperoleh kesempurnaan. Motif semacam itu merupakan unsur kepribadian dan perilaku manusia, sesuatu yang berasal dari ”dalam” diri manusia yang bersangkutan.

b.Tempat bekerja mereka yaitu sekolah dan keterkaitannya dengan dinas pendidikan, Depdiknas dan kondisi sosial budaya Indonesia, serta tempat dan waktu mereka miliki adalah organisasi atau ”habitat”, yang telah memberikan proses pembelajaran yang baik bagi kehidupan mereka sehingga motivasi berprestasinya menunjukan kondisi yang baik, karena motivasi berprestasi merupakan motif yang dipelajari, bisa diperbaiki dan dikembangkan melalui proses belajar (Uno, 2007 : 30), yang menurut  Sutermeister merupakan ”. . . result from the interacting forces in physical condition of the job, social condition of the job, and individuals’ needs” (Sutermeister, 1976 : 11).

Namun demikian, jika ditelaah lebih dalam, betapapun secara keseluruhan dan per dimensi dalam kondisi baik, di antara ketiga dimensi motivasi berprestasi guru - yaitu motif berprestasi (dorongan atau keinginan untuk berprestasi), harapan berprestasi (usaha untuk berprestasi), dan insentif - dimensi harapan berprestasi (usaha untuk berprestasi) adalah yang paling rendah.

Sebagai aktivasi dari motif, harapan atau usaha untuk berprestasi sangat menentukan keberhasilan pencapaian prestasi. Hal ini mengingatkan pada dimensi motivation dan dimensi ability (Sutermeister, 1976 : 11, dan Robbins, 2007 : 241) yang menetukan kinerja atau prestasi kerja seseorang, pada kajian teoritis. Bahkan, beberapa ahli kinerja pegawai lainnya menempatkan usaha atau effort sebagai dimensi dari kinerja, menggantikan posisi dimensi motivasi yang dikemukakan Sutermeister dan Robbins, karena dirasakan kurang menukik.  Dalam hal ini, selain Vroom dengan teori expectancy-nya (Mangkunegara, 2007 : 70) atau Atkinson dan Feather dengan motive-nya (Zenzen, 2002 : 6 -7) yang menjadi rujukan dalam merumuskan dimensi motivasi berprestasi dalam penelitian ini, terdapat ahli lain merumuskan dimensi motivasi kerja secara berbeda namun menyebutkan usaha sebagai salah satu dimensinya. Hasibuan (2007 b : 75 - 76) misalnya menganggap bahwa prestasi kerja adalah gabungan dari tiga faktor penting, yaitu kecakapan, usaha dan kesempatan (Prestasi kerja = f (kecakapan, usaha, kesempatan). Kemudian, Mathis dan Jackson (2006 : 113) mengemukakan tiga faktor yang mempengaruhi kinerja : (1) kemampuan individu untuk melekukan pekerjaan tersebut, (2) tingkat usaha yang dicurahkan, dan (3) dukungan organisasi. Usaha bisa ditunjukkan dengan rasa tanggungjawab akan tugas atau pekerjaan yang diterima, daya saing (competitiveness) dan komitmen untuk mencapai keberhasilan, dan hal-hal yang mengindikasikan keunggulan lainnya.


3.Gambaran Kinerja Mengajar Guru SMP Negeri di Kabupaten Majalengka

Secara operasional kinerja mengajar guru dalam penelitian ini didefinisikan sebagai jumlah dan mutu proses dan hasil kerja yang dicapai guru SMP negeri di kabupaten Majalengka dalam melaksanakan tugas-tugas atau pekerjaan mengajarnya. Adapun dimensi dari variabel kinerja mengajar guru meliputi (1) perencanaan pembelajaran, (2) pelaksanaan pembelajaran, dan (3) evaluasi pembelajaran (Depdiknas, 2008 b : 22 - 26), yang merupakan aktualisasi dari motivasi dan kompetensi (ability) guru.

Menurut hasil penelitian yang penulis lakukan terhadap guru SMP negeri di kabupaten Majalengka,  kondisi aktual kinerja mengajar guru SMP negeri di kabupaten Majalengka ternyata kondisinya tergolong sangat baik (WMS = 4,10 / 5,00 atau = 82,0%). Beberapa hal yang penulis pandang mempengaruhi kondisi ini hampir sama dengan yang mempengaruhi kondisi persepsi guru tentang supervisi akademik kepala sekolah, yaitu adanya upaya peningkatan kualitas tenaga pendidik dan tenaga kependidikan khususnya kepala sekolah dalam lima tahun terakhir yang memperlihatkan frekuensi tinggi, baik yang dilakukan oleh Depdiknas (PMPTK, LPMP), maupun dinas pendidikan di daerah. Upaya-upaya yang dilakukan terhadap guru tersebut antara lain berupa :

a.Sosialisasi dan penataran KTSP kepada guru, baik di tingkat pusat dan provinsi maupun di tingkat kabupaten / kota sejak tahun 2006 yang telah membuka paradigma baru agar pengajaran atau pembelajaran berfokus pada bagaimana siswa mendemonstrasikan yang mereka ketahui dan dapat mereka lakukan (outcomes) bukan lagi pada materi pelajaran dan waktu yang bisa disiapkan sekolah (inputs). Sosialisasi dan penataran KTSP yang frekuensinya tinggi dan meluas ini meningkatkan pemahaman guru SMP negeri kabupaten Majalengka terhadap KTSP, implementasi kurikulum tersebut dalam proses belajar mengajar di kelas mereka kuasai. Hal ini mendorong mereka untuk menunjukkan kinerja mengajar yang sangat baik.

b.Adanya Ujian Nasional, mendorong semua pihak untuk melakukan persiapan ekstra agar mampu meluluskan siswa. Guru yang berada di ujung tombak dalam upaya ini tertantang untuk memfasilitasi siswa belajar melalui peningkatan kualitas aktivitas pengajaran secara efektif dan efisien, atau dengan kata lain hal ini mendorong mereka untuk meningkatkan kinerja mengajarnya baik dalam jam-jam pelajaran reguler maupun dalam jam-jam program pengayaan.

c.Perekrutan guru baru (SMP khususnya) yang mensyaratkan berpendidikan S1, dan peningkatan pendidikan guru yang masih berpendidikan D2 atau D3 ke jenjang pendidikan S1 di berbagai perguruan tinggi, termasuk di perguaruan tinggi yang ada di Majalengka memungkinkan tersedianya guru yang memiliki pengetahuan spesialisasi keilmuan tertentu, dan pengetahuan kependidikan dan keguruan yang lebih baik, sehingga memungkinkan kinerja mengajarnya pun lebih baik.

d.Program sertifikasi guru dengan segala hak dan kewajibannya telah memberikan harapan kepada guru sebagai insentif yang mendorong kinerja mengajar guru ke arah yang lebih baik. Insentif sendiri dalam artian psikologi adalah penghargaan, yang tidak saja berupa upah, gaji, dan tunjangan, tetapi juga hal yang tidak bersifat finansial, seperti kenaikan pangkat istimewa, bintang jasa atau penghargaan lainnya yang amat berperan dalam perilaku. Perilaku seseorang dalam bekerja merupakan serangkaian aktivitas-aktivitas pekerjaan yang menghasilkan kinerja (Thoha, 2007 : 208).

Namun demikian, jika ditelaah lebih dalam, betapapun secara keseluruhan kinerja mengajar guru berada dalam kondisi sangat baik (WMS = 4,10 / 5,00 atau = 82,0%), selain harus dilihat bahwa kondisi tersebut baru sedikit melintas dari batas atas (WMS 4,00 / 5,00 atau 80,0%) kondisi baik, juga bila dilihat per dimensi ternyata hanya dimensi perencanaan pembelajaran dan dimensi pelaksanaan pembelajaran yang berkondisi sangat baik, sedangkan dimensi evaluasi pembelajaran berkondisi baik atau paling rendah di antara ketiganya.

Sebagai suatu aktivitas dalam pelaksanaan program pembelajaran, kinerja mengajar guru harus melaksanakan program tersebut sebagai suatu kesatuan dan berkesinambungan, sehingga bisa memperbaiki pelaksanaan program pembelajaran selanjutnya. Dengan kata lain, evaluasi pembelajaran mutlak harus dilakukan sebagai satu rangkaian program pembelajaran. Tanpa evaluasi suatu program tak dapat diketahui keberhasilannya. Evaluasi pembelajaran tidak hanya mengukur dan menilai sejauh mana siswa telah menguasai kompetensi yang harus dimilikinya, atau hasil belajarnya melalui beraneka macam ujian, tetapi juga mengukur dan menilai sejauh mana efektifitas proses belajar mengajar atau pembelajaran yang difasilitasi guru berdampak pada pencapaian kompetensis siswa. Untuk mengetahui efektifitas mengajarnya, guru harus mengevaluasinya sendiri, misalnya melalui penelitian tindakan kelas (PTK), lesson study atau kegiatan reflektif lainnya. Hasil evaluasi pembelajaran bukan saja berguna dalam memperbaiki prestasi belajar siswa selanjutnya tetapi juga berguna untuk memperbaiki efektifitas mengajar guru, karena ”Mengajar ialah membimbing kegiatan belajar anak, teaching is the guidance of learning activities, teaching is for the purpose of aiding the pupil to learn” (Hamalik, 2004 : 58).

Pentingnya evaluasi pembelajaran terumuskan dalam peran-peran guru. Seperti menurut Gage dan Berliner yang mengemukakan tiga peran guru dalam mengajar, yaitu sebagai (1) perencana (planner) yang harus mempersiapkan apa yang harus dilakukan di dalam proses belajar-mengajar (pre-teaching problems), (2) pelaksana (organizer) yang harus menciptakan situasi, memimpin, merangsang, menggerakkan, dan mengarahkan kegiatan belajar mengajar sesuai dengan rencana, bertindak sebagai  nara sumber (source person), konsultan kepemimpinan (leader), yang bijaksana dalam arti demokratis dan humanistik (manusiawi) selama proses berlangsung (during teaching problems), dan (3) penilai (evaluator) yang harus mengumpulkan, menganalisis, menafsirkan dan akhirnya harus memberikan pertimbangan (judgement) atas tingkat keberhasilan belajar mengajar tersebut berdasarkan kriteria yang ditetapkan baik mengenai aspek keefektifan prosesnya, maupun kualifikasi produk (output)-nya (Makmun, 2005 : 23). Atau menurut Usman (1998 : 9 -12) yang mengemukakan empat peran guru, yaitu sebagai (1) demonstrator yang bisa memperagakan apa yang diajarkannya, (2) pengelola kelas (learning manager) yang mampu mengelola kelas sebagai lingkungan belajar dan lingkungan sekolah yang perlu diorganisir, (3) mediator dan fasilitator yang menjadi perantara antara pelajaran dengan siswa dan antara siswa dengan siswa lainnya dalam interaksi belajar, dan (5) evaluator yang mampu dan terampil melaksanakan penilaian hasil belajar siswa setelah setelah melaksanakan pembelajaran, sehingga ia dapat mengetahui keberhasilan pencapaian tujuan, penguasaan siswa terhadap pelajaran, ketepatan dan keefektifan metoda mengajar yang digunakannya. Jika tanpa melakukan evaluasi atau tidak memerankan dirinya sebagai evaluator, maka ia telah meninggalkan salah satu perannya sebagai guru.


4.Kontribusi Persepsi Guru tentang Supervisi Akademik Kepala Sekolah Terhadap Kinerja Mengajar Guru SMP Negeri di Kabupaten Majalengka

Secara teoritis, kinerja sesorang dipengaruhi banyak faktor. Hal ini dikemukakan para ahli dengan visi yang berda-beda. Sutermeister (1976 : 11) misalnya melihatnya lebih kepada faktor psikologis individu, dengan menyatakan bahwa P = f (A x M) atau performance merupakan perkalian antara ability dengan motivation. Robbins (2007 : 241) menambahnya dengan faktor organisasi dalam memberikan peluang berkinerja kepada pegawai (opportunity), sehingga kinerja dinyatakannya sebagai P = f (A x M x O). Hasibuan (2007 b : 75 - 76) mengatakan bahwa prestasi kerja adalah gabungan dari tiga faktor penting, yaitu kecakapan, usaha dan kesempatan (Prestasi kerja = f (kecakapan, usaha, kesempatan). Mathis dan Jackson (2006 : 113) mengemukakan tiga faktor yang mempengaruhi kinerja : (1) kemampuan individu untuk melekukan pekerjaan tersebut, (2) tingkat usaha yang dicurahkan, dan (3) dukungan organisasi. Hubungan ketiga faktor tersebut :  Kinerja  (performance) = kemampuan (ability) x usaha (effort) x dukungan (support) atau P = f (A x E x S). Gibson (Cokroaminoto, Online) mengemukakan bahwa secara teoritis ada tiga kelompok variabel yang mempengaruhi perilaku kerja dan kinerja individu, yaitu: kelompok variabel individu, kelompok variabel psikologis, dan kelompok variabel organisasi.

Jika disimpulkan, secara umum kinerja individu dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu (1) lingkungan fisik organisasi, (2) lingkungan nonfisik organisasi, dan (3) kondisi individu yang bersangkutan. Dalam konteks guru, faktor lingkungan fisik organisasi sekolah yang mempengaruhi kinerjanya bisa menyangkut letak geografis dan kondisi daerah tempat sekolah berada, bangunan dan lingkungan di dalam komplek sekolah, sarana prasarana pendidikan yang tersedia untuk melaksanakan tugasnya, dan lain-lain. Dari faktor lingkungan nonfisik organisasai adalah faktor manajerial sekolah. Karena sekolah merupakan bagian dari organisasi pendidikan nasional, maka faktor manajerial sekolah tidak saja berasal dari manajerial internal sekolah (kepala sekolah) tempat guru bertugas, tetapi juga kebijakan manajerial yang datang dari pemerintah pusat (depdiknas) dan pemerintah daerah (disdik). Sedangkan dari sisi individu guru bisa menyangkut faktor internal (fisik dan psikis) dan eksternal atau segala hal di luar dirinya, yang dalam hal ini termasuk lingkungan fisik dan nonfisik organisasi atau sekolah tempatnya bertugas.

Persepsi guru tentang supervisi akademik kepala sekolah terbukti memiliki kontribusi yang sangat kecil (6,60 %) terhadap kinerja mengajar guru SMP negeri di kabupaten Majalengka. Betatapun demikian, tetap tak dapat diabaikan. Hal ini dapat dipahami mengingat faktor yang mempengaruhi kinerja, seperti yang diterangkan teori di atas, sangat luas. Persepsi guru tentang supervisi akademik kepala sekolah hanya sebagian kecil dari faktor internal guru dalam mempersepsikan supervisi akademik yang dilakukan atasannya dalam kegiatan manajerial sekolah yang terselip di antara faktor-faktor lain.

Selain itu, sebagai bagian dari fungsi manajerial kepala sekolah, praktek supervisi akademik terkait dengan perilaku manajerial kepala sekolah, yang menurut Mintberg, perilaku manajerial itu terbagi tiga yaitu (1) peran interpersonal, (2) peran informasional, dan (3) peran pengambil keputusan (Luthan, 2002 : 619-620). Persepsi guru tentang supervisi akademik yang dilakukan atasannya berkaitan dengan bagaimana kepala sekolah memperlakukan guru, memberikan informasi dan memutuskan permasalahan yang terkait permasalahan akademik atau proses belajar mengajar yang dihadapi guru. Sangat kecilnya kontribusi yang diberikan persepsi guru tentang supervisi akademik kepala sekolah terhadap kinerja mengajar guru menunjukkan bahwa kegiatan supervisi akademik yang dilakukan kepala sekolah - betapapun oleh guru dipersepsikan tergolong baik - sebenarnya tidak dilakukan sesuai dengan teori supervisi akademik atau jangan-jangan tidak memahami supervisi akademik dan segala manfaatnya, sehingga tidak banyak berpengaruh terhadap kinerja mengajar guru, karena tidak menyentuh hal-hal yang dibutuhkan guru dalam meningkatkan kinerja mengajarnya. 


5.Kontribusi Motivasi Berprestasi Guru Terhadap Kinerja Mengajar Guru SMP Negeri di Kabupaten Majalengka

Secara teoritis, seperti halnya persepsi guru tentang supervisi akademik kepala sekolah dan motivasi berprestasi guru hanyalah sebagian kecil dari faktor yang mempengaruhi kinerja mengajar guru, yang terselip di antara faktor-faktor lain. Tidak berbeda dengan persepsi guru tentang supervisi akademik kepala sekolah yang berada dalam lingkungan nonfisik organisasi sekolah atau faktor internal guru, motivasi berprestasi pun berada dalam faktor internal guru. Motivasi berprestasi guru terbukti memiliki kontribusi yang sangat kecil (16,40%) terhadap kinerja mengajar guru SMP negeri di kabupaten Majalengka. Betatapun kontribusinya terhadap kinerja mengajar guru tergolong sangat kecil tapi persentasenya hampir tiga kali lipat yang disumbangkan persepsi guru tentang supervisi akademi kepala sekolah.

Jumlah kontribusi motivasi berprestasi terhadap kinerja mengajar guru yang demikian dapat dipahami mengingat motivasi berprestasi adalah motivasi intrinsik yang lebih spesifik, dengan indikator berusaha melaksanakan suatu tugas atau pekerjaan sebaik-baiknya untuk mencapai keberhasilan (McClelland dalam Thoha, 2007 : 235-236, Mangkunegara, 2007 : 68, Uno, 2007 : 30). Sebagai motivasi intrinsik, kebutuhan berprestasi terpuaskan oleh pekerjaan atau prestasi kerja aktual yang dicapai oleh pegawai itu sendiri, bukan oleh insentif (ekstrinsik).

”. . . motivasi intrinsik seperti misalnya prestasi . . . tidak tergantung pada motivator ekstrinsik seperti upah tinggi, promosi, hubungan penyelia yang baik, dan kondisi kerja yang menyenangkan. Bila imbalan (insentif) digunakan sebagai hadiah atas kinerja yang unggul karena seseorang menyukai pekerjaannya, maka motivasi intrinsik (motivasi berprestasi - penulis) tersebut justru akan berkurang” (Robbins, 2007: 225).

Dengan kata lain, (1) motivasi berprestasi hanyalah merupakan bagian dari motivasi kerja secara keseluruhan. Motivasi kerja - yang merupakan salah satu dimensi atau essential ingredients dari kinerja (Sutermeister, 1976 : 11, Robbins, 2007 : 241, dan Hasibuan, 2007 b : 75 - 76) - melibatkan keduanya, baik motivasi intrinsik maupun motivasi ekstrinsik. Oleh karena itu kontribusi motivasi berprestasi terhadap kinerja tak akan setinggi motivasi kerja secara keseluruhan, karena tidak melibatkan motivasi ekstrinsik, padahal kinerja lebih banyak dipengaruhi motivasi ekstrinsik terutama insentif upah tinggi, promosi, hubungan penyelia yang baik, dan kondisi kerja yang menyenangkan - yang justru jika dengan rangsangan-rangsangan itu orang berkinerja tinggi, maka tidak mengindikasikan orang tersebut memiliki motivasi berprestasi yang tinggi.


6.Kontribusi Persepsi Guru tentang Supervisi Akademik Kepala Sekolah dan Motivasi Berprestasi Guru Terhadap Kinerja Mengajar Guru SMP Negeri di Kabupaten Majalengka

Secara terpisah, baik persepsi guru tentang supervisi akademik kepala sekolah maupun motivasi berprestasi guru berkontribusi terhadap kinerja mengajar guru. Secara simultan kedua faktor tersebut memberikan kontribusi terhadap kinerja mengajar guru SMP negeri di kabupaten Majalengka dengan persentase yang lebih besar (19,36%) dibandingkan dengan kontribusi masing-masing secara terpisah. Angka presentase ini hampir melintas ke katagori kontribusi ke dua (mulai 20,1 %) dari lima katagori kontribusi. Hal ini menunjukan bahwa secara umum jika lebih dari satu faktor yang mempengaruhi kinerja mengajar guru bersinergi, maka pencapaian tujuan organisasi – termasuk meningkatkan kinerja mengajar guru -  akan lebih efektif. Jika organisasi sekolah dikelola dengan manajemen yang baik, termasuk manajemen supervisi akademiknya dan bersamaan dengan itu pegawainya, khususnya guru mempersepsikan kegiatan supervisi akademik kepala sekolah dengan baik  dan memiliki motivasi berprestasi yang baik pula, maka akan menghasilkan kinerja mengajar yang lebih baik, daripada hanya didukung oleh salah satu faktor.

Dengan demikian terbukti betapa pentingnya pendidikan diadministrasikan atau di-manage, sehingga menempatkan pedidikan sebagai aktivitas yang terorganisir, seperti yang didefinisikan Depdikbud, dengan melibatkan

. . . proses keseluruhan kegiatan bersama dalam bidang pendidikan yang meliputi perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pengkoordinasian, pengawasan, pembiayaan, dan pelaporan dengan menggunakan atau memanfaatkan fasilitas yang tersedia, baik personal dan  material, maupun spiritual untuk mencapai tujuan pendidikan yang secara efektif dan efisien (Daryanto, 2006 : 8).

_____________


BAB V
KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI


A.KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian mengenai kontrtibusi persepsi guru tentang supervisi akademik kepala sekolah dan motivasi berprestasi guru terhadap kinerja mengajar guru di SMP negeri kabupaten Majalengka, dapat disimpulkan bahwa :

1.Kondisi aktual supervisi akademik kepala SMP negeri di kabupaten Majalengka, yang meliputi aspek perencanaan supervisi akademik, pelaksanaan supervisi akademik, dan tindak lanjut supervisi akademik, secara umum menurut persepsi guru tergolong baik (WMS = 3,49 / 5,00 atau = 69,8% ).

2.Kondisi aktual motivasi berprestasi guru SMP negeri di kabupaten Majalengka yang meliputi aspek motif berprestasi (dorongan atau keinginan untuk berprestasi), harapan berprestasi (usaha untuk berprestasi), dan insentif, secara umum tergolong baik (WMS = 3,89 / 5,00 atau = 77,8%).

3.Kondisi aktual kinerja mengajar guru SMP negeri di kabupaten Majalengka yang meliputi perencanaan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran, dan evaluasi pembelajaran, secara umum tergolong sangat baik (WMS = 4,10 / 5,00 atau = 82,0%).

4.Terdapat korelasi positif yang signifikan antara persepsi guru tentang supervisi akademik kepala sekolah dengan kinerja mengajar guru, dengan intensitas korelasi tergolong rendah (τX1Y = 0,257). Berdasarkan uji signifikansi korelasi sampelnya, terdapat kontribusi yang signifikan (berlaku untuk seluruh populasi SMP negeri di kabupaten Majalengka) dengan jumlah kontribusi yang tergolong sangat kecil (6,60 %) dari persepsi guru tentang supervisi akademik kepala sekolah terhadap kinerja mengajar guru. Sisanya sebesar 93,40% adalah kontribusi dari variabel lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini.

5.Terdapat korelasi positif yang signifikan antara motivasi berprestasi guru dengan kinerja mengajar guru, dengan intensitas korelasi tergolong sedang (τX2Y = 0,405).  Berdasarkan uji signifikansi korelasi sampelnya, terdapat kontribusi yang signifikan (berlaku untuk seluruh populasi SMP negeri di kabupaten Majalengka) dengan jumlah kontribusi yang tergolong sangat kecil (16,40%) dari motivasi berprestasi guru terhadap kinerja mengajar guru. Sisanya sebesar 83,60% adalah kontribusi dari variabel lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini.

6.Terdapat korelasi positif yang signifikan antara persepsi guru tentang supervisi akademik kepala sekolah dan motivasi berprestasi guru dengan kinerja mengajar guru, dengan intensitas korelasi tergolong sedang (M X1X2Y = 0,44).  Berdasarkan uji signifikansi korelasi sampelnya, terdapat kontribusi yang signifikan (berlaku untuk seluruh populasi SMP negeri di kabupaten Majalengka) dengan jumlah kontribusi bersama-sama yang tergolong sangat kecil (19,36%) dari supervisi akademik kepala sekolah dan motivasi berprestasi guru terhadap kinerja mengajar guru. Sisanya sebesar 80,64% adalah kontribusi dari variabel lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini.


B.    IMPLIKASI

1.Dengan diketahui bahwa persepsi guru tentang supervisi akademik kepala sekolah memiliki korelasi positif dan kontribusi yang signifikan terhadap kinerja mengajar guru, maka aktivitas supervisi akademik kepala sekolah harus selalu ada sebab jika aktivitas tersebut absen maka kinerja mengajar guru akan menurun.

2.Dengan diketahui bahwa motivasi berprestasi guru memiliki korelasi positif dan kontribusi yang signifikan terhadap kinerja mengajar guru, maka motivasi tersebut harus dimiliki para guru sebab jika mereka tak memilikinya, kinerja mengajar mereka akan menurun.

3.Dengan diketahui bahwa korelasi ganda dan kontribusi bersama (simultan) dari persepsi guru tentang supervisi akademik kepala sekolah dan motivasi berprestasi guru terhadap kinerja mengajar guru lebih besar dibandingkan dengan kontribusi masing-masing secara terpisah, maka betapa pentingnya melakukan manajeman atau administrasi pendidikan secara terpadu dan total. Jika hal tersebut dilakukan maka efektifitas dan efisiensi dalam memberdayakan sumberdaya (khususnya manusia) yang merupakan esensi dari administrasi akan terwujud,  dan akhirnya tujuan-tujuan pendidikan pun akan tercapai.


C.REKOMENDASI

1.Betapapun secara umum kondisi supervisi akademik kepala sekolah menurut persepsi guru telah menunjukkan katagori baik, idealnya kondisi tersebut harus sangat baik. Ketiga dimensi supervisi akademik kepala sekolah - yaitu perencanaan supervisi akademik, pelaksanaan supervisi akademik, dan tindak lanjut supervisi akademik - dalam kondisi baik, jadi direkomendasikan kepada kepala sekolah, khususnya kepala SMP negeri di kabupaten Majalengka agar memantapkan ketiganya, lebih-lebih untuk dimensi tindak lanjut supervisi akademik, mengingat di antara ketiga dimensi tersebut, dimensi yang terakhir ini memiliki skor paling rendah. Secara spesifik, berdasar skor item angket,  kepala SMP negeri di kabupaten Majalengka direkomendasikan untuk terus mempertahankan item (aspek) supervisi akademik yang kondisinya sangat baik, memantapkan aspek yang kondisinya sudah baik, dan meningkatkan aspek yang kondisinya cukup baik sehingga semuanya mencapai kondisi yang ideal. Aspek-aspek supervisi akademik kepala sekolah yang perlu dimantapkan adalah :

a.Mempersiapkan intrumen-instrumen  supervisi,

b.Membuat jadwal supervisi akademik,

c.Memberitahukan jadwal supervisi akademik kepada guru-guru,

d.Menyajikan hasil supervisi,

e.Mengemukakan sasaran supervisi akademik,

f.Melaksanakan classroom visit,

g.Melaksanakan classroom obserservation,

h.Melaksanakan pertemuan individual dengan guru dalam rangka pembinaan proses pembelajaran,

i.Meminta guru untuk menilai sendiri  proses pembelajaran,

j.Meminta guru melakukan MGMP tingkat sekolah,

k.Menyelenggarakan penataran (IHT) peningkatan mutu proses pembelajaran,

l.Melaksanakan supervisi akademik dalam kepemimpinan yang demokratis,

m.Membina guru secara berbeda berdasarkan hasil (penilaian) supervisi akademik masing-masing,

n.Memberikan rewards kepada guru yang melaksanakan pembelajaran dengan baik, dan

o.Mempertimbangkan hasil supervisi akademik dalam mengikutsertakan guru untuk penataran yang diminta /
   dibiayai pihak lain.

Kemudian yang perlu ditingkatkan adalah :

a.Melaksanakan demonstrasi  pembelajaran dengan demonstrator kepala sekolah sendiri atau guru,

b.Studi banding dengan membawa guru-guru untuk mempelajari proses pembelajaran di sekolah lain, dan

c.Pemberian punishment berkaitan adanya guru yang melaksanakan pembelajaran kurang baik.


2.Betapapun secara umum kondisi motivasi berprestasi guru telah menunjukkan katagori baik, idealnya kondisi tersebut harus sangat baik. Ketiga dimensi motivasi berprestasi guru - yaitu motif berprestasi (dorongan atau keinginan untuk berprestasi), harapan berprestasi (usaha untuk berprestasi), dan insentif - dalam kondisi baik, jadi direkomendasikan kepada guru-guru, khususnya guru SMP negeri di kabupaten Majalengka agar memantapkan ketiganya, lebih-lebih untuk dimensi harapan berprestasi (usaha untuk berprestasi), mengingat di antara ketiganya, dimensi tersebut memiliki skor paling rendah. Secara spesifik, berdasar skor item angket,  guru SMP negeri di kabupaten Majalengka direkomendasikan untuk terus mempertahankan item (aspek)  supervisi akademik yang kondisinya sangat baik, memantapkan aspek yang kondisinya sudah baik, dan meningkatkan aspek yang kondisinya cukup baik sehingga semuanya mencapai kondisi yang ideal. Aspek-aspek motivasi berprestasi guru yang perlu dimantapkan adalah :

a.Keinginan mendapat prestise karena prestasi yang dicapai dalam mengerjakan tugas (pekerjaan),

b.Lebih mementingkan suatu prestasi (nAch) daripada memiliki kekuasaan (nPow),

c.Keinginan agar orang lain mengetahui potensi yang dimiliki dan memanfaatkannya untuk kemajuan bersama dalam mengerjakan tugas (pekerjaan),

d.Keinginan mengerjakan tugas (pekerjaan) dengan fokus, intens dan tak mau diganggu,

e.Keinginan agar antusiasme dalam mengerjakan tugas (pekerjaan) tidak dihambat oleh hal-hal administratif dan birokratif,

f.Berusaha mengerjakan tugas (pekerjaan) oleh diri sendiri,

g.Lebih suka berusaha mencari sendiri solusinya secara kreatif sepanjang baik dan rasional saat ada
   kekurangjelasan mengenai suatu tugas (pekerjaan),

h.Menganggap guru lain sebagai kompetitor dalam mencapai prestasi kerja,

i.Berusaha untuk mengerjakannya tugas lebih baik dari yang guru lain lakukan, dan

j.Menyenangi tugas (pekerjaan) betatapun tanpa penghargaan (finansial dan non finansial) dari orang lain.

Kemudian yang perlu ditingkatkan adalah dalam hal : Lebih mementingkan suatu prestasi (nAch)  daripada bersosialisasi dengan orang lain (nAff).


3.Secara umum kondisi kinerja mengajar guru menurut self appraisal guru telah menunjukkan katagori sangat baik atau ideal. Kalau diurai per dimensi, dari ketiga dimensi kinerja mengajar guru, dimensi perencanaan pembelajaran dan dimensi pelaksanaan pembelajaran berkondisi sangat baik, sedangkan dimensi evaluasi pembelajaran berkondisi baik atau paling rendah di antara ketiganya. Jadi direkomendasikan kepada guru-guru SMP negeri di kabupaten Majalengka agar memantapkan dimensi evaluasi pembelajaran sehingga mencapai kondisi sangat baik. Secara spesifik, berdasar skor item angket,  guru SMP negeri di kabupaten Majalengka direkomendasikan untuk terus mempertahankan item (aspek)  kinerja mengajar guru yang kondisinya sangat baik, memantapkan aspek yang kondisinya sudah baik, dan meningkatkan aspek yang kondisinya cukup baik sehingga semuanya mencapai kondisi yang ideal. Aspek-aspek kinerja mengajar guru yang perlu dimantapkan adalah :

a.Memberi tambahan (pengayaan) materi pelajaran yang diantumkan dalam RPP,

b.Mencantumkan atau melampirkan instrumen penilaian dalam RPP,

c.Melaksanakan pembelajaran kontekstual di luar ruangan selain di dalam ruangan kelas,

d.Menggunakan media pembelajaran yang sesuai karakteristik siswa,

e.Memanfaatkan teknologi informasi dan telekomunikasi untuk kepentingan pembelajaran,

f.Menggunakan sumber belajar yang sesuai karakteristik siswa,

g.Menggunakan sumber belajar yang sesuai materi pelajaran,

h.Menganalisis hasil evaluasi proses dan atau hasil belajar siswa,

i.Memanfaatkan hasil evaluasi untuk kepentingan pembelajaran, dan

j.Melakukan tindakan reflektif setelah melaksanakan pembelajaran untuk peningkatan kualitas pembelajaran
  (KBM).

Kemudian yang perlu ditingkatkan adalah dalam hal :

a.Melakukan penelitian tindakan kelas (PTK), dan

b.Melakukan lesson study.

Untuk memberi jalan yang lapang demi suksesnya upaya yang direkomendasikan kepada guru dan kepala SMP negeri di kabupaten Majalengka, selain guru dan kepala sekolah sendiri yang harus aktif berusaha mempertahankan, memantapkan dan meningkatkan kondisi supervisi akademik, motivasi berprestasi, dan kinerja mengajarnya, pihak lain baik yang berada pada lingkungan internal sekolah seperti siswa, staf tata laksana dan komite sekolah, maupun yang berada pada lingkungan eksternal sekolah seperti orang tua siswa dan masyarakat, dan atasannya yang secara dinas bertanggungjawab pada keberadaan sekolah seperti pengawas sekolah, Disdikbudpora kabupaten Majalengka, Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat dan Depdiknas, agar memfasilitasinya sesuai dengan wewenang, peran dan tanggung jawab masing-masing.


4.Persepsi guru tentang supervisi akademik kepala sekolah dan tentang kinerja mengajar guru (self appraisal) bisa tidak menggambarkan kondisi yang sesungguhnya. Dalam mempersepsi supervisi akademik kepala sekolah, guru belum tentu paham benar mengenai supervisi akademik yang seharusnya berdasarkan teori, dan “ketakutannya” dalam menilai atasannya bisa menyebabkan bias dengan menganggap serba baik. Dalam menilai kinerja mengajarnya sendiri juga bisa terjadi hal serupa, seperti ketakutannya kalau hasil penilaiannya tersebut dijadikan dasar pertimbangan karir mereka ke depan. Dengan demikian penulis merekomendasikan kepada peneliti selanjutnya, jika meneliti hal serupa untuk mengambil data dari sumber lain, bukan dari guru. Untuk supervisi akademik kepala sekolah mengambil sumber data dari pengawas misalnya, dan untuk kinerja mengajar guru mengambil sumber data dari kepala sekolah, pengawas, siswa atau sumber lainnya yang memungkinkan lebih valid.

_____________


DAFTAR PUSTAKA


Alfonso et al. (1981). Instructional Supervision, A Behavioral System.Boston, London, Sydney, Toronto : Allyn and Bacon, Inc.

Arikunto, Soeharsimi. (2004). Dasar-dasar Supervisi. Jakarta : PT. Rieneka Cipta.

BSNP. (2006 a). Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan. Jakarta : BSNP.

BSNP. (2006 b). Panduan Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta : BSNP.

BSNP. (2007 a). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 12 Tahun 2007 Tentang Standar Pengawas Sekolah / Madrasah. Jakarta : BSNP.

BSNP. (2007 b). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 13 Tahun 2007 tentang Standar Kepala Sekolah / Madrasah. Jakarta : BSNP.

BSNP. (2007 c). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2007 Tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru. Jakarta : BSNP.

Bobko, Philip. (1977). ”A Note On Moran’s Measure of Multiple Rank Correlation”. Psychometrika, Vol 42, no.2 June 1977. page 311.

Cokroaminoto. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja Individu.  [Online]. Tersedia: http://performance.blogetery.com /2007/06/12/faktor-faktor-yang-mempengaruhi-kinerja-individu-respon untuk-zaenul/). [11 April 2009].

Danim, Sudarwan. (2008). Kinerja Staf dan Organisasai. Bandung : CV. Pustaka Setia.

Daryanto, H.M. (2006). Administrasi Pendidikan. Jakatra: Rineka Cipta.

Degeng. Komparasi Pembelajaran Behaviorisme dengan Konstruktivisme. [Online]. Tersedia: http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/12/14/ komparasi-pembelajaran-behaviorisme-dengan konstruktivisme/). [11 April 2009].

Depdikbud. (1989). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai pustaka.

Depdikbud. (1994). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai pustaka.

Depdikbud. (1999). Panduan Manajemen Sekolah. Jakarta : Dirjen Dikdasmen, Direktorat Dikmenum.

Depdiknas. (2006 a). Panduan Pengembangan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) Sekolah Menengah Pertama. Jakarta : Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat  Pembinaan Sekolah Menengah Pertama.

Depdiknas. (2006 b). Panduan Umum Pengembangan Silabus Sekolah Menengah Pertama. Jakarta : Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Pertama.

Depdiknas. (2008 a). Metode dan Teknik Supervisi. Jakarta : Direktorat Jenderal PMPTK.

Depdiknas. (2008 b). Penilaian Kinerja Guru. Jakarta : Direktorat Jenderal PMPTK.

Dessler, Gary. (2006). Manajemen sumber Daya Manusia, Jiid 1. Jakarta : PT. Indeks.

Dictionary of Vocational Psychology. [Online]. Tersedia: http:// vocationalpsychology.com/term_nAch.htm. [31 Desember 2008].

Djatmiko, Yayat Hayati. (2003). Perilaku Organisasi. Bandung : Alfabeta.

Engkoswara. (2001). Paradigma Manajemen Pendidikan Menyongsong Otonomi Daerah. Bandung : Yayasan Amal Keluarga.

Erhans. (2003). Microsoft Office XP. Jakarta : Pt. Ercontara Rajawali dan WIT.

Eriyadi, Sri. (2008). Supervisi Kepala Sekolah Semakin Terabaikan. [Online]. Tersedia : http://www.radarsemarang.com/community/artikel-untukmu-guruku/3122-supervisi-kepala-sekolah-semakin-terabaikan-.html.

Hamalik, Oemar. (2004). Psikologi Belajar dan Mengajar. Bandung : Sinar Baru Algesindo.

Hasibuan, Malayu S.P. (2007 a). Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta : Bumi Aksara.

Hasibuan, Malayu S.P. (2007 b). Organisasi dan Motivasi, Dasar Pemikiran Produktivitas. Jakarta : Bumi Aksara.

Husdarta, J.S. (2007). ”Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja Guru Pendidikan Jasmani”. Mimbar Pendidikan. 3, 12 - 25.

Komariah, Aan dan Triatna, Cepi. (2005). Visionary Leadership Menuju Sekolah Efektif. Bandung : Bumi Aksara.

Kustono, Djoko (2007). Urgensi Sertifikasi Guru. Makalah Seminar Nasional Dalam Rangka Dies UNY ke-43 tanggal 5 Mei 2007 di Yogyakarta. Dalam Setiawan, Ngadirin  PENGEMBANGAN MODEL AUDIT KINERJA GURU DALAM MENDUKUNG PROGRAM SERTIFIKASI PENDIDIK. [Online]. Tersedia: http://www.puslitjaknov.depdiknas.go.id/data/file/2008/ makalah_peserta/ 45_Ngadirin_PENGEMBANGAN%20MODEL%20AUDIT%20KINERJA%20GURU%20.pdf. [11 April 2009].

Luthans (2002). Organizational Behavior. New York : McGraw-Hill.

Makmun, Abin Syamsudin. (2005). Psikologi Kependidikan, Perangkat Sistem Pengajaran Modul. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.

Mangkunegara, A.A. Anwar Prabu. (2007). Evaluasi Konerja SDM. Bandung: PT. Refika Aditama.

Mathis, Robert L. dan Jackson, John H. (2006). Human Resource Management, Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta : Penerbit Salemba Empat.

McMillan, H. James dan Schumacher, Sally. (2001). Research in Education, A Conceptual Introduction. New York dll. : Longman.

Microsoft Corporation. (2007). Encarta Dictionaries, Microsoft® Encarta® 2008 (software).

Mutu Guru Sudah Mutlak Pemerintah Harus Bantu Memperluas Wawasan Guru. [Online]. Tersedia:http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/10/06/01035533/ mutu.guru.sudah.mutlak. [10 Pebruari 2008].

Nawawi, Hadari. (1983). Administrasi Pendidikan. Jakarta : PT. Gunung Agung.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. (Materi Penataran KTSP 2007).

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah (Materi Penataran KTSP 2007).

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2006 tentang  Pelaksanaan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor  22 Tahun 2006 tentang Standar Isi  Untuk Satuan Pendidikan Dasar Dan Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan  Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang  Standar  Kompetensi  untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah (Materi Penataran KTSP 2007).

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 tahun 2008 tentang Guru.

Perception (Psychology), Encyclopedia Article. [Online]. Tersedia : http://encarta.msn.com/encyclopedia_761571997/Perception_(psychology) html. [3 Nopember 2009].

Persepsi. [Online]. Tersedia : http://id.wikipedia.org/wiki/Persepsi). [3 Nopember 2009].

Permadi, Dadi dan Arifin, Daeng. (2007). Kepemimpinan Transformasional Kepala Sekolah dan Komite Sekolah. Bandung : PT. Sarana Panca Karya Nusa.

Pratisto, Arif. (2005). Cara Mudah Mengatasi Masalah Statistik dan Rancangan Percobaan dengan SPSS 12, Jakarta : PT. Elex Media Komputindo.

Purwanto, M. Ngalim. (2002). Administrasi dan Supervisi Pendidikan. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.

Riduwan dan Akdon. (2007). Rumus dan Data dalam Analisis Statistika. Bandung : Alfabeta.

Riduwan dan Kuncoro, Engkos Achmad. (2007). Cara Menggunakan dan Memaknai Analisis Jalur (Path Analysis). Bandung : Alfabeta.

Riduwan. (2006). Kontribusi Kompetensi Profesional dan Motivasi Kerja terhadap Kinerja Dosen (Studi pada Universitas Jendral Achmad Yani Kota Cimahi. Tesis pada PPS UPI Bandung, tidak diterbitkan.

Riduwan. (2007 a). Metode dan Teknik Menyususn Tesis. Bandung : Alfabeta.

Riduwan. (2007 b). Skala Pengukuran Variabel Penelitian. Bandung : Alfabeta.

Robbins, Stephen P.  et al.  (2003). Foundations of Management. Pearson Education Australia : Prentice Hall.

Robbins, Stephen P. (2007). Perilaku Organisasi. Jakarta : PT. Indeks.

Rosari, Renati Winong (ed.). (2007). Microsoft Office 2007. Semarang : Penerbit Andi dan Wahana Komputer.

Sagala, H. Syaiful. (2006). Administrasi Pendidikan Kontemporer. Bandung :  Alfabeta.

Sallis, Edward. (2007). Total Quality Management in Education, Manajemen Mutu Pendidikan. Jogjakarta : IRCiSoD.

Satori, Djam’an. (1989). Pengembangan Model Supervisi Sekolah Dasar. Desertasi pada PPS IKIP Bandung, tidak diterbitkan.

Satori, Djam’an. (2004). Paradigma Baru Supervisi Pendidikan untuk Peningkatan Mutu dalam Konteks Peranan Pengawas Sekolah dalam Otonomi Daerah. Makalah pada Seminar Peranan Pengawas dalam Otonomi Daerah 17 Maret 2004. Bandung : APSI Provinsi Jawa Barat.

Seyfarth, John T. (2002). Human Resources Management for Effective School. Boston : Allyn and Bacon.

Siagian, Sondang P. (2004). Teori Motivasi dan Aplikasinya. Jakarta : Rineka Cipta.

Sidi, Indra Djati. (2001). Menuju Masyarakat Belajar, Menggagas Paradigma Baru Pendidikan. Jakarta : Paramadina.

Simanjuntak, Payaman J. (2005). Manajemen dan Evaluasi Kinerja. Bandung : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Statistical Glossary, Weighted Mean. [Online]. Tersedia : http://www.statistics. com/resources/glossary/w/wmean.php. [20 Juni 2009].

Statistik Depdiknas. [Online]. Tersedia: http://www.depdiknas.go.id/statistik/0607 /smp_0607/tbl_14i.pdf. [8 April  2009].

Sugiyono. (2006). Metode Penelitian Administrasi. Bandung :  Alfabeta.

Sugiyono. (2007). Statistik untuk Penelitian. Bandung :  Alfabeta.

Supardi. Supervisi. [Online]. Tersedia: http://www.batukota.go.id/slibmedia/ Arsip%20Pembangunan/3145-08%20Supervisi %20P.%20Supardi.pdf). [31 Desember 2008].

Susahnya Benahi Profesi Guru (Kompas, Selasa, 21 Februari 2006). [On line]. Tersedia : http://64.203.71.11/kompascetak/0602/21/humaniora/2455732. htm. [10 Pebruari 2009].

Sutermeister, Robert A., (1976) People and Productivity, New York: Mc. Graw. Hill Book Company.

Teacher Performance Management. [Online]. Tersedia: http://www.minedu. govt.nz/~/media/MinEdu/Files /EducationSectors/PrimarySecondary/SchoolOpsEmploymentConditions /TeacherPerformanceManagement.pdf. [22 Ma-ret 2009].

Thoha, Miftah. (2007). Perilaku Organisasi, Konsep Dasar dan Aplikasinya. Jakarta : P.T. Rajagrafindo Perkasa.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Universitas Pendidikan Indonesia. (2007). Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Bandung : Universitas Pendidikan Indonesia.

Uno, Hamzah B. (2007). Teori Motivasi dan Pengukurannya, Analisis di Bidang Pendidikan. Jakarta : Bumi Aksara.

Usman, Moh. Uzer. (1998). Menjadi Guru Profesional. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.

Wibowo. (2007). Manajemen Kinerja. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.

Wikipedia. [Online]. Tersedia:  http://en.wikipedia.org/wiki/Weighted_mean. [22 Maret 2009].

Wijaya, (2000). Statistik Nonparametrik (Aplikasi Program SPSS). Bandung : Alfabeta.

Wuviani, Via.  (2005). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Guru. Tesis pada FPS UPI Bandung, tidak diterbitkan.

Yusuf, Syamsu dan Nurihsan, A. Juntika. (2005). Landasan Bimbingan dan Konseling. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.

Zenzen, Thomas G. (2002). Achivement Motivation - A Research Paper Submitted in Partial Fulfillment of the Requirements for the Master of Science Degree Industrial / Technology Education Approved: 2 Semester Credits, Investigation Advisor, The Graduate College, University of Wisconsin-Stout. Tersedia : http://www.uwstout.edu/lib/thesis/2002/2002zenzent.pdf. [31 Desember 2008].

 _____________


LAMPIRAN


Lampiran 1



























 


___________


Lampiran 2











__________


Lampiran 3


- Lampiran 3 A











- Lampiran 3 B



















 

 

 

 

 

 


- Lampiran 3 C


 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Lampiran 4


 

 

 

Lampiran 5


 

 

 

Lampiran 6 


 

 

 


Lampiran 7


 

 

 








Lampiran 8


 

 

 

 


Lampiran 9


 

 

 

 


Lampiran 10


 

 

 

 


Lampiran 11


 


Lampiran 12





Lampiran 13


 

 

 

 


Lampiran 14

Riwayat Hidup



CATATAN :

1. 
Walaupun berusaha se-rigid mungkin, penelitian kuantitatif ini menemukan sandungan saat penggalian data menggunakan angket. Instrumen yang selama ini menjadi andalan itu justru menjadi titik lemah karena obyektifitasnya tak dapat dikontrol. Pengisian angket oleh responden banyak yang karena terpaksa, tertekan, berkecenderungan memilih jawaban tengah (moderat), dan bahkan mungkin dengan main-main atau lain sebagainya yang menjadikan jawaban yang diberikannya tidak benar-benar obyektif . Guru yang diminta menilai dirinya dan guru yang diminta menilai kepala sekolah atasannya rawan tidak obyektif. Betapapun telah diminta baik secara lisan maupun tulisan agar mengisi angket dengan sejujur-jujurnya, tak ada jaminan mereka memenuhinya. Peneliti dalam hal ini tak bisa berbuat banyak. 

2. 
Jawaban responden sudah seharusnya ditindaklanjuti dengan serius. Tapi jawaban  "main-main" yang diproses dengan statistika menghasilkan angka-angka yang tidak logis jika diakurkan dengan teori umum. Proses pengolahan data dengan statistiknya menjadi proses mekanis semata, yang tak peka obyektifitas datanya itu sendiri. Akan tetapi merekayasa hasil jawaban responden agar hasil perhitungan statistiknya menjadi logis dan akur dengan teori justru menjadikan penelitian kehilangan tujuan.

3. 
Sudah saatnyakah penelitian yang didasarkan pada pengamatan langsung oleh peneliti (kualitatif) menjadi pilihan ? Jika alasannya antara lain seperti yang dikemukakan pada nomor 1 dan 2, jawabannya ya. Namun sesungguhnya, sepanjang sesuai dengan tujuannya, terjamin obyektifitasnya dan keilmiahannya bisa dipertanggungjawabkan, penelitian manapun baik dan tetap bermakna.

4. 
Di sini, betapa dilematisnya bagi "peneliti" yang meneliti dalam rangka menyelesaikan studi, terlebih di tengah segala keterbatasan sumber daya. Mungkin tidak bagus mengatakan bahwa wacana mahasiswa yang tesisnya beres lebih familiar daripada wacana mahasiswa yang tesisnya bagus, tapi kenyataan memang demikian, dan ini merupakan motivasi yang baik bagi rekan yang sedang menyelesaikan studi.Tesis yang saya buat mungkin bukan tesis yang baik. dengan kondisi ingin segera menyelesaikanj studi, tesis ini semula berjudul KONTRIBUSI  SUPERVISI AKADEMIK KEPALA SEKOLAH DAN MOTIVASI BERPRESTASI GURUTERHADAP KINERJA MENGAJAR GURU SMP NEGERI DI KABUPATEN MAJALENGKA, dalam perjalanan bimbingan karena penggalian data dengan instumen angket yang respondennya guru, maka  judul dipertajam menjadi KONTRIBUSI  PERSEPSI GURU TENTANG SUPERVISI AKADEMIK KEPALA SEKOLAH DAN MOTIVASI BERPRESTASI GURUTERHADAP KINERJA MENGAJAR GURU SMP NEGERI DI KABUPATEN MAJALENGKA. Dengan pertimbangan variabel supervisi kepala sekolah dan variabel kinerja mengajar guru lebih akurat jika digali dari pengawas sekolah dan kepala sekolah (untuk variabel kinerja mengajar guru), dan dari pengawas sekolah untuk variabel supervisi akademik kepala sekolah. Karena tetap dengan data yang digali dari guru maka ditambahkan ke dalam judul kata persepsi guru. Untuk variabel motivasi berprestasi sendiri tidak bermasalah digali dari guru, walaupun bisa juga ditambah dari kepala sekolah dan pengawas sekolah. Dalam kaitan itulah tesis ini dimuat, khusus untuk teman-teman sekelas dan siapa saja yang sedang menyelesaikan tesis. Go go go ! Setidaknya untuk perbandingan. Semoga memberi inspirasi. 

5.
Terakhir, karena kesulitan teknis, rumus-rumus yang ada pada halaman tesis di atas tak terjemahkan unicode-nya, sehingga ada perbedaan dengan saat pada file Word-nya. Sebaiknya cek pada sumber aslinya yang ada pada Daftar Pustaka. 

Terima kasih.